Jumat, 27 Februari 2015

SIARAN PERS “Pemetaan Wilayah Adat Bagi Komunitas, AMAN Kalteng dan Peraturan Yang Berpihak”

AMAN KALTENG
Palangka Raya, 26 Februari 2015.

Musyawarah Wilayah adalah sarana untuk pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi AMAN di tingkat wilayah. Dalam 5 tahun sekali akan di lihat capaian-capain kerja dari Badan Pengurus Harian Wilayah yang telah ditunjuk.

Sebagai satu rangkaian dari acara Muswil-2 AMAN Kalteng Workshop berjudul “Peta Wilayah Adat Dalam Perspektif Tata Ruang Nasional dan Provinsi Kalimantan Tengah" di lakukan. Tujuannya adalah sebagai jalan untuk pertukaran informasi dan persepektif dari para pihak tentang peta wilayah adat dalam konteks tenurial dan agenda REDD+ di tingkat Nasional dan Provinsi Kalimantan Tengah. Tentu saja, dari pertukaran informasi yang dapat memunculkan sinergisitas para pihak terkait peta wilayah adat.

Senin, 23 Februari 2015

SIARAN PERS “Pemetaan Wilayah Adat bagi Komunitas, AMAN Kalteng dan Indonesia”

AMAN KALTENG
PALANGKA RAYA, 23 Februari 2015-  
AMAN sebagai organisasi massa Masyarakat Adat, berjuang untuk melakukan penguatan hak-hak Masyarakat Adat. Kegiatan difokuskan pada Pemetaan Wilayah Adat. Peta Wilayah Adat dipandang sebagai pondasi pengakuan sehingga Masyarakat Adat dapat memaksimalkan partisipasinya dalam pembangunan Indonesia. 

Bercermin dari kasus komunitas Janah Jari yang ada Kabupaten Barito Timur, Kalteng menggambarkan tumpang tindihnya penetapan kawasan yang ada. Pada akhir Januari 2015 lalu persidangan kepada Markus didakwa bersama Rustiana, Yanus, Habianoto, Herianto, Herinoto, Martina, Sayangli dan Heniliana. Kesemuanya berasal dari komunitas Janah Jari, Barito Timur Kalteng.

Sabtu, 27 Desember 2014

Catatan Akhir Tahun 2014 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

AMAN KALTENG
Pertama, Indonesia menyelenggarakan dua pentas politik yaitu pemilihan anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Kedua, DPR RI periode 2009-2014 gagal mengundangkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, melengkapi kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenuhi janjinya kepada masyarakat adat; 

Ketiga masih maraknya kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat dan;

Keempat, Pelaksanaan Inkuiri Nasional oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kawasan Hutan.

Semiloka AMAN Kalteng di Gunung Mas

AMAN KALTENG
Ucapan doa bernuansa Kaharingan menandai kegiatan seminar dan lokakarya yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Kalimantan Tengah (AMAN Wil Kalteng). Pak Dagik yang dipercaya membacakan doa berasal dari komunitas Tumbang Bahanei, Gunung Mas.

Hotel Gunung Mas, Kuala Kurun di pilih panitia sebagai tempat semiloka ini. Tepat pukul 9 lebih 13 menit acara yang bertajuk ‘Menggagas dan Menyusun Pokok-Pokok Usulan Untuk Draft Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat’ di Kabupaten Gunung Mas dimulai.

Acara yang berlangsung pada 20 Desember 2014 lalu hanya dihadiri tidak lebih dari 30 orang saja. Peserta berasal dari kabupaten Gunung Mas, Instansi pemerintah, perwakilan kepala desa dan undangan lainnya.

Dalam sambutannya Simpun Sampurna sebagai ketua Badan Pengurus Harian  AMAN Kalteng menyampaikan draft Perda yang dibuat ini nantinya akan memayungi diseluruh Kalimantan Tengah ini, sehingga semiloka yang dilakukan dapat membangun harapan kita bersama untuk masalah hukum adat.

“Kami membangun inisiatif ini agar saling bersinergis dan bersama masyarakat membangun Perda hukum adat sehingga kami berharap agar perda ini dapat dilaksanakan. Mudah-mudahan inisiatif ini dapat berkembang juga di daerah,” jelas Dadut panggilan akrabnya.

Sebagai moderator Yohanes Taka, dari AMAN Kalteng memandu proses diskusi yang berlangsung dinamis. Kesempatan pertama ia menyerahkan kepada Simpun Sampurna untuk memberikan paparan terkait tantangan dan peluang  pembuatan peraturan daerah masyarakat hukum adat.

Secara lugas Dadut menampilkan sejak lama ada peraturan daerah yang memuat pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, pengakuan tata ruang yang jelas; hak atas tata ruang yang jelas, hak atas tanah yang jelas, hak atas kawasan hutan yang jelas. Pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian  sumber daya alam yang jelas untuk masyarakat hukum adat.

Pemateri berikutnya dari Depkum HAM wilayah Kalteng, Yusuf Salamat. Ia lebih condong membahas tahapan pembentukan Perda, meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan dan penyebarluasan.  Pertanyaan diajukan oleh Yusuf, mengapa PROLEGDA diperlukan?, ia mengungkapkan bahwa PROLEGDA diperlukan untuk memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Peraturan Daerah, menetapkan skala dan lainnya.

Salah satu peran dari kantor wilayah itu sendiri adalah berfungsi untuk harmonisasi dan sinkronisasi   raperda yang dibuat. Di sub bidang PPHD lebih banyak melakukan fasilitasi penyusunan program legislasi daerah dan naskah akademik, fasilitasi penyusunan serta harmonisasi PHD itu sendiri. Yusuf juga menyinggung sistematika naskah akademik yang harus dilakukan.

Memasuki tanggapan, salah seorang peserta menyampaikan bahwa ia tidak dapat merekam semuanya kalau hanya melihat saja. Ia juga mengusulkan pertemuan seperti ini jangan melibatkan satu Damang melainkan se-kabupaten Gunung Mas.

Sedangkan tanggapan lainnya dari kepala desa Tumbang Malahoi, Tampung. Ia mengucapkan terima kasih kepada narasumber yang sudah memaparkan. Dalam proses tindak lanjut nanti agar melibatkan semua kepala desa karena sebagai kepala desa ia menilai ada memiliki otoritas terkait undang-undang yang diusulkan.

Sebagai nara sumber, Yusuf Salamat menjawab ada inisiatif baik peserta dari DISTAMBEN sehingga usulan yang disampaikan dapat dimasukkan PROLEGNAS. “Kami harapkan ada sinergi dari masyarakat, pemerintah yang baik,” jelas Yusuf.

Tanggapan dari peserta juga mendapat respon dari Simpun Sampurna. Ia menekankan bahwa ini baru proses awal. “Kita mulai dari kecil dulu, target kami mengundang paling banyak dua puluh orang dan terpenuhi. Pada kelanjutan kedua dan ketiga dapat memiliki awal yang baik untuk kita,” jawab Simpun.

Sebagai kata penutup, Yohanes sebagai moderator mengatakan bahwa AMAN Kalteng akan membagikan hasil semiloka ke SKPD terkait sehingga dapat berbagi informasi dan saling melengkapi melalui email. Ia memberikan kesempatan kepada Simpun Sampurna untuk menutup acara dan pukul 12 siang lebih 30 menit acara ditutup secara resmi

Sumber berita: diringkas dari notulensi kegiatan

Sabtu, 20 Desember 2014

AMAN Kalteng Ikuti Renstra Infokom

AMAN KALTENG
“Saya pencari fakta bukan penyebar petaka, jurnalis tolak suap”

Kalimat itu terbaca jelas dengan tulisan putih dan latar belakang kaos hitam yang dikenakan oleh pria berambut lurus ini. Kalimat ini sesuai dengan gambaran dan pengalaman yang diceritakannya selama proses 2 hari.

Harry Surjadi, itulah nama pria berkaos hitam yang memfasilitasi kegiatan rencana strategis (Renstra) bagian informasi dan komunikasi PB AMAN.  Ia mengakui lebih dari 10 tahun bekerja di media cetak, dan akhirnya memilih untuk freelance. Saat sekarang lebih banyak memberikan pelatihan terkait jurnalis lingkungan hidup dan masyarakat adat.

Renstra yang dipusatkan di hotel Gren Alia Cikini, Jakarta dilaksanakan selama 2 hari dari 16-17 Desember 2014 lalu. Sebanyak 15 lebih peserta mengikuti kegiatan dari pukul 8 pagi hingga 5 sore.

Di hari pertama, fasilitator mengajak peserta untuk menggali masalah apa yang dihadapi selama ini. Dari masalah yang ada kemudian di olah untuk mendapatkan kategori persoalan dan kegiatan yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Fasilitator  juga mengajak peserta untuk diskusi kelompok membahas indikator capaian dalam pelaksanaan. Di hari kedua, tips-tips menuliskan press release, esay dan keterampilan lain terkait penulisan di bagikan oleh fasilitator.

Selama 3 tahun ke depan 2015-2017, akhirnya renstra yang dilakukan menghasilkan 3 kategori  persoalan yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), komunikasi internal, media massa eksternal dan persoalan AMAN yang lebih besar.

Dari kategori yang ada terkait SDM kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas biro infokom untuk skill komunikasi. Ini dilakukan dengan cara menulis lebih banyak, pelatihan komunikasi secara umum. Pelatihan ini meliputi public speaking, membaca cepat memahami media, merancang kampanye dan memanfaatkan media massa.

Masih berkaitan dengan SDM, kegiatan penyusunan SOP untuk aktivitas harian penting dibuat. Kegiatan yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi dan assesment klassifikasi mengenai pengetahuan dasar, menengah dan mahir mengenai radio komunitas. Assesment identifikasi PW, PD dan komunitas yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan radio komunitas. Peningkatan kapasitas mengenai radio komunitas ke setiap jenjang ke PW, PD, Komunitas sesuai dengan kebutuhan pengetahuannya. Pelatihan manejemen dan teknis mengelola radio komunitas.

Untuk membangun dan memperkuat biro infokom di Pengurus Daerah (PD) akan digelar pelatihan komunikasi, termasuk tugas-tugas infokom di tingkat PD. Membangun protokol komunikasi dengan cara mengidentifikasi kebutuhan informasi di komunitas, mengidentifikasi medium (baca wadah) untuk menyampaikan informasi di komunitas menurut karakter geografisnya, membangun dan mengembangkan SMS ADAT(SMS gateway) di tingkat PW sesuai dengan hasil identifikasi yang telah dilakukan dan mengoptimalkan radio komunitas yang ada dan membangun radio komunitas bila belum ada sesuai identifikasi yang telah dilakukan sebelumnya.

Dalam hal penguatan komunikasi internal akan dilakukan inventarisasi kemasan informasi mengenai AMAN, memformat ulang informasi tentang AMAN yang sesuai dengan komunitas, mengirim format informasi yang baru dan memastikan diterima dan mendokumentasikan semua kasus yang ada.

Berkaitan dengan permasalahan media massa eksternal penting dilakukan identifikasi media nasional, lokal yang menjadi lawan dan kawan, mengajak media ketika ada liputan lapangan, menggelar media gathering (mengundang media untuk kegiatan informal) dan membangun kerjasama dengan media mainstream untuk pertukaran konten, misalnya dengan RRI dan Ruai TV. 

Lain halnya pada persoalan AMAN yang lebih besar infokom akan mengidentifikasi komunitas masyarakat adat anggota AMAN yang berada di pesisir dan pulau kecil, mengidentifikasikan wadah untuk menyampaikan pesan terkait peningkatan kesadaran masyarakat adat terhadap wilayah pesisir.

Berikutnya, bekerjasama dengan kementerian kelautan untuk melakukan sosialisasi tentang kemaritiman, bekerjasama dengan Fakultas Kelautan dan Perikanan di Perguruan Tinggi untuk menerbitkan buku yang berisi kearifan lokal masyarakat adat terkait dengan kelautan, menggelar training sosial media (sosmed) untuk perubahan sosial, pendokumentasian konflik di daerah selama 1 tahun, bekerjasama dengan biro-biro di AMAN untuk sosialisasi hak-hak MA terkait dengan dinamika sosial politik yang berkembang, melakukan lobby dengan Pemda untuk mengeluarkan Perda Adat dan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya SMS) untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat adat dalam konflik lahan.

Peserta yang mengikut kegiatan adalah Yulius Fanus Mari dari Pengurus Wilayah (PW) NUSA BUNGA, Mhd Nuh Efendi dari PW Sumut, Erdam Eterol dari PW Bengkulu, Armansyah Dore dari PW Sulsel, Ubaidi Abdul Halim dari PW MAN Maluku Utara, Iir Sugiarto dari PW Sumsel, Cony Margareth dari PW Kalbar, Hairudin Alexander dari PW Kaltim, Andre Tandigau dari PW Tana Luwu, Rokhmond Onasis dari PW Kalteng, Rikson Karundeng  PW Sulut, Ahmad Abdan Syakur dari PW NTB dan Rusmin dari PW Kalsel.

Sedangkan dari Pengurus Besar (PB) AMAN di wakili Firdaus Cahyadi, Jeffar Lumban Gaol, Dahlan,  Farid Wajdi, Mina S. Setra,  Rainny Berta Natalia S, Martha Lekahena, Endang Setiawati dan Lesus Rahmat Waluyo.

Sumber berita dan foto: Rokhmond Onasis.

Kamis, 18 Desember 2014

MASYARAKAT HUKUM ADAT

AMAN KALTENG
Ketika Hak Asasi Dilanggar

MASYARAKAT adat di Indonesia terus menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari 30 jenis pelanggaran hak asasi terjadi pada komunitas masyarakat hukum adat Indonesia. Selain itu, terjadi konflik yang berakar pada soal legitimasi dan legalitas. Tak ada lembaga setingkat menteri yang bertugas menyelesaikan konflik-konflik itu.

Demikian temuan dari Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak-hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Hasil inkuiri disampaikan pada Dengar Keterangan Inkuiri Komnas HAM-Hak Asasi Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Dengar keterangan umum selama dua hari, 16-17 Desember 2014, di Jakarta.

Hasil inkuiri antara lain menyebut akar penyebab konflik di antaranya ketidakpastian hukum atas keberadaan masyarakat hukum adat, simplifikasi keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas wilayah adat, sementara sumber daya hutan dipandang sebagai masalah administrasi semata.

Penyebab lain yaitu sikap pemerintah atau aparat keamanan yang lebih melindungi kepentingan korporasi atau pemegang izin daripada kepentingan masyarakat hukum adat.

Persoalan masyarakat adat selama ini kerap disederhanakan sebagai sekadar konflik. Kini sudah saatnya isu masyarakat hukum adat diangkat sebagai persoalan korupsi konstitusional. Hasil inkuiri itu dipaparkan oleh Koordinator Inkuiri Nasional Sandrayati Moniaga.

Inkuiri dilakukan di tujuh lokasi yaitu Kota Palu (Sulawesi), Kota Medan (Sumatera), Kota Pontianak (Kalimantan), Rangkasbitung (Jawa), Kota Ambon (Maluku), Kota Mataram (Nusa Tenggara), dan di Kota Jayapura (Papua), 27 Agustus-28 November 2014.

Banyak temuan mengisahkan peran pemerintah pusat dan daerah yang menerbitkan izin di kawasan hutan pada perusahaan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang beberapa generasi menggantungkan hidup dari hutan. Hutan menjadi wilayah adat dan eksistensi mereka.
Korupsi konstitusional

Dalam sambutannya, Rabu (17/12), Ketua KPK yang juga Koordinator Nota Kesepakatan Bersama untuk Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Bambang Widjoyanto mengatakan, ”Saatnya bukan hanya dilihat sebagai masalah konflik, tetapi ditingkatkan pada soal korupsi konstitusional.”

Hal itu disebabkan pengakuan pada masyarakat hukum adat tercantum dalam UUD 1945 Pasal 18B yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Kenyataan di lapangan, seperti diungkapkan dalam tanggapan peserta yang terdiri dari masyarakat hukum adat, adalah penegasan terhadap laporan tim inkuiri nasional tentang pelanggaran hak asasi mereka. Menurut Machyoedien dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, pendamping masyarakat adat Maluku Utara, faktanya kepastian hukum tak pernah jelas. Pemda dan pemerintah pusat selalu saling lempar.

Secara umum, mereka mengalami represi dari pemerintah daerah dan kepolisian. Bahkan, seperti yang diutarakan kepala suku Pagu, Afrida Ernangato, negara menghilangkan identitas sukunya, selain tak pernah ada pemberdayaan perempuan. ”Jangan ada penyeragaman desa karena itu membunuh karakter dan budaya masyarakat. Identitas kami hilang. Negara melakukannya,” ujarnya.
Lakukan sesuai hukum

Beberapa tanggapan dari pihak pemerintah, antara lain dari kepolisian, menegaskan, polisi bertindak sesuai hukum. Penanggap lain dari pihak pemerintah mengapresiasi hasil inkuiri dan pihaknya akan bertindak sesuai peraturan dan hukum.

Anggota tim inkuiri, yang juga Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo mempertanyakan, ada gap antara fakta di lapangan dengan pernyataan ”berpegang pada aturan”. Lalu apakah benar izin yang keluar di kawasan hutan untuk pengusaha itu sudah sesuai prosedur? Kalau peraturannya tidak adil lantas apa yang diikuti?” ujar Hariadi.

Hal itu sesuai seruan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang mendorong pemerintah untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan masyarakat hukum adat sebelum menerbitkan izin bagi perusahaan di kawasan hutan.

Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menegaskan, hutan adat adalah sumber kehidupan dan eksistensi bagi masyarakat adat yang menempati, khususnya para perempuan adat.

Perwakilan masyarakat hukum adat Elisabeth Ndiwaen dari suku Malind, Merauke, Papua, mengatakan, ”Kami tak bisa berkata apa-apa, tiba-tiba saja hutan kami dirampas. Kami masyarakat jadi miskin di tanah sendiri.”

(Keterangan Foto:  Tarian masyarakat adat Dayak, Kalimantan, mengisahkan masyarakat yang kehilangan wilayah adatnya ketika pengusaha tiba-tiba datang menguasai kawasan hutan tempat mereka tinggal. Tarian itu ditampilkan dalam acara Dengar Keterangan Umum Hasil Penyelidikan (Inkuiri) Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Rabu (17/12), di Jakarta.)


(AGNES THEODORA/BRIGITTA ISWORO LAKSMI)

Sumber: http://print.kompas.com

Selasa, 09 Desember 2014

Rakerwil IV AMAN Kalteng dan TOT FPIC PW

AMAN KALTENG
“Waktu pelaksanaan Musyawarah Wilayah II Aman Kalteng 2015 adalah pada bulan Februari 2015”

Itulah satu dari 6 poin penting keputusan saat Rapat Kerja Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah IV (Rakerwil AMAN Wil Kalteng) tahun 2015. Rakerwil kali ini dipusatkan di Training Center REDD+ jalan Yos Sudarso Palangka Raya.

Di hadiri tidak kurang dari 40 pegiat AMAN Kalteng, dimulai pada Minggu, 30 Nopember 2014 lalu. Selama 2,5 jam rapat yang diawali pukul 19-21.30 malam ini di pimpin langsung oleh Simpun Sampurna selaku ketua AMAN Wil Kalteng didampingi oleh Ambu Naptamis sebagai Anggota DAMANAS, Bernandus sebagai ketua DAMANWIL Kalteng dan Marchony sebagai sekretaris DAMANWIL Kalteng.

Keputusan penting lainnya adalah tempat pelaksanaan Musyawarah Wilayah AMAN Kalteng ke II 2015 dengan alternatif di Pulang Pisau, Kabupaten Pulang Pisau. Kepada pengurus daerah Pulang Pisau diberikan waktu 1 (satu) minggu sampai tanggal 7 Desember 2014 untuk melakukan pengecekan kesiapan tempat, komunitas dan pemerintah daerah setempat. Jika hasil pengecekan tersebut menyatakan bahwa pengurus daerah Pulang Pisau tidak siap, maka tempat pelaksanaan  Musyawarah Wilayah AMAN Kalteng ke II 2015 adalah di Palangka Raya.

Terkait poin di atas, saat penulis menemui Nisil Tuman dari Ketua AMANDA Pulang Pisau pada Selasa (9/12) mengatakan sudah melakukan upaya untuk menemui pemerintah daerah Pulang Pisau, tapi masih terkendala belum dapat bertemu karena kesibukan Bupati, ia mengungkapkan akan memfinalkan kondisi ini dalam waktu 2 hari ke depan.

Keputusan lainnya, pendanaan pelaksanaan muswil II AMAN Kalteng 2015 dengan alternatif antara lain pemerintah provinsi dan daerah NGO Internasional, swasta, calon-calon gubernur provinsi Kalteng serta iuran dari pengurus-pengurus daerah.

Berikutnya, AMANWIL Kalteng membuat surat rekomendasi untuk pengurus daerah yang ditujukan kepada pemerintah daerah masing-masing dalam hal bantuan pendanaan pelaksanaan MUSWIL II AMANWIL Kalteng. Terkait kepanitiaan Sterring Comitte (SC) kepanitiaan MUSWIL AMAN Kalteng adalah sesuai dengan susunan DAMANWIL Kalteng. Berkaitan dengan kontrak kerja dengan pihak lain tetap dilakukan oleh ketua BPH AMANWIL Kalteng sampa masa baktinya berakhir

Akhir dari Rakerwil di tandai penandatanganan berita acara dan foto bersama. Pimpinan rapat dan perwakilan pengurus daerah yang hadir yaitu Tara Mulya anggota DAMANDA Murung Raya, Nisil Tuman, Ketua AMANDA Pulang Pisau dan Agus Irwanto dari Ketua AMANDA Barito Selatan membubuhkan tanda tangan mereka pada berita acara bernomor 01/ Rakerwil-IV/ AMAN-KT/2014 tertanggal 30 Nopember 2014.

TOT FPIC

Di tempat yang sama, pelatihan Training of Trainers (ToT) Free Prior Informed Consent  (FPIC) Pengurus Wilayah AMAN Kalteng pada tanggal 28-30 November 2014. Dihadiri oleh 22 pengurus wilayah pada 13 kabupaten/ kota di Kalimantan Tengah.

Tujuan dari pelatihan ini adalah meningkatkan keterampilan dan pengetahuan Pengurus Daerah AMAN Kalteng dalam hal memfasilitasi pertemuan dan mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip dalam FPIC. Sedangkan manfaat dari pertemuan 3 hari ini Pengurus Daerah AMAN Kalteng dapat melatih fasilitator lain di daerahnya masing-masing, sehingga memperbanyak kader-kader fasilitator masyarakat adat. Manfaat lainnya adalah masyarakat adat dapat memperjuangkan hak-haknya dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam FPIC, sehingga masyarakat adat dapat berperan lebih aktif dalam setiap kegiatan yang berlangsung di dalam wilayah adatnya.

Peserta yang mengikuti pelatihan ini juga diharapkan dari utusan Pengurus Daerah AMAN Kalteng terampil memfasilitasi pertemuan atau pelatihan dan memahami tentang prinsip-prinsip FPIC dan bagaimana cara untuk mengkomunikasikan atau mensosialisasikannya kepada masyarakat adat.

Sebagai fasilitator pelatihan dipercaya kepada tim dari PW AMAN Kalteng, yaitu Rokhmond Onasis, Kesyadi Antang, Yohanes Taka dan Ferdi Kurnianto yang membawakan materi terkait fasilitator untuk masyarakat adat, mengapa fasilitator berbeda, teknik dan metode fasilitasi, masyarakat adat dan FPIC serta  apa, mengapa dan bagaimana dengan free, prior, informed dan consent?.

Peserta diajak melakukan simulasi terkait penerapan FPIC dan belajar bersama untuk menggali persoalan-persoalan kongkrit yang ada di komunitas masing-masing. Namun sayangnya hanya 14 peserta dari 22 orang yang hadir secara penuh dan mengisi pre dan post test yang di lakukan oleh panitia.

Semoga hasil dari pelatihan ini semakin memperkokoh masyarakat adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.

Sumber Foto: Dokumentasi AMAN Kalteng.

Selasa, 18 November 2014

Masyarakat Tuntut Perda Hak Adat Gelar Aksi Demo di Halaman Kantor Bupati Kobar

AMAN KALTENG
PANGKALAN BUN – Kantor Bupati Kotawaringin Barat (Kobar) dan DPRD Kabupaten Kobar Senin (17/11),  didemo oleh ratusan masyarakat adat dari enam kecamatan yang tergabung dalam aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Kabupaten Kobar. Demo yang berlangsung sejak pukul 09.30 WIB ini, dikawal ketat aparat Kepolisian Resor (Polres) Kobar. 

Ketua AMAN Kobar Mardani mengatakan, demo itu dilakukan untuk menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kobar supaya membuat dan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Karena selama ini kata dia, dari 133 Perda yang dikeluarkan Pemkab Kobar belum ada satupun yang mengatur keberadaan hak masyarakat adat.

“Jadi bagaimana masyarakat adat mencari perlindungan atas haknya. Jika selama ini payung hukumnya didaerah tidak ada,”ujarnya saat dimintai keterangan seusai berorasi di depan Kantor Bupati Kobar.

Padahal, lanjut dia, Pemerintah Pusat sudah mengeluarikan peraturan. Yakni melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No 35 tahun 2012, kemudian Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 52 tahun 2014. Ditambah lagi dengan Peraturan Gubernur tentang hak tanah adat.

“Didalam beberapa aturan itu sudah jelas sekali, dimana ada tanah adat, harus berlaku wilayah adat. Namun sampai saat ini Pemkab Kobar belum juga mengimplementasikan peraturan itu di Kabupaten Kobar ini. Sehingga membuat masyarakat adat merasa dirugikan,”paparnya.

Wakil Bupati (Wabup) Kobar Bambang Purwanto ketika dimintai tanggapan mengaku, pihaknya telah menerima tuntutan dari para masyarakat adat itu. Namun untuk merealisasikannya kata dia, Pemkab Kobar harus membahas terlebih dahulu dengan pihak terkait. (elm)

Sumber: http://kaltengpos.web.id/berita/detail/13320/masyarakat-tuntut-perda-hak-adat.html

Rabu, 05 November 2014

Dua Hutan Adat Ditetapkan Masyarakat Berkomitmen Mempertahankan

AMAN KALTENG
JAMBI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Sarolangun, Jambi, menetapkan dua hutan seluas 332 hektar di hulu Sungai Batanghari sebagai hutan adat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat tersebut diyakini dapat mengantisipasi dampak lingkungan dari aktivitas tambang liar di sekitar desa.

Kedua hutan adat itu dikelola masyarakat Desa Panca Karya dan Temenggung, Kecamatan Limun. Desa Temenggung sangat dekat dengan lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI), hanya berjarak 1 kilometer. Bentrokan antara polisi dan petambang liar bahkan pernah terjadi setahun lalu yang mengakibatkan satu polisi dan dua warga tewas.

”Kami ingin melindungi keselamatan masyarakat lokal dari dampak tambang emas liar tak jauh dari sini,” ujar Yusuf S, pengurus Hutan Adat Desa Temenggung, Selasa (4/11).

Menurut Yusuf, PETI meresahkan masyarakat karena limbah aktivitas produksinya berupa merkuri dibuang ke sungai. Merkuri alias air raksa merupakan logam berat yang secara akumulatif dapat menyebabkan kematian serta merusak jaringan organ dan janin.

Wakil Bupati Sarolangun Fahrul Rozi berharap, penetapan hutan adat akan meningkatkan kesadaran masyarakat melestarikan hutan. Upaya itu sejalan dengan keinginan pemkab menjaga kawasan hulu sebagai kawasan lindung dan melindunginya dari aktivitas tambang liar. Penetapan hulu Sarolangun sebagai kawasan lindung bahkan telah dilakukan melalui peraturan daerah 10 tahun lalu mengingat kondisi hutannya masih baik dan berperan sebagai wilayah resapan air.

Hutan adat di Panca Karya dan Temenggung pada masa lalu merupakan satu kesatuan wilayah marga Datuk Nan Tigo dan berada dalam lanskap Taman Nasional Kerinci Seblat. Luas hutan adat di Desa Panca Karya 217,49 hektar, sedangkan di Desa Temenggung 115 hektar.
Komitmen masyarakat

Koordinator Program Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera yang menginisiasi pengelolaan hutan adat setempat, Riko Kurniawan, mengatakan, komitmen masyarakat mempertahankan hutan adat atau imbo larangan sudah sejak dahulu. Ini diwujudkan dengan surat keterangan dari sidang tengganai dan orang tuo-tuo dusun pada 1929.

”Masyarakat masih menggunakan hukum adat yang berlaku beserta larang pantang dan sanksinya,” katanya.

Di Jambi sebelumnya telah terdapat 30 hutan adat dan 33 hutan desa.

Di Maluku Utara, masyarakat adat Pagu dan suku Togutil di Kabupaten Halmahera Utara justru kehilangan hak mereka. Ini karena tanah adat masyarakat Pagu seluas 29.622 hektar dijadikan lahan eksploitasi tambang emas. Adapun warga suku Togutil kehilangan sumber penghidupan setelah hutan yang mereka garap selama ini seluas 167.300 hektar ditetapkan sebagai areal konservasi oleh Kementerian Kehutanan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Provinsi Maluku Utara Munadi Kilkoda mengatakan itu kepadaKompas, Senin.

Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo mengatakan, pihaknya segera menyusun perda untuk mengatur tentang wilayah adat. ”Kami berkomitmen, hak masyarakat adat tidak boleh terganggu,” katanya. (ita/frn)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009896787

Minggu, 02 November 2014

AMAN Selenggarakan Seminar Peran Seni dan Pendidikan

AMAN KALTENG
Jarum jam masih menunjukkan 9 pagi. Kamis, 23 Oktober 2014 di salah satu ruang pertemuan di Hotel Aquarius Palangka Raya telah di penuhi sejumlah peserta yang mengikuti kegiatan ‘Seminar Peran Seni dan Pendidikan untuk Keadilan Lingkungan di Kalimantan Tengah’. Begitulah isi spanduk yang terpampang di depan ruangan. Sebagai pembukaan sanggar Tari Sanggar Tari Balanga Tingang, ikut menampilkan tarian Masyarakat Adat Dayak usai dipanggil pembawa acara.

AMAN Kalteng bekerja sama dengan Institute Ungu, Jakarta melakukan seminar ini dalam 1 rangkaian kegiatan pementasan teater Subversif (23-24/10). Dalam penjelasannya Faiza Mardzoeki, selaku direktur mengatakan bahwa keinginannya untuk berbagi, bagaimana para pelajar dan mahasiswa ini merespon masalah-masalah penting seperti masalah lingkungan dengan cara seni. “Saya pikir mungkin kesenian tidak akan langsung bisa merubah sesuatu tapi saya pikir kesenian bisa menjadi teman bisa menjadi pendekatan yang cukup berarti untuk memperbincangkan mendiskusikan isu-isu penting,” kata perempuan penulis naskah teater ini.

Berkaitan dengan permasalahan masyarakat adat, dalam sambutannya Simpun Sampurna sebagai Ketua BPHW AMAN Kalteng mengatakan, Masyarakat Adat berada dan terlibat langsung dampak pada lingkungan. Salah satu contoh yang terlihat dari kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Tengah, jika tidak dibayar maka orang tidak mau memadamkannya. Maka dari itu kearifan lokal dan inisiatif-inisiatif lokal sangat diperlukan dalam aktivitas menjaga lingkungan saat ini, namun saat ini praktek seperti ini yang  telah mulai berkurang, dibandingkan pada masa lalu.

“Apa yang terjadi di Kalimantan Tengah sangat mempengaruhi terhadap dunia bukan hanya di Kalimantan Tengah saja. Jadi harapan saya dari kegiatan ini bisa lahir kesadaran semua pihak arti pentingnya menjaga lingkungan,” harap Dadut panggilan sehari-harinya.

Karena kegiatan ini didukung oleh kedutaan Norwegia di Indonesia, Duta besarnya turut hadir menyampaikan sambutan. Stig Traavik, bercerita bahwa, bangsa Norway mempunyai pemahaman yang sama dengan konsep pohon kehidupan yang ada di Kalimantan. Juga dalam hal Budaya peduli lingkungan Bangsa Norway  hampir sama dengan Bangsa Dayak di Indonesia yang berkisah tentang Livelihood yang menceritakan tentang pohon kehidupan.

“Saya sangat bangga sekali karena Indonesia telah menampilkan karya seniman kami Hendrik Ibsen yang sangat terkenal. Teater malam nanti menggambarkan bagaimana budaya sisi modern dan sisi tradisional sangat berbenturan dan bagaimana cita-cita yang ingin kita dengar dan yang tidak ingin kita dengar dan siapa yang berpengaruh dan bertanggung jawab atas lingkungan serta siapa yang menerima dampak buruk langsung atas kerusakan lingkungan. Kesadaran dalam hal ini ketika anda mempunyai hak namun tidak bisa mengungkapkannya,” kata Traavik.

Ia melanjutkan bahwa, kondisi di sini beruntung  karena mempunyai pemerintah daerah sangat mendukung. Ini merupakan contoh yang baik sebagai upaya mendukung keadilan lingkungan. Traavik juga mengingatkan bahwa potensi kerjasama dari pihak yang peduli lingkungan dan pihak yang peduli kerjasama seperti Universitas Muhammadiyah Palangka Raya  yang memberikan tempat untuk pementasan.

Secara singkat, sebelum membuka acara secara resmi, Syahrin Daulay sebagai asisten II setda provinsi Kalimantan Tengah menyampaikan sambutan. Selaku pemerintah provinsi menyambut baik untuk kegiatan ini karena diharapakan menghasilkan kesadaran dalam pentingnya menjaga lingkungan.

Sebelum masuk pada materi seminar, Dinda Kanya Dewi membacakan Puisi hasil karya Pelajar Palangkaraya. Puisi ini menggambarkan kondisi lingkungan di Kalimantan Tengah.

Pada panel pertama yang dipandu Yohanes Taka sebagai moderator, Simpun Sampurna dipercaya sebagai pembicara pertama. Ia membawakan materi Penyebab Konflik di Kalimantan Tengah, antara Perusahaan Perkebunan, Pertambangan dengan Masyarakat Adat yang Berdampak Terhadap Alam dan  Lingkungan.

Secara singkat, Dadut menggambarkan permasalahan yang terjadi dalam tata ruang, tumpang tindih antara kekuasaan pemerintah dengan kekuasaan adat. Kerusakan lingkungan dan sebagainya itu bersumber dari masalah Tata Ruang. Harapannya kedepan harus adanya pelibatan Masyarakat Adat dalam Penyusunan Tata Ruang sehingga mengecilkan konflik dan dapat menjadi solusi.

Pemateri kedua adalah Mastuati dari Lembaga Dayak Panarung (LDP). Aktivis perempuan ini mengajak peserta melihat dampak Industri ekstraktif tambang dan perkebunan di Kalimantan Tengah bagi perempuan dan masyarakat adat.

Mastuati mengingatkan dengan pertanyaan kritis. Apa yang kita lakukan agar perempuan dan masyarakat adat semakin kuat?. Beberapa hal dapat di lakukan dengan upaya advokasi, edukasi, kampanye mengenai Hak Azasi Perempuan dan Hak Azasi Manusia serta pengorganisasian agar perempuan dan masyarakat adat dapat bekerja secara kolektif.

Berikutnya, sebagai pemateri ketiga pada panel pertama adalah Marko Mahin sebagai Rektor Universitas Kristen Palangka Raya. Ia memaparkan Seni Budaya dan Pendidikan Pemerdekaan.
Marko menegaskan, peran seni budaya sebagai media pendidikan kritis, sehingga masyarakat bisa menggambarkan apa yang dipikirkan, menceritakan apa yang telah digambarkan dan mementaskan peristiwa hidup dan harapan hidup yang dialami tersebut, sehingga seni budaya bukan lagi hanya sekedar hiburan atau pertunjukan, bukan lagi alat penindasan dan media membangun kesadaran palsu baru atau menjadi alat penjinakkan kaum penindas tapi merupakan bagian dari proses menemukan transformasi baik dalam diri sendiri maupun dalam komunitas.

Hal penting lainnya pria yang masih sebagai pendeta aktif ini mengatakan seni budaya bisa menjadi tempat membangun kesadaran kritis tentang ketidakadilan dan penindasan, tempat membangun sikap kritis, percaya diri, semangat juang dan pemahaman atas apa yang membuat mereka tetap miskin, tergantung dan tertindas. Jadi masyarakat tidak hanya berfikir bagaimana dunia tetapi juga mampu berfikir bagaimana mengubah dunia.

Pada panel kedua  yang dipandu Faiza Mardzoeki sebagai moderator, Abdi Rahmat sebagai direktur Teropong diberi kesempatan pertama menyampaikan paparanya yang berjudul Memaknai Isu Kesenian, Lingkungan dan Pendidikan (Sebuah Refleksi).

Abdi mengatakan, kesenian sebagai ideologi lingkungan bukan merupakan sesuatu yang didorong-dorong, tapi merupakan sesuatu yang keluar sebagai keniscayaan bahwa lingkungan merupakan ideologi dari kesenian sehingga menempatkannya menjadi sesuatu yang memiliki posisi strategis. Kesenian harus dipulihkan maknanya sebagai sesuatu yang mengandung nilai, bukan hanya sebatas pada keterampilan, kepopuleran, dan tidak hanya skill. Jadi “Bagaimana Mengembalikan Makna Kesenian Merupakan Cara Ampuh Mempengaruhi Perbaikan Lingkungan?”.

Dari sisi akademisi berikutnya, Bismart Ferry Ibie sebagai  tenaga pengajar fakultas kehutanan universitas Palangka Raya mencoba melihat bagaimana pendidikan, lingkungan, media menjadi seni dan budaya.

Secara kritis, pria berkacamata ini mengatakan bahwa permasalahannya kita sering salah ketika mendidik. Ketika kita tidak bisa mengoptimalkan atau menggambarkan objek sesuatu yang kita ajarkan. Seni dalam pelajaran adalah ketika kita bisa mendeskripsikan suatu objek kedalam suatu gambar matematis. Guru dan Dosen sering membuat sesuatu yang gampang menjadi sulit agar kelihatan intelek oleh mahasiswanya, tapi seharusnya ini dibalik supaya yang sulit menjadi mudah.

Untuk memperkaya pemahaman peserta, panitia juga mengajak Matius Hosang dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah. Ia membawakan paparan berjudul
Peran Pemerintah Dalam Mendorong Dunia Seni Dan Pendidikan Untuk Perubahan Positif Partisipasi Masyarakat Dan Keadaan Lingkungan Di Kalimantan Tengah.

Acara yang berakhir pada pukul 1.30  siang ini diwarnai pertanyaan peserta antara lain dari Mardiana Deren, PEREMPUAN AMAN Barito Timur, Novi Angraiyati, Mahasiswa Universitas Kristen Palangkaraya, Andri Masijia, Produser Film Maker/ Lembaga ICC, Agus dari GMNI Palangkaraya, peserta dari Staff Pengajar di Universitas Kristen Palangkaraya dan Pemerhati dan Pelindung Satwa Kalimantan Tengah.

Sumber foto: Dokumen AMAN Kalteng dan http://www.institutungu.org

Senin, 06 Oktober 2014

Komunitas Tumbang Bahanei Lakukan BS

AMAN KALTENG
Aula pertemuan di kompleks perkantoran BAPELKES Palangka Raya menjadi pilihan panitia dalam melakukan pertemuan bertajuk ‘Workshop Benefit Sharing (BS) Komunitas Tumbang Bahanei (KTB)’. Pertemuan yang dilakukan selama 2 hari mengajak peserta workshop untuk mengenal sejauh mana pembelajaran dari pemetaan Wilayah Adat yang telah dilakukan KTB. Acara workshop dimoderasi oleh Dayan di aula lantai-2, jalan Yos Sudarso Palangka Raya. Dimulai pada Selasa-Rabu (28-29/9).

Simpun Sampurna dalam kata sambutannya menjelaskan bahwa Benefit Sharing adalah bagian masyarakat adat dari mengelola dan menjaga hutan. Ia mengungkapkan bahwa selama ini masyarakat adat jarang menulis dan mendata hal-hal apa saja yang dilakukan sehingga tidak percaya diri. Padahal ungkapnya periset belajar dari masyarakat adat  dan akhirnya membuat buku.

“Guru yang paling mulia adalah adalah masyarakat adat itu sendiri, karena banyak yang belajar dari mereka dan saya berharap kita membuku kegiatan kita dengan acara Benefit Sharing hari ini yang dimulai dengan Komunitas Tumbang Bahanei,” harap Dadut panggilan sehari-harinya, sebelum ia membuka acara secara resmi.

Andy Kiki, dari Kemitraan Parnership Kalimantan Tengah menjelaskan bahwa sejak tahun 2010 sudah bekerja sama dengan AMAN Kalteng. Lebih jauh Kiky menceritakan bahwa ide-ide REDD itu terdapat dari masyarakat. Ia berharap dalam dua hari ini sampai besok itu bisa terumuskan dengan baik, sehingga AMAN yang selalu bersemangat untuk mendorong keterlibatan masyarakat adat tetap konsisten.

Acara berlangsung dengan baik dengan aktifnya para peserta diskusi antara lain Hendro, Riko, Oleng Suley, Bambang, Nindit, Gio dan Yester yang terlibat dalam diskusi. Rinting sebagai fasilitator mengajak peserta untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan konsep hutan adat, wilayah adat, hutan desa. Rinting menegaskan bahwa sikap AMAN dari REDD+ ini ialah bukan uangnya, tapi melalui jalan REDD+ ini kita bisa mendapatkan pengakuan.

Beberapa butir penting dari pertemuan ini menghasilkan harus adanya penelitian tentang pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat adat Tumbang Bahanei, adanya fasilitas yang diberikan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah adat Tumbang Bahanei, adanya fasilitas untuk mengembangkan hukum adat yang mengatur pengelolaan wilayah adat Tumbang Bahanei, PDD (Project Design Document) dan aturan internal (SOP) lembaga pengelola wilayah adat.

Tidak kalah penting, butir selanjutnya harus ada upaya untuk memperkuat kapasitas lembaga pengelolaan hutan adat berdasarkan rencana yang sudah disusun meliputi aspek organisasi, dokumentasi, pengemanan kawasan, aspek usaha/ bisnis lestari, dan monitoring/evaluasi. Berkaitan dengan lahan kritis mesti dibuat kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan kegiatan pengkayaan jenis dalam kawasan hutan desa.

Berikutnya, adanya peningkatan pemanfaatan hasil hutan nonkayu, kayu bersertifikat secara terencana, dan kegiatan ekonomi alternatif, adanya monitoring berkala secara partisipatif terhadap kawasan hutan adat, adanya kegiatan untuk kaum perempuan melalui kegiatan-kegiatan ekonomi alternatif dan juga mempromosikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di komunitas serta dilakukan sosialisasi dengan desa tetangga tentang wilayah adat dan hukum adat Tumbang Bahanei.

Keesokan harinya, acara dilanjutkan pada pukul 16.30 WIB untuk membahas dan memperdalam butir-butir yang telah didapatkan. Diskusi ini dibantu oleh bung Iwan dari BP REDD+. Semoga pertemuan ini membawa aksi yang nyata bagi Komunitas Tumbang Bahanei dalam berbagi peran menjaga dan memelihara hutan adatnya.

Sumber foto: Dokumen AMAN Kalteng.

Rabu, 24 September 2014

Pertunjukan Teater Subversif

AMAN KALTENG
Suasana tampak lebih ramai di SMU 5 Palangka Raya. Sekolah yang terletak di jalan Tingang ini dipenuhi puluhan motor yang terparkir persis di depan aula pertemuan. Senin (22/9) lalu di tempat ini menjadi pusat kegiatan dari Ibsen Goes To School, Bicara Sastra dan Lingkungan di Sekolah.

Tidak kurang dari 100 siswa dan guru pendamping tampak hadir di aula. Sebagai pembicara dalam diskusi, AMAN Kalteng turut terlibat dengan membawakan paparan, ‘Lingkungan Hidup Bagi Anak Muda’. Sedangkan Okky Madasari, sebagai penulis novel ikut berbagi pengalaman memberikan tips-tips terkait penulisan bertema lingkungan hidup dan sosial.

Di tempat berbeda keesokan harinya, Selasa (23/9) acara yang sama di lakukan di MAN Model Palangka Raya. Sekolah yang terletak di jalan Tjilik Riwut ini tidak kalah ramainya dengan peserta yang hadir di SMU 5. Para guru dan murid yang terlibat dalam acara ini memberikan pertanyaan yang antusias kepada pembicara.

Ruangan pertemuan yang terletak di bagian tengah sekolah ini dipenuhi tidak kurang dari 100 siswa. Panitia kegiatan dari Komunitas Teater Palangka Raya, Kalimantan Tengah memadukan acara diskusi dengan penampilan musik kecapi, suling dan gandang. Puisi dan karungut bertema lingkungan juga di sajikan sebelum diskusi dimulai.

Salah seorang siswa lelaki yang tidak mau disebutkan namanya menceritakan kepada penulis bahwa paparan yang disajikan oleh AMAN Kalteng, menarik karena di padukan dengan gambar dan film pendek yang menceritakan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia itu sendiri. Walaupun menurutnya tidak mendalam untuk membahas lingkungan hidup. Di sisi lain menurut siswa perempuan, paparan yang disajikan lebih hidup dan di berikan kesempatan untuk bertanya terkait kerja-kerja AMAN Kalteng pada isu lingkungan hidup.

Dua kegiatan di atas menjadi 1 rangkaian yang berujung pada pertunjukan teater Subsversif. Naskah ini di adaptasi Faiza Mardzoeki dari An Enemy Of The People karya Henrik Ibsen. Bagi yang berminat pada tanggal 23 dan 24 Oktober 2014 malam akan di pentaskan pertunjukan teater ini yang dipusatkan di Rumah Betang Eka Tingang Nganderang Palangka Raya. Sedangkan pada 23 pagi akan di selenggarakan seminar yang terkait dengan pementasan teater ini.

Hanya dengan 10 ribu rupiah akan akan di puaskan menyaksikan para pemain film/ sinetron Teuku Rifnu Wikana, Ayez Kassar, Sita Nursanti, Dinda Kanya Dewi, Kartika Jahya, Hendra Yan, Madin Tasyawan dan Andi Bersama. Sebagai pemain pendukung dari komunitas teater Palangka Raya juga terlibat dalam pementasan.

Sumber Foto dan Tulisan Rokhmond Onasis.

Jumat, 12 September 2014

Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman

AMAN KALTENG
Ada sebuah desa di tengah hutan, Tumbang Bahanei, namanya. Ia berada di Kecamatan Rungan Barat,  Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dengan kearifan lokal, masyarakat adat di kawasan ini berusaha menjaga dan mengelola hutan dengan lestari. Meskipun, hutan adat mereka terancam, karena diklaim masuk konsesi perusahaan.

Wilayah adat ini dihuni 139 keluarga dengan luas terdiri dari beberapa bagian. Ada hutan pertahanan adat 2.858,898 hektar, hutan cadangan berladang 132,082 hektar, hutan karet 5.841,327 hektar dan hutan wisata adat 43,661 hektar. Total 8.888,0337 hektar.

Wilayah ini berbatasan dengan enam desa lain. Yakni, Tumbang Langgah dan Tusang Raya (Kecamatan Rungan Barat), Desa Tehang (Kecamatan Manuhing Raya), Desa Tumbang Rahuyan dan Sei Antai serta Tumbang Tuwe (Kecamatan Rungan Hulu).

“Tumbang Bahanei jadi yang pertama menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Mereka luar biasa. Mereka tidak lelah terus berkoordinasi dengan kami. Menelpon dan datang ke Palangkaraya berkali-kali. Bahkan kami bilang ke mereka,”  kata Alfianus Genesius Rinting, deputi umum AMAN Kalteng.

Saya berkesempatan ke desa ini bersama rombongan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, minggu pertama September 2014. Mantir adat, Suley Medan dan Dunal S. Rintung menyambut hangat. Banyak warga berkumpul di rumah itu. Ternyata, mereka sedang menyiapkan upacara adat Punduk Sahur. Sebuah ritual menjaga hutan agar tidak terganggu dari pihak jahat. Meminta roh-roh leluhur ikut menjaga hutan tetap lestari.

Masyarakat adat Tumbang Bahanei tidak bisa dilepaskan dari hutan. Bagi mereka, hutan adalah sumber kehidupan. Mata pencaharian warga sebagian besar berladang dan penyadap karet. Sesekali mereka berburu di hutan.
Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah ini aturan adat sudah dibuat tertulis yang disahkan 29 Mei 2014. Meski begitu, hukum adat sudah lama berlaku di wilayah mereka. Hanya, dulu lisan saja. Hukum tertulis dibuat untuk menguatkan keberadaan mereka.

“Kalau melanggar hukum adat nanti kena jipen,” kata Suley, yang biasa disapa Pak Dagik.

Dia mengatakan, satu jipen setara Rp100.000. Besaran jipen tergantung pelanggaran. Makin berat pelanggaran,  jipen makin besar pula.

Jika ada warga menebang pohon di hutan pertahanan adat, harus membayar 700 jipen per pohon.  Menebang pohon keras di luar hutan pertahanan adat 100 jipen per batang, pohon lunak 70 jipen per batang.

Sanksi perusahaan yang memasuki wilayah adat tanpa izin 2.760 jipen. Perusahaan yang membuka jalan baru di wilayah adat Tumbang bahanei kena 550 jipen ditambah kerusakan yang dihitung mantir adat. Jika perusahaan tetap nekad beroperasi, maka sanksi berlipat ganda menjadi 55.200 jipen.

Menurut dia, warga tidak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat. Mereka hanya boleh menggunakan lahan yang ada sekarang. Hutan pertahanan adat, tetap dibiarkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

“Warga tak ada yang berani merusak alam. Karena kita sadar hutan ini titipan untuk anak cucu kita ke depan. Hutan adalah sumber kehidupan. Jangan sampai hilang,” katanya.

Meski begitu, bukan berarti masyarakat adat Tumbang Bahanei terbebas dari konflik. Banyak warga dari desa tetangga merasa tidak senang. Masih banyak warga di luar Tumbang Bahanei bekerja di dalam hutan adat mereka. Membuka lahan, ataupun menambang emas justru di hutan pertahanan adat.

“Karena kami ada batas-batas dengan mereka. Seolah kami ini mengusir mereka. Ada omongan yang tidak pantas. Kami hanya diam saja. Ini akan dicarikan solusi terbaiknya seperti apa. Kami kumpulkan data-data. Pada 16 kami akan bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Arton. Kami akan beritahukan permasalahan ini.”

Pertemuan dengan desa-desa tetangga hingga saat ini masih belum terjadi. Masyarakat adat Tumbang Bahanei menunggu inisiatif Camat Rungan Barat membuat pertemuan dengan desa-desa tetangga.  “Tapi bukan dari desa tetangga saja. Ada komunitas lain yang masuk ke hutan pertahanan adat Tumbang Bahanei.”

Pengurus komunitas adat berniat menyebarkan buku hukum adat ke desa-desa tetangga. Namun, mereka masih menunggu pengesahan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Dia mengatakan, pencemaran lingkungan akibat pertambangan emas  terjadi. Air sungai keruh dan tercemar. Dagik  mengatakan, yang menambang dari datang dari wilayah Kahayan, Barito Selatan dan lain-lain.

Ironis. Di saat warga Tumbang Bahanei berusaha sekuat tenaga menjaga hutan mereka tetapi warga dari luar membuka  hutan pertahanan adat. Ditambah lagi ancaman perusahaan HPH, PT East Point.

Gerge Gio I Nanyan, kepala Desa Tumbang Bahanei mengatakan, demi melestarikan hutan adat, tawaran investor berkali-kali ditolak. “Saya sudah empat kali didatangi perusahaan HPH. Namanya PT East Point. Kami sepakat menolak.”

Selain kepala desa, Gio juga merupakan bendahara komunitas adat. Beberapa waktu lalu, katanya, perusahaan datang meminta tandatangan persetujuan pembukaan lahan di hutan adat. Saat itu, Gio mempersilakan dua orang perusahaan masuk ke dalam rumah. Mereka menjelaskan peta wilayah yang akan dikelola. Terlihat, wilayah adat Tumbang Bahanei masuk ke sana.

East Point ke wilayah adat Tumbang Bahanei atas  persetujuan kecamatan. Kepala kecamatan menyetujui pembukaan lahan perusahaan untuk HPH. Pembukaan lahan belum terjadi tetapi membuat masyarakat Tumbang Bahanei khawatir.

SK penuntukan East Point keluar tanggal 17 Mei 2010 dengan nomor SK. 370/menhut-II/2010. Luas wilayah  tertera dalam SK mencapai 50.665 hektar. Jika di-overlay, peta itu termasuk wilayah adat Tumbang Bahanei. Tak ada yang tersisa jika East Point benar-benar beroperasi di wilayah itu. Inilah yang membuat warga khawatir dan segera pemetaan wilayah adat.

“Saat itu juga saya suruh istri untuk memanggil seluruh warga. Sementara saya tetap ngobrol dengan East Point.” Ancaman lain bagi Hutan Tumbang Bahanei tamang emas yang dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Ancaman lain bagi hutan Tumbang Bahanei yakni tambang emas  oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Malam itu suasana di rumah Gio riuh. Penuh oleh warga. Permintaan perusahaan untuk tandatangan persetujuan pembukaan lahan, tak pernah didapat. Warga juga membuat kesepakatan untuk tidak menyetujui apapun kegiatan yang berhubungan dengan perusahaan.

“Saya katakan kepada perusahaan, untuk meminta tandatangan saya harus meminta persetujuan dari masyarakat di sini. Karena masyarakat menolak, saya tak bisa memberikan tandatangan,” katanya.

Menurut Dagik, patroli akan terus dilakukan. “Kami tak akan henti-hentinya untuk mengusir mereka. Mereka tidak ada izin. Mereka sudah tahu ada pemetaan. Mereka bilang biarkan saja melakukan pemetaaan, nanti kami akan babat hutannya.”

Pemetaan wilayah adat sudah mereka kerjakan. Kesiadi, ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalteng  mengatakan, selama pemerintah belum mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat Tumbang Bahanei maka permasalahan masyarakat adat tak akan pernah selesai. “Kami mendesak pemerintah daerah segera mengeluarkan perda. Setidaknya pemerintah kabupaten segera mengeluarkan SK agar masyarakat punya kekuatan hukum mengikat,” katanya.

AMAN berusaha mendukung warga Tumbang Bahanei mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Saat inui, terkendala Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tersangkut KPK sambil menanti pergantian kepemimpinan baru.

Persoalan lain, BPN Kalteng belum memahami putusan MK 35. Mereka masih menggunakan pemahaman lama, syarat pengakuan wilayah harus dengan sertifikat dan lain-lain. Meski begitu, tanggapan pemerintah sudah menunjukkan hal positif.

Hari makin gelap. Wilayah adat Tumbang Bahanei tidak teraliri listrik. Hanya beberapa rumah menggunakan genset. Itupun hanya dinyalakan malam hari.  Satu genset memerlukan premium lima liter per hari. Harga bensin Rp15.000 per liter. Warga sangat memerlukan bantuan pemerintah guna  pemasangan sumber energi listrik seperti solar panel, microhydro atau yang lain.

“Malam ini kami akan mengadakan basarah untuk persiapan besok upacara Punduk Sahur,” kata Dunal.

Genset dinyalakan. Warga berkumpul di rumah ketua adat. Membacakan puja-puji. Meminta roh leluhur untuk melancarkan acara besar yang akan digelar besok hari.
Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Keesokan hari, saya memasuki hutan keramat bersama Bambang dan Hendro, warga Tumbang Bahanei. Busung, deputi AMAN Gunung Mas juga menemani. Perjalanan menuju hutan keramat menggunakan sepeda motor sekitar 20 menit. Melewati tanjakan terjal. Sepanjang mata memandang, hutan karet kelola masyarakat yang rimbun berderet di hadapan. Tak lama motor parkir dan lanjut berjalan kaki.

Bambang menjelaskan soal sistem membuka lahan. Warga dibatasi membuka lahan tak boleh lebih dari dua hektar per keluarga. Itu pun tak bisa sembarangan. Jika warga ingin membuka lahan, ada ritual adat yang harus dijalankan.

“Hutan karet ini dulu ini bekas ladang warga. Karena di sini ladang berpindah-pindah. Setelah berladang selesai, mereka tanami pohon karet hingga tumbuh besar seperti ini. Warga boleh membuka lahan kembali di hutan karet ini, jika pohon karet sudah tua,” kata Bambang.

Karet tumbuh bersama pohon-pohon lain. Pohon besar dibiarkan tumbuh bersama karet. Begitu juga rotan, buah-buahan. Semua tumbuh subur di dalam hutan ini.

Kami menembus hutan karet.  Pohon-pohon besar menjulang tinggi sesekali ditemui. Kicauan burung dan suara binatang lain menemani perjalanan. Sekitar satu jam berjalan, akhirnya tiba di pondok yang dikeramatkan warga.

“Di waktu-waktu tertentu warga datang ke sini mengantarkan sesaji. Hutan ini dikeramatkan. Tak ada yang berani mengganggu,” kata Bambang.

Hutan pertahanan adat mereka menyimpan banyak keragamanhayati. Hasil penelitian AMAN Kalteng menunjukkan, di dalam hutan ini masih terdapat banyak satwa liar. Ada 11 jenis tanaman obat, 15 jenis kayu, 174 jenis pohon, 56 jenis ikan sungai, 31 jenis umbut-umbutan, 27 jenis jamur bisa dimakan, lima jamur  tak bisa dimakan, 58 jenis burung dan lain-lain.

“Di sini masih banyak kijang, beruang dan owa. Kalau berjalan terus ke dalam pohon-pohon besar. Warga masuk ke dalam hutan hanya untuk berburu. Warga tak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/09/10/hutan-adat-tumbang-bahanei-terjaga-di-tengah-keterancaman/

Selasa, 09 September 2014

Pelajar Palangka Raya Siapkan Pentas Teater Bersama Aktor Ibu Kota

AMAN KALTENG
PALANGKA RAYA – Institut Ungu Jakarta bersama Komunitas Teater Palangka Raya menggelar Focus Discussion Group dan Workshop Teater: Ibsen, Teater, dan Lingkungan.

Kegiatan tersebut digelar mulai 29 hingga 31 Agustus 2014, di Rumah Betang Eka Nganderang, Jl. Sudirman, Palangka Raya. Para peserta merupakan 30 pelajar SMA dan mahasiswa di Palangka Raya yang mengikuti kegiatan teater di sekolah maupun kampus masing-masing.

Pelatihan dan materi yang diberikan selama tiga hari, meliputi diskusi dan dialog sastra, latihan akting, ilmu teater konvensional dan teater pemberdayaan, juga teater pembebasan.

Adapun pembicara yang memberikan pelatihan, yaitu Direktur Institut Ungu sekaligus penulis naskah teater dan anggota Dewan Kesenian Jakarta Faiza Mardzoeki, aktor monolog dan sutradara mainteater Bandung Wawan Sofwan dan aktor teater Heliana Sinaga, serta perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng Alfianus Genesius Ginting.

Workshop selama tiga hari merupakan kegiatan awal dari rangkaian pementasan teater Subversif!. Di akhir workshop, 10 peserta akan dipilih untuk ikut mementaskan pertunjukan Subversif! yang akan digelar di Betang Eka Nganderang pada 23-24 Oktober mendatang, dengan aktor-aktor teater dari Jakarta antara lain Rifnu Wikana, Dinda Kanya Dewi, Kartika Jahja, dan Sita Nursanti.

“Naskah Subversif! yang kami bawa, memiliki tema yang menyinggung isu lingkungan. Melalui dialog lewat sastra dan teater, hal ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan cermin atas apa yang terjadi di Kalteng, meskipun penyampaiannya tidak secara langsung,”  kata Faiza Mardzoeki kepada Tabengan, Jumat (29/8).

Subversif!, ucap dia, adalah adaptasi dari naskah Enemy Of The People karya Hendrik Ibsen, tokoh teater dunia asal Norwegia. “Tema pementasan itu sangat berkaitan dengan masalah yang tengah berkembang saat ini, seperti kegagalan demokrasi, manipulasi media, pembangkangan, korupsi, moral masyarakat, pencemaran lingkungan, serta kritik atas kekuasaan,” tuturnya.

Menurut Faiza, Kalteng menjadi pilihan pementasan karena dapat menjadi contoh daerah dengan permasalahan-permasalahan lingkungan, terlebih saat ini industri pertambangan dan perkebunan tengah marak di Kalteng. Selain itu, jelasnya, Kalteng merupakan daerah yang dinamis dan sedang tumbuh, sehingga suburnya industri pertambangan dan perkebunan telah memicu berbagai pertanyaan terkait masalah lingkungan berkelanjutan (sustainable environment).

Nantinya dari diskusi dan dialog, ia ingin memunculkan pemikiran dan diskusi lanjutan tentang masalah-masalah di sekitar lingkungan masyarakat para peserta workshop, sehingga mampu membuka ruang dialog bagi perubahan pembangunan di daerah.

Ditegaskan dia, daerah seperti Kalteng ini seharusnya juga memiliki kegiatan-kegiatan seni budaya dan sastra, seperti pertunjukan musik, apresiasi puisi, termasuk pementasan teater. “Pemerintah juga harus menyediakan buku sastra Indonesia dan sastra dunia. Di Indonesia akses buku sastra masih sangat sulit, selain itu, gedung-gedung pertunjukan kesenian semestinya dirawat dan dikelola dengan baik, jangan dibiarkan tidak terurus,” tukasnya. bwn
Copyright © 2012 Harian Umum Tabengan

Sumber: http://media.hariantabengan.com/index/detail/id/40648

Minggu, 31 Agustus 2014

AMAN Kalteng Ikuti Semiloka

AMAN KALTENG
Suasana tampak ramai di salah satu ruang pertemuan hotel Lampang yang terletak di jalan G. Obos Palangka Raya. Di dalam ruangan tampak spanduk besar yang didominasi warna putih dengan ketiga logo dari pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, Kemitraan Partneship dan Yayasan Betang Borneo.

Tulisan berwarna hitam dan bertuliskan “Semiloka Mendorong Strategi Pola Kemitraan Pada Sektor Usaha Perkebunan Di Kalimantan Tengah” terlihat jelas dengan huruf kapital. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 27-28 Agustus 2014 lalu dihadiri sekitar 40 peserta.

AMAN Kalteng ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Simpun Sampurna, Restu Ariandi dan Suhaimi, ikut berproses dalam berdiskusi dan mendengarkan penjelasan dari nara sumber. Adapun nara sumber yang terlibat dalam kegiatan ini adalah  Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah dengan paparan, Pola Kemitraan Dalam Tinjauan Kebijakan Daerah Di Kalimantan Tengah, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Tengah dengan paparan, Kebijakan Bidang Pertanahan Terkait Legalitas Kebun Bagi Pengembangan Kemitraan.

Berikutnya nara sumber lain adalah, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah yang membawakan materi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Perkebunan Berbasis Kemitraan Di Kalimantan Tengah. Bismart Ferry Ibie dari Palangka Raya Institute For Landuse And Agriculture Research, FAPERTA-UNPAR membawakan materi Pengembangan Strategi Pola Kemitraan Usaha Perkebunan Di Kalimantan Tengah.

Terkait pengembangan kelapa sawit di Kalteng, panitia juga mengundang Sawit Watch yang membawakan materi Petani Sawit dalam Pusaran Agroindustri Global. Dari sisi pengusaha sawit ada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Cabang Kalimantan Tengah yang turut membawakan materi Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan Usaha Perkebunan Di Kalimantan Tengah.

Selama 2 hari proses semiloka di pandu oleh fasilitator yang handal dari kemitraan partnership. Diskusi kelompok dan pleno di lakukan untuk mendapatkan pemahaman dari peserta yang cukup beragam latar belakangnya.

Diakhir pertemuan didapatkan rumusan bersama terkait mengapa perlu di lakukan kemitraan, prinsip-prinsip kemitraan yang harus dilakukan dan bentuk/ pola kemitraan apa yang harus dijalankan.

Sumber foto: Dokumentasi AMAN Kalteng

Kamis, 21 Agustus 2014

AMAN Kalteng Ikuti GN-KPA

AMAN KALTENG
Bertempat di Swissbell Hotel Danum Palangka Raya dilakukan pertemuan fasilitasi pelaksanaan kegiatan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) provinsi Kalimantan Tengah.

Pertemuan selama ½ hari ini dihadiri oleh Sugeng dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalteng, P.Victor Sidabutar, dari Sekretariat Tim Kerja Antar Kementerian Implementasi Kegiatan GN-KPA dan Rehabilitasi DAS Kristis, Siterlin dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Nova Veronica, dari Subdit Prasarana Konservasi dan Sedimen Direktorat Sungai dan Pantai Ditjen SDA, Suwasana dari Dinas pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah, Nicolas Nugroho, dari BPDAS Kahayan Provinsi Kalteng.

Berikutnya, tampak hadir I Wayan Mustika, dari BMKG Provinsi Kalteng, Taraulu Agan, dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan II, Poppy Wardani, dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, Akhmad Sajarwan, dari Universitas Palangka Raya. Sedangkan dari NGO dan ormas di wakili oleh Tingang Sofian, dari Yayasan Energi Hijau Kalimantan Tengah dan Simpun Sampurna dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng.

Pertemuan yang di langsungkan pada Selasa, 12 Agustus lalu, juga menghasilkan pembentukan formatur tim GN-KPA provinsi Kalteng yang diketuai oleh kepala BAPPEDA Provinsi Kalteng dan AMAN Kalteng sebagai anggota formatur. Dari berita acara yang didapatkan penulis kegiatan ini akan dimulai pada bulan Oktober 2014 dan pelaksanaan kegiatan di lakukan secara konsisten oleh semua pihak yang terkait dan akan dikoordinasikan oleh sekretarat tim GN-KPA antar kementerian.

Sumber foto: berita acara kegiatan

Minggu, 10 Agustus 2014

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia

AMAN KALTENG
JAKARTA, suaramerdeka.com - Dengan mengusung Tema " Menjembatani Kesenjangan, Melaksanakan Hak-hak Masyarakat,” Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang jatuh pada hari ini 9 Agustus 2014 diperingati.

Tema ini merupakan simbol dari komitmen negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat. “Kembali dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang jatuh pada hari ini 9 Agustus 2014 dan merupakan tahun ke-20 sejak pertama kali diperingati pada tahun 1995, tahun yang sama ketika dimulainya Dekade Internasional untuk Masyarakat Adat,” ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyrakat Adat Nusantara Abdon Nababan, melalui rilis yang diterima suaramerdeka.com, Sabtu (9/8).

Thema HIMAS tahun ini tidak terlepas dari penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (WCIP – World Conference on Indigenous Peoples) yang akan dilaksanakan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB di Markas Besar PBB pada tanggal 22-23 September 2014. WCIP ini bertujuan untuk melihat kembali situasi dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia serta mendengar berbagai praktek-praktek baik oleh negara-negara anggota PBB terkait Masyarakat Adat.

Tahun ini, menurut Abdon, merupakan catatan tersendiri bagi Masyarakat Adat, karena pada Pilpres kali ini AMAN secara resmi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. ”Pilihan Masyarakat Adat terhadap Jokowi-JK, tentu tidak terlepas dari pengalaman langsung dalam memperjuangkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat dan pengamatan kita secara lebih luas terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Negara selama periode pemerintahan Jend (Pur) DR H Susilo Bambang Yudoyono dan Prof DR Boediono (SBY-Boediono) tahun 2009-2014 yang akan lagi berakhir,” tegasnya.

Menurut Abdon Nababan, jika produk hukum yang penting bagi Masyarakat Adat tidak juga keluar pada masa akhir pemerintahan SBY-Boediono maka agenda ini harus menjadi prioritas pasangan Jokowi-JK. ”Mudah-mudahan pasangan Jokowi-JK tidak mengingkari janjinya setelah menjadi Presiden dan Wakil Presiden,” jelasnya,

”Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus melanjutkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), moratorium izin baru di kawasan hutan, Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian dan Lembaga Negara yang diprakarsai dan dimotori oleh KPK - UKP4. Pengembangan ekonomi kreatif berbasis keragaman budaya, ekonomi hijau dan REDD+ ala/berbasis Masyarakat Adat.” tambahnya.

Selain itu, lanjut Abdon, ada juga program pemerintah yang harus dikaji ulang, direvisi atau bahkan harus dihentikan antara lain: MasterPlan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai perluasan pembangunan ekonomi nasional bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing. ”Penetapan Master Plan dalam memilih wilayah tertentu dengan kekayaan sumberdayanya itu dilakukan secara sepihak, Masyarakat (Adat) tidak pernah diminta pendapat dan persetujuan sebagaimana terkandung dalam prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Concent).” pungkasnya.

Berikut, selengkapnya isi press release dari AMAN:

Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia

9 Agustus 2014

Tema: Menjembatani Kesenjangan: Melaksanakan Hak-hak Masyarakat Adat

Sub Tema: “Menjadikan Masyarakat Adat bagian dari Bangsa Indonesia”

Salam Nusantara,

Kembali dunia memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang jatuh pada hari ini 9 Agustus 2014 dan merupakan tahun ke-20 sejak pertama kali diperingati pada tahun 1995, tahun yang sama ketika dimulainya Dekade Internasional untuk Masyarakat Adat. Dua dekade telah berlalu dan thema HIMAS tahun ini adalah Menjembatani Kesenjangan: Melaksanakan Hak-hak Masyarakat Adat. Tema ini merupakan simbol dari komitmen negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat.  Kita bisa mencatat bahwa dalam dua dekade terakhir setidaknya telah ada beberapa langkah-langkah Pemerintah Indonesia terkait pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. 

Perlu kita catat bahwa Presiden Abdulrahman Wahid alias Gus Dur  dan Presiden SBY dan yang secara terbuka di tengah publik memperbincangkan persoalan Masyarakat Adat. Gus Dur melakukannya pada saat Konferensi Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam pada bulan Mei 2000 di Hotel Indonesia Jakarta. Sementara SBY melakukannya pada peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2006 yang diselenggarakan oleh Komnas HAM RI di Taman Mini Indonesia Indah. Presiden SBY mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, yang masih menjadi korban proyek‐proyek pembangunan. SBY juga menyatakan komitmennya untuk memajukan hak‐hak Masyarakat Adat di Indonesia. SBY menyatakan tentang perlunya UU untuk mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat.

Di bawah kepemimpinan SBY, Pemerintah Indonesia telah turut serta secara aktif membangun standar internasional dalam isu HAM maupun dalam isu pembangunan berkelanjutan. Antara lain melingkupi isu Masyarakat Adat, serta yang terpenting adalah ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UN CERD) dan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UN CBD). Dukungan Pemerintah Indonesia dalam pengesahan Deklarasi PBB tentang Hak‐Hak Masyarakat Adat (UN DRIP) tak kalah pentingnya.  Kemajuan tersebut terjadi pada masa Pemerintahan SBY- Jusuf Kalla’ tahun 2004-2009.

Komitmen Pemerintah Indonesia melanjutkan reformasi hukum nasional dalam memulihkan hak‐hak konstitusional Masyarakat Adat telah dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2010‐2014 yang di dalamnya mengagendakan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak‐hak Masyarakat Adat dan RUU revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pada periode SBY - Boediono selama 4,5 tahun ini, SBY mengalami kemunduran yang luar biasa dalam urusan Masyarakat Adat ini. Presiden SBY kembali berjanji di hadapan publik nasional dalam sesi Internasional Tropical Forest Alliance (TFA) 2020 di Hotel Shangri-la, (Juni 2013) untuk melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang "Hutan Adat bukan Hutan Negara" dengan memimpin sendiri pendaftaran dan pengakuan terhadap wilayah-wilayah adat. Belum ada tanda-tanda bahwa janji ini akan dikabulkan, akan tetapi pengesahan RUU Masyarakat Adat dan keluarnya INPRES Percepatan Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya ini masih mungkin terjadi.

Namun demikian, pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR RI mengalami perlambatan dan terancam macet karena SBY tidak jitu menunjuk perwakilan Pemerintah dalam pembahasan RUU ini bersama DPR RI, khususnya dalam penunjukan Menteri Kehutanan sebagai koordinatornya.

Salah satu sumber penjajahan dan penderitaan berkepanjangan bagi Masyarakat Adat sumbernya adalah UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 yang dilanjutkan dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 telah merampas 80% tanah-tanah di wilayah adat menjadi hutan negara. Masyarakat Adat bersama DPR RI berhadapan langsung dengan Kementerian Kehutanan dalam pembuatan UU yang mengatur pengakuan dan perlindungan hak-hak konstitusional Masyarakat Adat merupakan "blunder" yang sulit diterima akal sehat dan sungguh mengecewakan. Putusan MK No 35 yang mengakui hak-hak konstitusional Masyarakat Adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam sama sekali tidak diindahkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU Masyarakat Adat.

Tahun ini merupakan catatan tersendiri bagi Masyarakat Adat, dimana pada Pilpres kali ini AMAN secara resmi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Adalah perjalanan panjang Masyarakat Adat untuk sampai pada pilihan politik penting tersebut, mulai dari  penerimaan aspirasi, usulan bakal calon dari pengurus wilayah dan daerah, pemeriksaan di basis-basis organisasi sampai pada penilaian visi, misi dan program kerja seluruh bakal calon presiden, berkenalan dan berdialog dialog dengan salah satu bakal calon presiden, lalu bermusyawarah-mufakat untuk merumuskan keputusan akhir.

AMAN secara seksama mempertimbangkan rekam jejak masa lalu, kinerja masa kini dan visi masa untuk Masyarakat Adat Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat. Masa lalu yang lebih bersih, kinerja yang lebih baik. Visi masa depan calon presiden yang sejalan dengan visi dan misi perjuangan AMAN selama ini, kita temukan dalam sosok Joko Widodo.

Pilihan Masyarakat Adat terhadap Jokowi-JK, tentu tidak terlepas dari pengalaman langsung dalam memperjuangkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat dan pengamatan kita secara lebih luas terhadap proses dan hasil penyelenggaraan Negara selama periode pemerintahan Jend. (Pur) DR. H. Susilo Bambang Yudoyono dan Prof. DR. Boediono (SBY-Boediono) tahun 2009-2014 yang akan lagi berakhir. 

Kalau produk hukum yang penting bagi Masyarakat Adat tidak juga keluar pada masa akhir pemerintahan SBY-Boediono maka agenda ini harus menjadi  prioritas pasangan Jokowi-JK. Mudah-mudahan pasangan Jokowi-JK tidak mengingkari janjinya setelah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus melanjutkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), moratorium izin baru di kawasan hutan, Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian dan Lembaga Negara yang diprakarsai dan dimotori oleh KPK - UKP4.

Pengembangan ekonomi kreatif berbasis keragaman budaya, ekonomi hijau dan REDD+ ala/ berbasis Masyarakat Adat. Ada juga program pemerintah yang harus dikaji ulang, direvisi atau bahkan harus dihentikan antara lain: Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai perluasan pembangunan ekonomi nasional bertumpu pada hutang luar negeri dan modal asing, di mana penetapan Master Plan dalam memilih wilayah tertentu dengan kekayaan sumberdayanya itu dilakukan secara sepihak. Masyarakat (Adat) tidak pernah diminta pendapat dan persetujuan sebagaimana terkandung dalam prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Concent).

Thema HIMAS tahun ini tidak terlepas dari penyelenggaraan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (WCIP – World Conference on Indigenous Peoples) yang akan dilaksanakan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa/PBB di Markas Besar PBB pada tanggal 22-23 September 2014. WCIP ini bertujuan untuk melihat kembali situasi dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat di seluruh dunia serta mendengar berbagai praktek-praktek baik oleh negara-negara anggota PBB terkait Masyarakat Adat. Pada hari yang sama delapan tahun lalu Presiden SBY berjanji kepada Masyarakat Adat dan WCIP ini adalah kesempatan yang tepat bagi SBY untuk menyampaikan beberapa kemajuan yang sudah terjadi di Indonesia di hadapan Sidang Umum PBB.

Ada sedikit kemajuan pada reformasi hukum sehubungan dengan pengakuan dan pelindungan atas hak‐hak Masyarakat Adat, walaupun masih bersifat parsial dan sektoral, sehingga belum cukup untuk menjamin pertumbuhan serta berkembangnya partisipasi Masyarakat Adat yang efektif sebagai upaya membangunan kebangsaan, perdamaian dan pembangunan ekonomi nasional. 

Saat ini, ancaman terhadap Masyarakat Adat masih akan besar dan tantangan gerakan Masyarakat Adat di nusantara juga akan tetap banyak. Ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memulihkan martabat Masyarakat Adat dengan melaksanakan 6 point janji mereka kepada Masyarakat Adat yang tertuang dalam Visi Misi Capres/Cawapres Jokowi-JK. 

Mari terus merapatkan barisan, berjuang bersama dengan ketekunan, memastikan pengakuan dan pelaksanaan hak-hak Masyarakat Adat.

Jakarta, 9 Agustus 2014

Abdon Nababan,
Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN)

Sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2014/08/09/212456/Hari-Internasional-Masyarakat-Adat-Sedunia dan press release AMAN

Sumber gambar: https://encrypted-tbn1.gstatic.com
***

Kamis, 17 Juli 2014

Lagi, Tumbang Bahanei Ikuti Pelatihan FPIC

AMAN KALTENG
“Kita harus sering belajar dan memperbanyak pengalaman kita, oleh karena itu kita hari ini coba sama-sama belajar. Walaupun ibu, bapak tidak menyadap karet, itukan sudah rugi, tidak jadi beras, tapi kalau kita berfikir panjang, kegiatan inilah yang akan menjaga beras-beras yang selanjutnya atau yang akan datang untuk anak cucu kalian nantinya.”

Itulah potongan kalimat yang terucap dari pria berambut panjang ini, saat ini menjadi fasilitator dalam pelatihan FPIC (Free, Prior And Informed Consent). Pelatihan yang dilakukan selama 2 hari ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tumbang Bahanei, Gunung Mas.

Alfianus Genesius Rinting, adalah deputi umum Simpun Sampurna, ketua BPH AMAN Wilayah Kalteng. Rinting tidak sendiri ia di temani Yohanes Taka dan Yuni yang memandu pelatihan dari tanggal 10-11 Juli 2014. Di hari pertama, tepat pukul 10 pagi Rinting memandu membuka acara yang dihadiri sekitar 40 peserta dari komunitas adat Tumbang Bahanei.

Secara resmi pelatihan dibuka oleh ketua BPD, Yaster Dunal. Ia menyampaikan masih banyaknya tantangan, terutama dengan investor yang mau masuk.”Saya berharap nantinya untuk kita semua disini agar bisa serius mengikuti pelatihan FPIC ini dengan sama-sama belajar,” harapnya.

Usai dibuka secara resmi, Rinting menyampaikan gambaran singkat proses selama 2 hari pelatihan. Beberapa materi akan dibahas bersama menggunakan metode, paparan, diskusi kelompok dan bermain peran. Materi pertama tentang Analisa Sosial Tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim. Sedangkan materi kedua tentang UNDRIP dan FPIC, dilanjutkan tentang Negosiasi dan Lobby.

Yohanes di beri kesempatan pertama untuk menyampaikan materi Analisa Sosial tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim pukul 11.28 siang hingga sore harinya. Selanjutnya Yuni memberikan informasi terkait FPIC (Free, Prior  and Informed Consent) atau persetujuan bebas tanpa paksaan.

Metode tanya jawab di lakukan oleh Yuni, ia mengajak peserta menjawab apa itu FPIC. Salah seorang peserta, Suley Medan menjawab bahwa FPIC adalah kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa paksaan. Sedangkan peserta yang lain, Bambang mengatakan FPIC adalah adanya kesepakatan. Peserta yang lain memberi contoh terkait FPIC, andai kata ada suatu kegiatan, ketika kita hadir atau tidak hadir itu tidak masalah, jelasnya.

“FPIC adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk memutuskan iya atau tidak terhadap pembangunan yang diusulkan diatas tanah masyarakat adat,” jelas Yuni, tanpa mengurangi jawaban dari peserta. Ia menekankan bahwa FPIC adalah landasan/ Basis FPIC untuk Masyarakat Adat. Selain landasan, ini juga menjadi salah satu implementasi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination); hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya.

Bahkan, FPIC menjelaskan hubungan MA dengan entitas/ kelompok lain yang tertarik memanfaatkan, mengelola dan membangun sumberdaya masyarakat adat, meneguhkan keutuhan wilayah masyarakat adat dan berfungsi sebagai satu mekanisme bagi masyarakat adat untuk melaksanakan pengambilan keputusan sendiri; dan menentukan syarat serta kondisi kemitraan dengan pihak lain.

Dikaitkan dengan UNDRIP ada beberapa pasal yang berhubungan dengan FPIC yaitu, pasal 10: hak atas tanah dan wilayah, pasal 11 ayat 2 : hak atas budaya dan agama, pasal 19: pemerintahan sendiri dan penyusunan undang-undang  dan kebijakan yang berdampak terhadap masyarakat adat, pasal 28 ayat 1: hak atas tanah dan “redress”, pasal 29 ayat 2 : hak atas wilayah dan pasal 32 ayat 2 : hak atas tanah dan sumberdaya.

Yuni juga menjelaskan FPIC, adalah singkatan dari empat buah kata, yaitu, Free = bebas; Prior = Didahulukan; Informed = Diinformasikan dan Consent = Persetujuan. Selain UUD 1945 sebagai hukum nasional pengakuan hak masyarakat adat, juga ada di UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak asasi manusia yang mengakui hak-hak perorangan dan hak-hak kolektif masyarakat adat. Juga di UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjamin dan mengakui kewenangan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul atau adat–istiadat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Pengalaman dari daerah yang masyarakat adatnya menerapkan FPIC di lakukan di Lewolema, Flores Timur berkaitan dengan konflik hutan lindung dan pembentukan forum multipihak serta PERDA PHBM. Daerah lainnya yaitu di Kuntu, Riau yang menyelesaikan Konflik HTI. Di Kalimantan sendiri khususnya di Lusan, Kalimantan Timur, yang menyelesaikan konflik HPH dan berhasil membangun negosiasi dengan perusahaan.

Ada 2 hal mendasar mengapa mengapa FPIC begitu penting. Pertama,  biasanya skema pembangunan dipaksakan kepada masyarakat adat tanpa konsultasi, partisipasi atau perundingan – tanpa penghormatan terhadap hak-hak mereka. Mereka bisa saja secara paksa dipindahkan,atau dipaksa meninggalkan tanah – tanah mereka  dan dilatih kembali untuk melayani kebutuhan masyarakat nasional, tetapi tidak untuk memenuhi kebutuhan utama mereka sendiri.

Kedua, FPIC menyetarakan hubungan antara komunitas dan pihak luar, karena ini bermakna menghargai hak-hak komunitas masyarakat adat atas wilayah-wilayah mereka dan untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan di atasnya. Artinya bahwa pembangunan hanya dapat dilanjutkan ketika masyarakat adat telah menerima kegiatan yang bermanfaat untuk mereka dan jika menurut mereka pembangunan itu membahayakan mereka dapat menolak.

Di malam harinya, dari pukul 8 hingga 9 malam, Rinting mengajak peserta untuk berdiskusi dan memberikan contoh dalam cerita sederhana yang menggambarkan penerapan FPIC bagi komunitas masyarakat adat Tumbang Bahanei nantinya.

Hari kedua, Jumat (11/7) tepat pukul 9 pagi Yohanes memandu peserta untuk mereview kembali pembelajaran yang didapatkan hari pertama. Usai mendengarkan review, Yohanes melanjutkan materi yang bekaitan dengan Informed. Di materi ini Yohanes menekankan bahwa ada 13 UU yang mengatur mengenai keberadaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

Ada UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria; UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM; UU No. 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan; UU No. 21 tahun 2001 Sistem Pendidikan Nasional; UU NO. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air; UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Dan Pulau-Pulau Kecil; UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan; UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Di materi ini juga Rinting menambahkan informasi terkait AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Ada 4 hal mengapa AMDAL itu penting, yaitu sebagai strategi pembangunan berkelanjutan tentang sosial progres kebutuhan setiap orang, secara efektif mampu melindungi lingkungan, penggunaan SDA yang bijaksana dan mempertahankan tingkat stabilitas pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja.

Di hari kedua ini juga peserta di ajak untuk bermain peran (role play) berkaitan pada materi inform, consent, negosiasi dan lobby. Peserta di bagi menjadi 3 kelompok dengan peran yang telah diatur oleh fasilitator.

Dalam penyusunan rencana tindak lanjut yang dilakukan pada malam harinya, Rinting memandu dan memberikan penekanan pada beberapa hal. Salah satunya adalah kesiapan komunitas untuk melengkapi informasi-informasi yang terkait pemetaan yang telah dilakukan. Kepala Desa, Gio. I. Nanyan acara secara resmi.

Sumber: Notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.
***



Jumat, 04 Juli 2014

Tumbang Bahanei ikuti Pelatihan Manajemen Organisasi

AMAN KALTENG
Lebih dari 16 peserta mengikuti kegiatan yang bertajuk ‘Pelatihan Manajemen Organisasi Komunitas Tumbang Bahanei’. Kegiatan yang berlangsung selama 2,5 hari ini di gagas oleh Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah (PW AMAN Kalteng) dan Kemitraan Partnership.

Di rumah Dunal, salah seorang tokoh Masyarakat Adat di Tumbang Bahanei, Gunung Mas. Dari pagi hingga malam hari peserta mengikuti dengan antusias. Hari pertama (30/6), acara dimulai sejak pukul 9 pagi, walaupun pada malam sebelumnya telah dilakukan pembicaraan ringan dengan rombongan fasilitator dari Palangka Raya.

Rinting memandu acara pembukaan dan mempersilahkan Suley Medan untuk mengawali dengan berdoa secara agama Kaharingan, selanjutnya Dunal selaku tuan rumah, sekaligus memfasilitasi ruang pelatihan menyampaikan sambutan. Ia mengatakan, acara selama 2 hari ini dapat menjadi kampung teladan di antara kampung-kampung yang lain. “Saya berharap, semua masyarakat di kampung ini, tua, muda, besar kecilpun yang mau datang mengikuti pelatihan ini sama-sama kita mendengarkan, belajar dan memahami,” kata Dunal.

Sambutan, berturut-turut kemudian disampaikan oleh Gio I.Nanyan, kepala desa, Nindit selaku sekretaris komunitas Tumbang Bahanei dan Dadut dari PW AMAN Kalteng. Dalam sambutannya Dadut mengungkapkan,  ada 5 syarat dari Masyarakat Adat (MA) yaitu, adanya kelompok/ komunitas, pranata/ strukutur pengurus, wilayah adat yang jelas/ peta, hukum adat dan masih ada MA yang mengelola.

“Jadi syarat Masyarakat Adat  terpenuhi di Tumbang Bahanei,  ini diakui oleh undang-undang. Namun, yang mengakui ini dari diri kita sendiri terlebih dahulu,” tegas Simpun Sampurna. Sebelum membuka kegiatan secara resmi Simpun mengatakan ada 3 tantangan dari perusahaan yang ingin masuk ke wilayah adat Tumbang Bahanei. Ia berharap selama pelatihan 2,5 hari ini komunitas akan belajar bersama untuk menghadapinya.

Usai pembukaan dan sambutan, Rinting membacakan gambaran umum dari pelaksanaan acara selama 2,5 hari, kemudian mempersilahkan Ferdi dari biro OKK PW AMAN Kalteng menyampakan materi analisa sosial. Secara aktif Ferdi mengajak peserta untuk berdiskusi, dimulai dari menampilkan gambar fenomena gunung es, pendalaman kondisi masyarakat adat Dayak sekarang ini dari sisi sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Lebih jauh Ferdi juga mengajak peserta untuk memahami sistem kapitalisme yang yang terjadi, utang luar negeri sebagai pintu masuk penjajahan baru, semakin kuatnya kekuatan korporasi/ perusahaan dengan pemaksaan yang di lakukan dalam bentuk perjanjian seperti, GATT, GATS, TRIPs,     TRIMs, AoA, REDD , IMF dan Bank Dunia.

Setelah rehat sore, Ferdi melanjutkan materi Teori Kepemimpinan dan Organisasi. Sebuah ungkapan bijak ditampilkan oleh Ferdi berkaitan dengan kepemimpinan dan organisasi yaitu, ‘jika kamu beri  saya ikan, kamu sudah memberi saya makan untuk 1 hari; jika kamu ajari saya memancing, maka kamu sudah memberi saya makan sampai sungai itu tercemar atau garis pantainya menyusut karena pembangunan; namun, jika kamu ajari saya bagaimana berorganisasi, maka apapun tantangannya, saya dapat bergabung dengan rekan-rekan saya dan kami akan berupaya mencari solusi kami’.

Usai rehat malam, materi tetap disampaikan oleh Ferdi yaitu ‘Kepemimpinan Organisasi’. Di sesi ini Ferdi lebih banyak mengajak peserta untuk diskusi terbuka dan menggali pendapat dari peserta pelatihan. Untuk memperdalam pemahaman peserta terkait Dokumentasi dan Data Base, materi ini dibawakan oleh Restu Ariandi, dari biro sekretariat PW AMAN Kalteng yang berakhir hingga pukul 11 malam.

Di hari kedua (1/7) peserta diajak untuk memahami manajemen kegiatan yang akan dilakukan di komunitas. Restu membawa sesi ini dengan mengajak peserta diskusi kelompok membahas jenis kegiatan yang akan dilakukan sekaligus membuat perencanaan dan pengorganisasian tersebut.

Pembahasan ini dipertajam kembali Rinting dengan menjelaskan konsep 5W+1H untuk perencanaan yang telah dibuat. Rinting mengambil contoh bahwa, dalam melakukan pelatihan ini saja, ia merencanakan terlebih dahulu dengan menggunakan 5W+1H ini juga. “Seperti apa kegiatannya, dimana kegiatannya, siapa yang jadi narasumbernya, bagaimana kegiatannya, kapan kegiatannya, dan bagaimana kegiatannya,” jelas Rinting.

Hingga 30 menit sebelum pukul 4 sore dilanjutkan dengan materi tentang Manajemen Rapat yang kembali dibawakan oleh Restu. Kemudian, setelah rehat malam, manajemen keuangan dibawakan oleh Ferdi. Sedangkan pada sesi Rencana Tindak Lanjut (RTL), Rinting memandunya dan menghasilkan catatan-catatan penting, yaitu di sisi internal dan sisi eksternal.

Secara internal komunitas Tumbang Bahanei akan melakukan, pelatihan FPIC pertemuan/ musyawarah rutin, melakukan lobi-lobi terkait Pengakuan Wilayah Adat Tumbang Bahanei. Lobi ini di lakukan oleh organisasi PW AMAN Kalimantan Tengah dan PD AMAN Gunung Mas segera kepada Pemda Gunung Mas dan Pemprov Kalimantan Tengah.

Sedangkan secara eksternal, komunitas akan menanggapi surat yang datang dari Kuayan, Tumbang Malahoi dan Sei. Antai. Komunitas juga akan melakukan penelusuran terkait pelanggaran hukum adat yang terjadi di wilayah adat komunitas Tumbang Bahanei.

Karena terlalu malam akhirnya acara penutupan dilakukan pada keesokan harinya (2/7) yang ditutup secara resmi oleh kepala desa Tumbang Bahanei. Gio I.Nanyan. “Saya berharap dengan PW AMAN dan kawan-kawan di kampung ini, pertemuan kita semakin sering, sehingga kita semua seperti saudara, keluarga yang saling menghormati satu sama lain,” tutupnya.

Sumber: notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.

Kamis, 26 Juni 2014

AMAN Kalteng Tingkatkan Kapasitas di KUBAR

AMAN KALTENG
Suara alat musik pukul katambung, kangkanong dan doa dari pemuka adat Dayak Kalimantan Timur secara pelan namun pasti membuka rangkaian acara pelatihan ‘Program Peningkatan Tata Kelola Bagi Keberlanjutan Mata Pencaharian Komunitas Adat di Sekitar Hutan’. Usai pembacaan doa, kemudian  di lanjutkan dengan tampung tawar, gigit ujung pisau, mengoleskan putih telur, mengoleskan darah ayam, kapur kuning dan tabur beras. *)

Di hari Jumat (23/5) sejak pukul 10 pagi kegiatan di buka oleh Pengurus Daerah (PD) Sendawar sebagai tuan rumah dengan mengadakan ritual pembersihan supaya terhindar  dari malapetaka atau hal - hal yang tidak di inginkan yang di bawa oleh Galoi sebagai pemadu adat dan kepala adat kampung Mapan.

Pak Galoi tidak sendiri, ia  didukung     oleh Syukur,Ketua BPH AMAN Kutai Barat dan Patmah, Ketua Perempuan Adat, keduanya juga dibantu Madrah sebagai salah satu pendukung acara ritual.

Kegiatan yang dipusatkan di kampung Linggan  Mapan kecamatan Linggang Bigung kabupaten Kutai Barat (Kubar) provinsi  Kalimantan Timur ini di ikuti 45 peserta yang berasal dari semua provinsi yang ada di pulau Kalimantan.

Selama 3  hari, dari tanggal 23 – 25 Mei 2014 lalu peserta di ajak untuk  melihat potensi yang ada di komunitas untuk mengembangkan sumber daya ekonomi yang ramah lingkungan dan berdampak bagi kemajuan masyarakat adat.

Setelah melakukan ritual adat didepan aula pertemuan, yang tidak jauh dari lingkungan UPT SMP Negeri 34 Sendawar, kecamatan Linggang Bigung. Selanjutnya, panitia meminta peserta untuk masuk dan dilanjutkan pada acara pembukaan, dimulai kata sambutan dari Harianto, Ketua DAMANDA AMAN Kaltim dan sekaligus membuka kegiatan.

Atas nama Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN),  Mirza Indra dari Tim SICoLIFe yang di berikan mandat oleh sekjen AMAN, turut memberikan sambutan singkat dan memberikan gambaran terkait materi SICoLIFe. Ia mengatakan selama proses pelatihan ini peserta akan belajar untuk memahami dan berdiskusi sehingga di targetkan 360 orang untuk se-Indonesia,  138 kader perempuan dan sekitar 600 orang masyarakat hingga sampai 15 Februari 2015.

Di hari pertama ini usai sholat Jumat yang digabungkan dengan istirahat siang, acara dilanjutkan dengan  review hasil ToT Nasional yang telah dilakukan di Sukabumi, Jawa Barat. Review ini di pandu Asmui dan Muhamad Muslich dari Tim SICoLIFe. Materi ini berkaitan pada pendekatan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatan skema pembayaran layanan ekosistem di wilayah hutan adat.

Dari hasi review terungkap bahwa tujuan dari rangkaian pelatihan ini adalah adanya prinsip-prinsip yang sama dalam pengelolaan hutan, munculnya rekomendasi potensi sumber daya hutan, adanya pemahamaman terkait mekanisme, siapa saja yang dapat menjadi teman dan dapat mendokumentasikan praktek-praktek terbaik. Terungkap juga bahwa ada 4 hal yang sangat prioritas terhadap masyarakat adat yaitu pangan, air, energi dan mata pencarian masyarakata adat itu sendiri.

Untuk merpertajam pemahaman peserta dari sisi pengalaman, Paran dari Kaltim menceritakan pengelolaan hutan yang telah dilakukannya, yaitu upaya perlindungan dan  pengelolaan kawasan lindung hutan gunung Eno/ danau Aco. Setelah itu, pada topik 2 yang berjudul pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) adat berkelanjutan, peserta di berikan materi bagaimana mengelola hutan yang baik. Perlunya perencanaan pengelolaan SDH  ini mengacu pada Putusan MK.35, adanya kebutuhan perencanaan pengembangan & pembangunan wilayah adat, perlunya menjawab tantangan & peluang perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan serta untuk mempercepat pengakuan wilayah adat.

Di malam harinya peserta di ajak untuk berdiskusi dan bertukar pengalaman mengenai apa itu pembayaran layanan lingkungan, juga memperdalam topik 3 yang berjudul pemanfaatan skema pembayaran layanan ekosistem. Tantangan dalam melakukan Pembayaran Layanan Ekosistem (PES)  dan strategi untuk mendapatkan PES juga dikupas di malam pertama ini.

Karena penting dan strategisnya landasan hukum dari keputusan MK 35/ 2012, di hari kedua, Sabtu (24/05), sejak pukul 9 pagi peseta diajak kembali mendalami Keputusan MK NO.35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat. Diselingi dengan rehat pagi, siang dan sore berturut-turut di hari kedua dilanjutkan oleh Candra yang membawakan materi Apa Yang Di Maksud Dengan Peta?.

Kemudian, identifikasi potensi pengembangan ekonomi di masyarakat di sampaikan oleh Pipi. Ia menjelaskan bahwa identifikasi ini memenuhi syarat yaitu anggota AMAN dan telah melakukan pemetaan partisipatif, adanya Identifikasi produk masyarakat adat (PROMA). Pendalaman materi ini dibawakan dengan metode diskusi kelompok.

Pertemuan yang diikuti oleh semua region Kalimantan ini juga di isi dengan ToT ( Trainer of Training ) Region Kalimantan terkait Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Pemanfaatan Skema Pembayaran Layanan Ekosistem (PES) di Kawasan Hutan Adat.

Dari materi TOT ini membahas tahapan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan di wilayah hutan adat. Syarat-syarat yang harus dilewati yaitu, adanya kepastian wilayah dan kelola serta adanya pengelola wilayah tersebut. Dalam hal arah pengelolan sumber daya hutan di tujukan bagi terpeliharanya keberlangsungan fungsi hutan, yaitu kelestarian ekologis, kelestarian ekonomi (produksi), kelestarian sosial-budaya dan tidak dibatasi jangka waktu pengelola.

Menjelang usainya hari kedua, peserta diajak untuk mendalami topik 3 yang berkaitan dengan pemanfaatan skema pembayaran layanan ekosistem. Di hari ke-3 peserta diajak untuk melihat secara langsung jasa lingkungan yang dikelola oleh masyarakat adat Dayak Kaltim di Kawasan objek wisata Jantur Mapan Sendawar Kota BERADAT dan ke Gua Maria Bunda Penebus Linggang Mapan, Kalimantan Timur.

3 orang utusan dari AMAN Kalteng mengikuti rangkaian acara ini dengan aktif, yaitu Abdul Rahman, Ahmad Frisandy dan Yester  Dunal. Ketiganya mewakili komunitas Mintin, Maanyan dan Tumbang Bahanei. Adapun asal komunitas yang terlibat adalah dari Kaltim mencakup, Modang,  Kutai,  Rantaunu,  Jumen Tuayan, Benuaq Idan Pesing, Benuaq Ohonkng,  Paser,  Punan, Tementang, Tonyoy. Dari Komunitas Kalbar mencakup, Dayak Hibutn, Dayak Kualatn serta dari Komunitas Kalsel diwakili Dayak Meratus.

Sumber tulisan: notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.
*) penamaan alat dan bahan ritual adat, berdasarkan sebutan dari adat Dayak Kalimantan Tengah.

***