Sabtu, 06 Juni 2015

Abdon Nababan Masyarakat Adat dan World Economic Forum (WEF)

Salam Perspektif Baru,

Kali ini kita akan bicara mengenai masyarakat adat dan World Economic Forum (WEF). Tamu kita adalah Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat di berbagai penjuru Nusantara. Pada akhir 2014, Abdon menjadi salah satu pembicara dalam WEF di Davos, Swiss. Ia merupakan pemimpin masyarakat adat yang pertama yang dapat kesempatan pertama berbicara di WEF.

Menurut Abdon, saat ini keadaan masyarakat adat di Indonesia berhadapan dengan begitu banyak konflik di lapangan dan juga banyak penghancuran hutan, yang semua itu berdampak terhadap kehidupan masyarakat adat. Masyarakat adat perlu dilindungi. Jadi mulai kini investasi yang dilakukan pun harus memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Hal ini akan menguntungkan para pebisnis karena bisnis dan investasi mereka lebih terjamin ketika tidak ada lagi masalah-masalah akibat pelanggaran-pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Abdon mengatakan cara bekerja investor dan perusahaan besar saat ini, seperti memproduksi dan mendistribusikan pangan dan energi, justru menimbulkan pelanggaran HAM dan kesengsaraan yang luar biasa terhadap masyarakat. Atas dasar itu seluruh pemimpin dunia khususnya pemimpin perusahaan-perusahaan swasta di sektor pangan dan energi harus melakukan transformasi berupa bebas dari perampasan tanah (land grabbing). Kedua, harus bebas dari pelanggaran HAM dan konflik karena itu yang menjadi sumber dari biaya ekonomi tinggi saat ini. Ketiga, sektor energi dan sektor pangan harus lebih banyak diarahkan produksinya ke masyarakat adat dan penduduk lokal, sedangkan investor besar dan perusahaan besar justru nanti akan menggeser fokus mereka dari produksi ke pengolahan dan distribusi. sekarang kecenderungannya perusahaan seperti kolonial yang sedang menjajah masyarakat adat. Ini tidak boleh terjadi lagi.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Abdon Nababan dan sebagai pewawancara Mahisa Dwi Prastowo.

Orang awam mungkin sering tertukar mengenai Orang Rimba dengan Suku Anak Dalam di Jambi. Apa bedanya Orang Rimba dengan Suku Anak Dalam? Kemudian, apa yang sebenarnya terjadi dengan Orang Rimba di Jambi belum lama ini?

Orang Rimba di Jambi memiliki karakteristik budaya yang khas. Mereka disebut orang rimba karena secara kultural dan spiritual tidak terpisahkan dengan rimba atau hutan. Orang Rimba berbeda dengan Suku Anak Dalam yang memiliki budaya menetap. Orang Rimba sebenarnya juga menetap. Namun ada tradisi melangun yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya kalau ada bencana meninggal. Jadi setiap ada yang meninggal mereka berpindah. Mereka berpindahnya di putaran wilayah mereka juga. Suku Anak Dalam tidak mempunyai budaya itu. Jadi ketergantungan terhadap hutan jauh lebih tinggi bagi Orang Rimba dibandingkan Suku Anak Dalam. Orang Rimba dengan cara budaya dan spiritualnya yang harus berpindah-pindah itu lama kelamaan tepatnya sejak 1980-an makin mengerucut, makin menyempit ruang hidupnya.

Ketika Hak Penguasahaan Hutan (HPH) masuk tidak terasa ada masalah karena HPH tidak melakukan land clrearing terhadap hutan, tetapi tebang pilih. Setelah HPH selesai kemudian daerah itu berganti menjadi perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Industri ini harus menebang seluruh hutan kemudian menanami kembali. Karena itu Orang Rimba yag hidup dari keragaman hayati hutan mengalami krisis pangan dan krisis ruang karena makin menyempit. Kemudian menimbulkan krisis kesehatan karena obat-obat yang tadinya ada di hutan sudah tidak mampu lagi merespon munculnya penyakit-penyakit baru. Jadi, krisis pangan juga menimbulkan krisis kesehatan dan inilah yang menyebabkan kasus 12 Orang Rimba meninggal. Krisis pangan dan krisis kesehatan muncul karena krisis ekologi hutan. Daerah ini sekarang diokupasi oleh HTI dan puluhan perkebunan sawit. Pada masa pemerintahan Gus Dur mereka dilindungi dengan membuat taman nasional, yaitu Taman Nasional Bukit Duabelas, dan sebagian dari masyarakat adat di wilayah itu masih bisa diselamatkan. Namun masyarakat adat Orang Rimba yang berada di luar Taman Nasional bila tidak ada penanganan serius maka mereka bisa mengalami kematian secara terus menerus.

Apakah berarti solusi yang dibutuhkan adalah memperluas Taman Nasional bila yang meninggal di luar Taman Nasional, ataukah ada kebijakan lain yang bisa dilakukan?

Pertama, yang harus dilakukan memulihkan rimba supaya mereka bisa hidup. Jadi, Taman Nasional ini harus diperluas, izin-izin HTI dan perkebunan sawit yang ada di sekitar Taman Nasional harus dicabut dan kemudian direhabilitasi, direstorasi. Kita juga bisa menemukan izin-izin tersebut belum memenuhi prosedur hukum yang benar, yang disebut separuh nyolong (Spanyol). Artinya, pemerintah dengan hukum yang berlaku sebenarnya bisa mencabut dan melakukan rehabilitasi. Sekarang yang diperlukan adalah menyediakan pangan dan obat-obatan untuk mereka. Kalau itu tidak disediakan sekarang, maka dalam beberapa bulan ke depan akan banyak sekali orang meninggal. Jadi, harus ada satu tim di Taman Nasional ini untuk mendampingi mereka supaya bertahan hidup.

Apakah penanganan pemerintah pada saat ini sudah tepat atau ada kekurangan?

Yang kami lakukan saat kejadian ini terjadi adalah mengirim surat kepada Menteri Sosial. Menteri Sosial cukup cepat melakukan penanganan tapi pada bagian usulan kami tentang perlunya mencabut izin dan rehabilitasi kawasan hutan yang menjadi lintasan hidup Orang Rimba, tetap saja harus ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Jadi sekarang kami minta Menteri Sosial mendesak Menteri LHK supaya segera mencabut izin-izin yang tidak sesuai prosedur dan kemudian direhabilitasi.

Sudah berapa lama ada kasus Orang Rimba ini?

Sebenarnya kasus Orang rimba ini sudah lama tapi karena meninggalnya satu persatu jadi dianggap hanya kematian "biasa" tapi rata-rata jarak meninggalnya makin cepat. Bahkan beberapa bulan terakhir seperti massal. Lebih dari tiga orang yang meninggal di rumah sakit belum lama ini. Hal itu yang membuatnya menjadi isu besar. Sebelumnya Orang Rimba sering mengadukan hal ini namun baru ada respon pada masa Menteri LHK Siti Nurbaya. Semoga Mensos dan Menteri LHK bekerja cepat dan mengatasi masalah ini lebih baik. Meskipun tidak sebaik Gus Dur. Gus Dur memang mengalokasikan hutan mereka yang tersisa menjadi Taman Nasional. Waktu itu Gus Dur menyatakan dalam Keputusan Presiden (Keppres) bahwa Taman Nasional tidak boleh mengusir orang rimba karena memang disediakan oleh negara bagi orang rimba.

Pada masa Gus Dur tampak cepat dan bisa langsung diaplikasikan di lapangan. Apa sebenarnya yang menjadi penghalang pemerintah sekarang terutama Menteri LHK dan tim tidak bisa bergerak cepat?

Presiden Gus Dur memang berbeda. Dia sangat sederhana. Ketika kami bilang kawasan konservasi di Indonesia mengusir masyarakat adat dengan cepat, Gus Dur menyatakan akan membuat taman nasional untuk masyarakat adat. Gus Dur tidak peduli dengan hukum yang tidak masuk akal. Presiden-presiden sebelumnya takut hukum, sehingga justru bukan mengubah hukum tersebut menjadi lebih baik. Jadi kalau ditanya kenapa Gus Dur bisa, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak bisa, dan apakah Joko Widodo (Jokowi) bisa. Kalau Jokowi patuh pada hukum walaupun hukum itu jelas-jelas menimbulkan ketidakadilan dan dia tidak melakukan terobosan, maka memang Jokowi tidak seperti Gus Dur tapi belum bisa dinilai sekarang karena kasus ini baru muncul. Saya melihat komitmen awal Jokowi terhadap masyarakat adat. Jadi seharusnya tidak ada alasan untuk tidak melakukan tindakan cepat menyelamatkan Orang Rimba.

Belum lama ini ada ide sertifikasi Orang-orang Rimba termasuk mereka diberi tempat tinggal. Apakah ide tersebut akan menyelesaikan masalah?

Tentu tidak. Kebutuhan mereka adalah kebutuhan kultural dan spiritual bukan rumah. Kebutuhan spiritual, kultural, dan ekonomi mereka adalah rimba. Solusinya bukan rumah tapi rimba. Karena nanti rumah juga akan ditinggalkan karena mereka harus ke hutan.

Apakah itu artinya ide tersebut bukan memperbaiki keadaan tapi justru sebaliknya?

Justru sayang rumahnya karena begitu ada keluarga mereka meninggal maka akan ditinggalkan rumah tersebut dan tidak mungkin kembali lagi ke tempat itu. Kalau dibangun rumah kemudian ada yang meninggal maka mereka akan berputar lagi. Hal itu merupakan bagian mereka mempertahankan hutan karena akan ada penambahan hutan-hutan baru yang mereka buat dan mereka jaga. Yang menjadi persoalan cara mereka membangun hutan dan melestarikan hutan terdesak oleh izin-izin. Solusinya adalah kurangi izin-izin tersebut dan perbesar ruang mereka. Secara perlahan trasformasi sosial dibangun karena tidak mungkin tanpa persiapan sosial, tiba-tiba mereka diberi rumah.

Bagaimana perhatian internasional terhadap masyarakat adat di forum internasional, seperti pada akhir tahun lalu diselenggarakan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. Bagaimana latar belakang hadir di Davos dan apa saja kegiatan di sana?

WEF merupakan forum para Chief Executive Officers (CEO), pebisnis, dan ahli economi yang mendiskusikan bisnis mereka agar tetap berlanjut dan menguntungkan. WEF 2014 di Davos pada akhir tahun lalu sebenarnya memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan pangan. Itu karena perusahaan-perusahaan yang terlibat didalam pangan dan energi ini sebenarnya sedang mengalami krisis. Perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan lahan-lahan besar untuk memproduksi pangan sebenarnya paham di lapangan mereka berhadapan dengan banyak konflik. Perusahaan-perusahaan ini didalam berbagai kesempatan dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bisnis dan investasi mereka sebenarnya pada tingkat tertentu sudah terganggu. Jadi para pebisnis ini dipaksa membicarakan persoalan-persoalan mendasar dari industri pangan dan energi. Dari data yang ada di komite eksekutif WEF, saya termasuk pemimpin pertama masyarakat adat yang mendapat kesempatan pertama berbicara di WEF.

Pada kesempatan itu saya membicarakan tentang situasi masyarakat adat di Indonesia yang sedang berhadapan dengan banyak konflik di lapangan. Banyak penghancuran hutan di lapangan yang berdampak pada kehidupan masyarakat adat yang makin buruk. Selain menghadiri forum ekonomi dunia, saya juga bertemu dengan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Sofyan Djalil. Saat itu kita juga menyampaikan bagaimana melakukan trasformasi ekonomi di Indonesia tanpa ada lagi perampasan tanah-tanah adat, penggusuran tanah-tanah rakyat. Pada saat itu komitmen pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh Menko Perekonomian sangat jelas. Pertama, Nawa Cita sudah mengagendakan perlunya perlindungan terhadap tanah-tanah rakyat khususnya masyarakat adat. Bahkan dia menekankan bahwa pemerintah Indonesia sudah berkomitmen mengenai moratorium. Jadi pemerintah Indonesia sekarang ini cukup maju.

Apa saja poin-poin utama Anda yang disampaikan ketika di Davos?

Sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, saya mewakili persoalan yang ada di masyarakat adat. Saya menyampaikan beberapa hal. Pertama, industri pangan dan industri energi kita khususnya perkebunan sawit harus bebas dari perampasan tanah (land grabbing). Kedua, harus bebas dari pelanggaran HAM dan konflik karena itu yang menjadi sumber dari biaya ekonomi tinggi saat ini. Ketiga, sektor energi dan sektor pangan harus lebih banyak diarahkan produksinya ke masyarakat adat dan penduduk lokal, sedangkan investor besar dan perusahaan besar justru nanti akan menggeser fokus mereka dari produksi ke pengolahan dan distribusi. Jadi tidak ada satu situasi dimana masyarakat adat dan kelompok-kelompok petani berkelahi tidak seimbang dengan perusahaan-perusahaan besar karena perusahaan-perusahaan besar juga ditopang oleh aparat keamanan. Hal ini secara keseluruhan tidak baik untuk bisnis di masa depan. Cara bekerja sekarang ini seperti memproduksi dan mendistribusikan pangan dan energi justru menimbulkan pelanggaran HAM dan kesengsaraan yang luar biasa terhadap masyarakat. Atas dasar itu saya mendesak bahwa seluruh pemimpin dunia khususnya pemimpin perusahaan-perusahaan swasta untuk melakukan transformasi industri pangan dan industri energi.

WEF Regional akan diselenggarakan di Jakarta. Apakah AMAN akan menyampaikan hal yang sama dengan di Davos atau ada tambahan lagi?

Untuk pertemuan di Jakarta tentu tetap inline dengan yang saya sampaikan di Davos. Namun AMAN akan mengeluarkan langkah-langkah yang lebih kongkrit. Kalau di Davos saya bicara tentang hal-hal yang makro, maka dalam diskusi nanti AMAN sedang menyiapkan bagaimana membebaskan industri sawit dari praktek land grabbing atau praktek perampasan tanah, bagaimana membebaskan industri sawit dari pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada Orang Rimba, bagaimana membebaskan industri sawit dari konflik berkepanjangan tanpa ada penyelesaian, bagaimana langkah-langkah membangun suatu hubungan yang lebih mutualistik antara masyarakat adat dan penduduk lokal dengan perusahaan, itu karena sekarang kecenderungannya perusahaan seperti kolonial yang sedang menjajah masyarakat adat. Ini tidak boleh terjadi lagi. Tentunya kita akan memperkenalkan konsepnya dan langkah-langkah yang selama ini sudah diuji coba di berbagai tempat dan cukup berhasil.

Apa jawaban terhadap pertanyaan itu, dan bagaimana langkah-langkah AMAN yang lebih kongkrit tadi?

Sebenarnya kalau jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu kita sedang diskusikan bersama pemerintah Indonesia. Yang kita perlukan sekarang adalah bahwa private sector pun mendukung. Misalnya, pembentukan satuan tugas (Satgas) presiden. Kalau tidak ada satgas presiden maka masalah-masalah lama tidak akan bisa diurus, dan juga ketidakharmonisan diantara kementerian juga tidak bisa ditangani. Jadi dengan seperti itu kita ingin menekankan kepada sektor bisnis, jangan khawatir dengan masyarakat adat, justru dukung masyarakat adat supaya bisnis Anda menjadi lebih pasti, investasi Anda pun akan lebih pasti. Tapi baik masyarakat adat maupun kelompok bisnis, sebelum bermitra dalam bisnis yang nyata, harus bermitra dulu dalam kerja advokasi.

Apa kerja advokasi yang bisa dilakukan antara sektor bisnis dengan masyarakat adat?

Pertama, memastikan presiden membentuk satgas masyarakat adat. Kedua, memastikan ada yang mendukung moratorium izin-izin ini supaya dengan moratorium izin itu ada ruang antara masyarakat adat dan bisnis dalam menata hubungan. Nanti akan kelihatan ada tanda-tanda baik atau tidak apa-apa bila izin dibuka kembali. Ketiga, kemitraan advokasi yang diperlukan dengan sektor bisnis adalah saat ini pembagian manfaat antara perusahaan dengan masyarakat adat masih timpang. Kecenderungannya justru kehadiran perusahaan memiskinkan masyarakat adat. Bagaimana pola kemitraan dan pola pembagian manfaat ke depan ini yang harus didiskusikan diantara sektor bisnis dan masyarakat adat kemudian dilegalisir oleh pemerintah. Itu secara garis besar. Selama ini seolah-olah masyarakat adat berkelahi dengan perusahaan. Padahal yang membuat kita berkelahi itu karena pemerintah lemah. Kita mau sama-sama memperkuat pemerintah supaya pemerintah kemudian bisa menyelesaikan masalah diantara kita.

Saat ini di tingkat internasional maupun nasional sudah banyak dukungan terhadap masyarakat adat bahkan pemerintah juga komitmen terhadap masyarakat adat, namun kita masih melihat banyak juga pelanggaran HAM, seperti terjadi pada orang Rimba di Jambi. Secara umum, apakah trend ini lebih besar positif atau negatifnya?

Lebih besar positifnya. Itu karena di setiap kebijakan, praktek di lapangan dimulai dengan diskursus/wacana. Kemudian mengkristal menjadi policy. Selanjutnya ada instrumen baru internasional. Namun di antara policy ini, instrumen-instrumen dengan praktek masih berjarak. Jadi sebenarnya dari awal diskursus, kemudian orang sadar kenapa dunia menjadi begini? Kalau begitu kita buat instrumen-instrumen baru. Ada instrumen di tingkat internasional dan mulai masuk ke nasional. Tapi dari nasional ke daerah ada tantangannya, dari daerah sampai di kampung ada lagi tantangannya. Yang paling penting kita jaga adalah garis perjalanannya, jangan sampai dia hancur, kita jaga jangan sampai turun. Jadi dijaga terus momentumnya supaya isu-isu ini kemudian tidak hilang dari pertarungan politik ekonomi yang sedang berlangsung. Memang tidak mungkin cepat karena kita melakukan kesalahan dan kelalaian selama 70 tahun. Kalau kita bisa perbaiki kelalaian itu dalam 20 tahun maka kita sudah bisa dianggap hebat.

sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/995

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar