Tampilkan postingan dengan label Siaran Pers. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siaran Pers. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Januari 2022

Posisi Kasus Kades Kinipan Willem Hengki

AMAN KALTENG

Dok. Foto/Koalisi Keadilan Untuk Kinipan

Posisi Kasus

Kades Kinipan Willem Hengki

Terkait Status Tersangka Dugaan Korupsi

Dana Desa Tahun Anggaran 2019


A.    Kronologi Kasus
Sebagaimana yang diketahui bahwa Pembuatan Jalan Usaha Tani Pahiyan Desa Kinipan tersebut dilakukan pada tahun 2017 lalu berdasarkan kesepakatan antara Kepala Desa Kinipan terdahulu (sebelum Willem Hengki) dengan pihak Kontraktor. Kesepakatan saat itu juga memuat tentang pembayarannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES) Desa Kinipan Tahun Anggaran 2018. 

Selasa, 18 Januari 2022

Ketua BPHW AMAN Kalteng : Kasus ini terkesan dipaksakan oleh Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum untuk menjerat Kepala Desa Kinipan.

AMAN KALTENG
Willem Hengki di ladang padi miliknya di Desa Kinipan (Foto/FB Wilem Hengki)

PALANGKA RAYA, AMAN KALTENG – Sebelumnya Koalisi Keadilan untuk Kinipan melalui Tim Kuasa Hukum Willem Hengki bersama warga Kinipan telah mendesak Kepolisian Resort Lamandau untuk menghentikan kasus/ penyidikan (SP3),  namun karena berkas perkaranya telah lengkap (P-21) maka perkara ini telah naik ke tahap dua yaitu pelimpahan ke Kejaksaan.  

Rabu, 26 Agustus 2020

PERNYATAAN SIKAP KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN : BEBASKAN EFFENDI BUHING, PEJUANG WILAYAH ADAT KINIPAN

AMAN KALTENG

 

Effendi Buhing saat setelah pertemuan mediasi antara Laman Kinipan dan PT. SML di Kantor Staf Presiden di Jakarta (Foto/Effedi Buhing)

Alerta…!!! Alerta…!!! Alerta…!!!

PERNYATAAN SIKAP KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN 

BEBASKAN EFFENDI BUHING, PEJUANG WILAYAH ADAT KINIPAN

Satu lagi pejuang adat Kinipan ditangkap polisi. Siang ini, Rabu (26/8/2020) Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan menjadi korban kriminalisasi. Ia dijemput paksa polisi di rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.

Dalam video yang dikirimkan warga kepada kami, terlihat Effendi Buhing sempat menolak dibawa oleh polisi. Karena penangkapan yang hendak dilakukan kepadanya tidak jelas perkaranya. Selain itu, penangkapan terhadap dirinya tanpa didahului surat pemanggilan sebagai saksi. Video tersebut juga memperlihatkan bahwa Effendi Buhing sempat menolak penangkapan atas dirinya, karena penangkapan yang hendak dilakukan tersebut tidak jelas berkaitan dengan masalah apa. Namun demikian, Polisi memaksa menangkapnya.

Effendi Buhing diseret dari dalam rumah menuju mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan oleh Polisi. Di dekat mobil tersebut, juga terlihat Polisi berseragam hitam dan bersenjata api laras panjang sedang berjaga.

Penangkapan yang dilakukan terhadap Effendi Buhing tersebut, patut diduga terkait gencarnya penolakan yang dilakukan masyarakat adat Laman Kinipan terhadap upaya perluasan kebun sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (SML) yang membabat hutan adat milik masyarakat Kinipan.

Sebelum penangkapan ini, eskalasi kekerasan, teror dan berbagai bentuk intimidasi menimpa masyarakat adat Laman Kinipan, mulai dari penebangan hutan, penggusuran lahan, upaya mengkriminalisasi Kepala Desa, penangkapan terhadap 4 orang warga, hingga penangkapan terhadap Riswan.

Maka dengan ini kami yang tergabung dalam KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN menyatakan sikap :

1.         Mengecam keras tindakkan refresif aparat Kepolisian dari POLDA Kalimantan Tengah atas penangkapan saudara Effendi Buhing (Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan) di rumahnya pada hari ini Rabu 26 Agustus 2020.

2.         Mendesak agar KAPOLDA Kalimantan Tengah segera membebaskan Effendi Buhing dan 5 (Lima) orang warga Komunitas Adat Laman Kinipan lainnya yang telah ditangkap sebelumnya.

3.         Hentikan upaya kriminalisasi terhadap pada Tetua, Tokoh, Masyarakat Adat dan Pejuang Lingkungan yang berjuang mempertahankan Hak, Hutan, Wilayah Adat dan Ruang Hidup mereka dari ancaman Alih Fungsi Kawasan oleh PT. Sawit Mandiri Lestari.

4.         Mendesak agar Pemerintah melakukan Evaluasi terhadap Ijin PT. Sawit Mandiri Lestari yang beroperasi di wilayah adat Kinipan.

 

TTD

KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN

Effendi Buhing saat ditangkap oleh aparat dari rumahnya di Laman Kinipan (Foto/Warga Kinipan)

Effendi Buhing saat ditangkap oleh aparat dari rumahnya di Laman Kinipan (Foto/Warga Kinipan)

Effendi Buhing saat ditangkap oleh aparat dari rumahnya di Laman Kinipan (Foto/Warga Kinipan)

Selasa, 25 Agustus 2020

PERS RILIS DAN PERNYATAAN SIKAP KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN

AMAN KALTENG

 

Foto : Riswan pada saat diperiksa di ruang Ditreskrimum POLDA Kalteng (AMAN Kalteng/doc)


PERS RILIS DAN PERNYATAAN SIKAP

KOALISI KEADILAN UNTUK KINIPAN

 “Bebaskan Riswan, Hentikan Kriminalisasi Pejuang Wilayah Adat Kinipan”

Palangka Raya, 24 Agustus 2020

 

Riswan (29 Tahun), anggota komunitas adat Laman Kinipan ditangkap Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (POLDA Kalteng). Ia ditangkap tiga minggu setelah mediasi antara komunitas adat Kinipan dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) gagal dilaksanakan di kantor Camat Batang Kawa di Desa Kinipan (22/07) atau 2 bulan sejak kegiatan yang dituduhkan kepadanya.

Pada Sabtu (15/08) 9 orang aparat kepolisian gabungan dari POLDA Kalimantan Tengah, POLRES Lamandau dan POLSEK Delang mendatangi rumah kediaman Riswan di Kinipan dan langsung membawa Riswan ke Rumah Kepala Desa Kinipan. Di kediaman Kepala Desa Kinipan, aparat kepolisian tersebut menyebutkan bahwa mereka ingin meminta Klarifikasi dari Riswan terkait kegiatan warga Kinipan pada tanggal 23 Juni 2020 yang lalu di hutan pada sekitar tempat perusahaan bekerja. Pada sore itu juga Aparat sempat memaksa Pak Willem Hengki (Kepala Desa Kinipan) dan Riswan untuk berangkat bersama mereka ke Kantor POLSEK Delang namun ditolak oleh pak Willem Hengki. Tidak ada Surat Pemanggilan yang sampaikan oleh aparat kepolisian kepada Riswan dan Pak Kepala Desa sebagai landasan mereka meminta klarifikasi tersebut.

Jumat, 19 Juni 2020

Pernyataan Sikap AMAN Kalimantan Tengah terkait Rencana Food Estate

AMAN KALTENG

 

Manugal (Penanaman Padi) pada ladang warga di komunitas adat Muara Mea, Barito Utara (Foto Dok : AMAN Kalteng 2013)
 


Hingga bulan Juni tahun 2020 ini, kondisi Pandemi COVID-19 ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda, namun pemerintah tetap bersikukuh untuk merealisasikan proyek Food Estate di lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG). AMAN Kalimantan Tengah menilai tindakan pemerintah ini, yang katanya sebagai bentuk keberpihakan dan kepekaan terhadap keselamatan rakyat terkait pandemi, mempunyai proses dan akan berdampak kontra produktif.

 

Rencana Proyek Food Estate adalah sebuah proyek “luka di atas luka lama” di mana berbagai dampak dan kerusakan yang terjadi akibat proyek PLG zaman Orde Baru tersebut masih menyisakan masalah sosial-ekologis. Kebakaran lahan yang terjadi di wilayah eks-PLG masih menjadi bagian dari bencana kabut asap. Demikian juga konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang beroperasi di atas lahan eks-PLG. Perubahan sosial masyarakat yang terjadi akibat perubahan lingkungan dan kerentanan secara ekonomi dan kerusakan adat dan budaya masyarakat setempat masih berlangsung dan belum ada pemulihan.

 

Proyek Food Estate yang telah berjalan di Indonesia juga tidak menunjukkan pemulihan hak Masyarakat Adat lingkungan, malah semakin menambah daftar masalah dalam hal kerusakan lingkungan dan hak atas kehidupan masyarakat setempat. Proyek MIFEE di Papua dapat kita jadikan contoh dimana Proyek Food Estate merupakan ancaman bagi Masyarakat Adat.

 

Terkait rencana proyek Food Estate di lahan Eks PLG, AMAN Kalimantan Tengah menyoroti hal-hal sebagai berikut.


1.      Paradigma manusia di atas alam.

Masyarakat Adat memandang alam sebagai kawan dalam posisi yang sederajat. Ada proses saling menghargai, saling hormat, saling memberi menerima, dan saling rawat. Paradigma itu membuahkan alam yang menjadi sumber pengajaran hidup dan spiritual, lestari, cukup sandang, pangan, pangan dan obat-obatan selama ribuan tahun lamanya. Namun ratusan tahun dan meningkat dengan cepat puluhan tahun ke belakang, manusia dengan kesombongan ilmu pengetahuannya merasa diri di atas alam. Mampu merekayasa alam. Maka alam hanya akan menjawab dengan satu jawaban: bencana.

 

2.      Proyek Food Estate akan menghancurkan Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat.

Pendekatan Ketahanan Pangan yang mendasari proyek Food Estate ini menempatkan akumulasi modal dan pemenuhan permintaan pasar atas produk pangan secara nasional dan internasional. Di sisi lain, pemenuhan hak atas tanah dan pangan masyarakat setempat khususnya Masyarakat Adat tidak menjadi hal yang penting bagi pendekatan ketahanan pangan. Proyek Food Estate ini menjadi milik korporasi di mana masyarakat dipandang hanya sebagai faktor produksi belaka. Berkaca pada proyek Food Estate serupa yang telah berlangsung di Indonesia, Masyarakat Adat menjadi pihak yang dikorbankan.

 

3.      Tunggakan Masalah sebagai dampak proyek PLG masih belum tuntas.

Proyek Lahan Gambut (PLG) yang mulai dikerjakan tahun 1996 sampai hari ini masih menyisakan masalah bahkan melahirkan masalah baru. Pembabatan hutan dan pembangunan kanal di atas lahan tersebut sampai hari ini masih menjadi penyebab bencana asap yang terjadi setiap tahun. Masuknya proyek-proyek susulan di lokasi yang sama, baik oleh swasta, pemerintah dan non pemerintah telah mengubah cara hidup Masyarakat Adat menjadi semakin tergantung dengan pihak lain. Selanjutnya beroperasinya perusahaan sawit diatas lahan tersebut juga melahirkan konflik agraria dengan masyarakat setempat.

 

4.      Kepentingan Pemodal diatas kepentingan Masyarakat Adat.

Proyek Food Estate yang meletakkan modal dan pasar sebagai fondasi utama merupakan ancaman bagi masyarakat adat. Lahan Food Estate sebagian besar akan dimiliki oleh korporasi dan hasil produksi menjadi milik pasar. Berkaca pada kejadian yang telah melahirkan konflik dengan masyarakat setempat. AMAN Kalimantan Tengah mencatat beberapa konflik antara masyarakat dengan perusahaan telah terjadi diatas lahan eks-PLG dan secara umum masih mengorbankan kepentingan Masyarakat Adat.

 

5.      Peladang Tradisional Dikriminalisasi sementara Investasi diberi karpet merah.

Masyarakat Adat yang mengusahakan tanah dengan cara berladang masih selalu dipinggirkan dan di-pidana-kan. Sementara perusahaan yang aktivitasnya sering mengabaikan Masyarakat Adat, menimbulkan korupsi, kerusakan dan pencemaran lingkungan, melanggar perijinan, menimbukan konflik dan penyebab bencana kabut asap justru dibiarkan dan bahkan diberi fasilitas khusus oleh negara. Pemidanaan peladang adalah bukti hukum dan aparat yang tidak berpihak pada peladang. Pemidanaan peladang adalah bukti tidak diakuinya keberadaan Masyarakat Adat yang mengusahakan perladangan sebagai salah satu jalan hidup.

 

6.      Potensi Masalah Sosial.

Tenaga kerja tanpa pengetahuan tentang bercocok tanam di areal gambut dan didatangkan dari luar dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat akan berpotensi menimbulkan konflik sosial.

 

Dengan demikian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – Kalimantan Tengah (AMAN KALTENG) menyatakan: DENGAN TEGAS MENOLAK PROYEK FOOD ESTATE DIATAS LAHAN EKS-PLG.

 

AMAN Kalteng selanjutnya menyerukan kepada Pemerintah (Nasional, Propinsi dan Kabupaten) untuk:

  1. Bertobat dan meminta maaf kepada Tuhan, leluhur dan alam karena selama ini dan terus merusak semesta ciptaan Tuhan dan sombong memandang alam dan rakyat berada di bawah dirinya.
  2. Memulihkan dampak kerusakan lingkungan, sosial dan adat akibat kegagalan proyek PLG Orde Baru.
  3. Terlebih dulu menjamin pemulihan gambut dengan indikator tidak ada kebakaran di lahan gambut selama sedikitnya 5 tahun.
  4. Akui, jaga, dukung dan lindungi lahan-lahan pertanian dan ladang masyarakat adat yang sudah ada.
  5. Menjalankan Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan rakyat terhadap pemerintah terkait bencana kabut asap tahun 2015.
  6. Membuka data dan analisa terkait Food Estate secara terbuka kepada publik.
  7. Menerapkan Standar Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sesuai Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat dalam setiap proyek pembangunan dan investasi, khususnya terkait proyek Food Estate di Kalimantan Tengah.

Kepada seluruh komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, untuk:

  1. Yakin dan bertahan dengan adat yang diwariskan oleh leluhur untuk kehidupan yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.
  2. Bersolidaritas dan berlawan terhadap semua pihak yang tidak mengakui keberadaan dan melanggar hak Masyarakat Adat.

 

Semoga Leluhur selalu merestui perjuangan kita!!!

 

Berdaulat Secara Politik, Mandiri Secara Ekonomi dan Bermartabat Secara Budaya

 

 

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA KALIMANTAN TENGAH
Penjabat Ketua

 

 

Ferdi Kurnianto

 



Sabtu, 28 Februari 2015

RESOLUSI MUSWIL-II AMAN KALTENG TAHUN 2015

AMAN KALTENG
Kami, seluruh peserta Musyawarah Wilayah II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah yang diselenggarakan tanggal 27-28 Februari 2015 di Asrama Haji Palangka Raya, menyadari bahwa sepanjang sejarah keberadaan Masyarakat Adat di Nusantara pada umumnya dan khususnya di Kalimantan Tengah telah terjadi perubahan-perubahan berbagai kebijakan Negara yang terkait dengan keberadaan Masyarakat Adat dan mengancam serta cenderung memarginalkan hak-hak dasarnya untuk kepentingan politik dan kekuasaan. 

Kami mengingatkan kembali semakin kuatnya pengakuan Negara terhadap hak-hak masyarakat adat sesuai UUD 1945 pasal 18b ayat 2 dan pasal 28I ayat 3 sebagai Konstitusi Negara. 

Jumat, 27 Februari 2015

SIARAN PERS “Pemetaan Wilayah Adat Bagi Komunitas, AMAN Kalteng dan Peraturan Yang Berpihak”

AMAN KALTENG
Palangka Raya, 26 Februari 2015.

Musyawarah Wilayah adalah sarana untuk pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi AMAN di tingkat wilayah. Dalam 5 tahun sekali akan di lihat capaian-capain kerja dari Badan Pengurus Harian Wilayah yang telah ditunjuk.

Sebagai satu rangkaian dari acara Muswil-2 AMAN Kalteng Workshop berjudul “Peta Wilayah Adat Dalam Perspektif Tata Ruang Nasional dan Provinsi Kalimantan Tengah" di lakukan. Tujuannya adalah sebagai jalan untuk pertukaran informasi dan persepektif dari para pihak tentang peta wilayah adat dalam konteks tenurial dan agenda REDD+ di tingkat Nasional dan Provinsi Kalimantan Tengah. Tentu saja, dari pertukaran informasi yang dapat memunculkan sinergisitas para pihak terkait peta wilayah adat.

Senin, 23 Februari 2015

SIARAN PERS “Pemetaan Wilayah Adat bagi Komunitas, AMAN Kalteng dan Indonesia”

AMAN KALTENG
PALANGKA RAYA, 23 Februari 2015-  
AMAN sebagai organisasi massa Masyarakat Adat, berjuang untuk melakukan penguatan hak-hak Masyarakat Adat. Kegiatan difokuskan pada Pemetaan Wilayah Adat. Peta Wilayah Adat dipandang sebagai pondasi pengakuan sehingga Masyarakat Adat dapat memaksimalkan partisipasinya dalam pembangunan Indonesia. 

Bercermin dari kasus komunitas Janah Jari yang ada Kabupaten Barito Timur, Kalteng menggambarkan tumpang tindihnya penetapan kawasan yang ada. Pada akhir Januari 2015 lalu persidangan kepada Markus didakwa bersama Rustiana, Yanus, Habianoto, Herianto, Herinoto, Martina, Sayangli dan Heniliana. Kesemuanya berasal dari komunitas Janah Jari, Barito Timur Kalteng.

Sabtu, 27 Desember 2014

Catatan Akhir Tahun 2014 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

AMAN KALTENG
Pertama, Indonesia menyelenggarakan dua pentas politik yaitu pemilihan anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Kedua, DPR RI periode 2009-2014 gagal mengundangkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, melengkapi kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenuhi janjinya kepada masyarakat adat; 

Ketiga masih maraknya kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat dan;

Keempat, Pelaksanaan Inkuiri Nasional oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kawasan Hutan.

Kamis, 21 November 2013

Berikut Rilis Aksi Demo AMAN Lamandau Blokir Sawit

AMAN KALTENG
Dapat disiarkan segera

19 Oktober 2013

Contact Person:
Mona Sihombing, 085217352162

Media Relations AMAN
AMAN Lamandau Blokir Pintu Masuk Perusahaan Sawit

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Lamandau, Kalimantan Tengah masih memblokir pintu masuk PT Gemareksa Mekarsari hingga Selasa (19/11) siang.

Menurut Ketua PD AMAN Lamandau Yosep Maran, ribuan anggota komunitas adat memblokir pintu perusahaan tersebut sejak Senin (18/11).

Aksi yang dimulai sehari sebelumnya ini menuntut agar perusahaan sawit tersebut memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.5/2011, perusahaan perkeunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat setidaknya seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan.

 “Manajer perusahaan di lapangan sudah mengakui dan menyanggupi kebun rakyat itu, namun masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan di Jakarta,” tutur Yosep, Selasa (19/11).

 “Kami akan tetap menutup pintu perusahaan hingga hak kami dipenuhi,” tambahnya.

Basis data daring milik The Land Matrix mencatat, investor sekunder PT Gemareksa Mekarsari adalah Felda Global Ventures Holdings Bhd. dan Lembaga Tabung Haji, keduanya milik Malaysia, dengan kontrak seluas 6.398 hektare.

Pada Senin, PD AMAN Lamandau juga melakukan aksi orasi di depan Kantor Bupati Lamandau. “Kami meminta agar Bupati Lamandau segera melaporkan PT Gemareksa Mekarsari ke Kapolres Kabupaten Lamandau dan Kejaksaaan Negeri Kabupaten Lamandau,” tulis Yosep di surat Pernyataan Sikap Komunitas-Komunitas AMAN Lamandau yang ditembuskan ke Pengurus Besar AMAN Jakarta, bertanggal 18 November 2013.

PD AMAN Lamandau juga menuntut agar bupati mencabut izin PT Gemareksa Mekarsari di Kelurahan Naga Bulik dan Desa Bunut seluas sekitar 3000 hektare karena tidak memiliki IUP, HGU, dan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan.

--oo0000oo--

Tentang AMAN
AMAN didirikan pada 17 Maret 1999 dan beranggotakan 2253 komunitas Masyarakat Adat. Misi AMAN adalah Masyarakat Adat yang “Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi, Bermartabat secara Budaya." Silakan kunjungi www.aman.or.id

Kamis, 01 Agustus 2013

RAKERWIL III AMAN Kalteng 2013

AMAN KALTENG
Sebanyak 33 orang hadir memenuhi undangan dari BPH Aman Kalteng dalam rangka mengikuti Rapat Kerja Wilayah III Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalimantan Tengah Tahun 2013.

Rakerwil dilaksanakan secara bersahaja pada Senin (29/7) di Sekretariat AMANWIL Kalteng, Jl. Taurus I No:240 Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Tampak hadir Pengurus Besar, Pengurus Wilayah dan 7 Pengurus Daerah AMAN. Juga dari BPAN Wilayah Kalteng, Perempuan AMAN Wilayah Kalteng dan Peninjau.

Hasil dari RAKERWIL memutuskan beberapa point penting yaitu terkait pengganti antar waktu dari PD AMAN yang mengundurkan diri, iuran komunitas anggota AMAN yang dapat dibantu dengan menggunakan jasa Credit Union dan pemasangan plang pada wilayah adat yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Terkait dengan hukum positif, RAKERWIL kali ini mengeluarkan pernyataan sikap yang menegaskan bahwa dengan adanya surat edaran Menteri Kehutanan Nomor : SE 1 / Menhut – II / 2013 untuk Gubernur dan Bupati dan Walikota Seluruh Indonesia tentang Putusan MK (No 35/PUU-X/2012), selanjutnya berdasarkan Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 67 dan Pasal Penjelasan 67 bahwa Masyarakat  Hukum Adat, dalam pengakuan itu sangat jelas dan lugas. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada alasan hukum adat tidak di akui dan bertentangan dengan hukum positif.

Hasil dari RAKERWIL di tuangkan dalam berita acara bernomor 04/Rakerwil-III-AMAN-KT/VII/2013 dan di tanda tangani oleh ketua pimpinan sidang, Athis, S.Sos, sekretaris pimpinan sidang, Sangkai dan anggota pimpinan sidang, Annelly. Perwakilan pengurus daerah yang mewakili untuk menandatangani berita acara adalah Awason dari Murung Raya, Petrunikus dari Gunung Mas dan Sarianto dari Seruyan.

Semoga hasil dari RAKERWIL ini semakin memperkuat perjuangan gerakan masyarakat adat di Kalimantan Tengah.

Keterangan foto: Abdon Nababan (atas); Simpun Sampurna (bawah)

Sumber tulisan: Rokhmond Onasis; Sumber Foto: dokumen AMAN Kalteng

Selasa, 19 Maret 2013

Siaran Pers Memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-XIV

AMAN KALTENG

Siaran Pers Memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-XIV
Palangka Raya, Kalimantan Tengah
Tahun 2013


Palangka Raya, 19 Maret 2013

AdilKa’ Talino, BacuraminKa’ Saruga, BasengatKa’ Jubata.

Salam Masyarakat Adat
Tanggal 17 Maret 1999, ditandai oleh Masyarakat Adat sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara serta terbentuknya Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN). Pada usia AMAN Ke-14 tahun  ini ada banyak peristiwa dan catatan Masyarakat Adat dalam perjuangannya untuk meraih Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang diwariskan oleh leluhurnya. Cahaya dan harapan mulai menyinari Masyarakat Adat, namun Masyarakat Adat masih menunggu dan harus tetap memperjuangkan hak-haknya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat  dari berbagai pelosok Nusantara. Tepat tanggal 17 Maret 1999, 14 Tahun yang lalu, lebih dari empat ratus pemimpin adat dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul di Hotel Indonesia menyatakan tekad untuk menyatukan langkah, memperjuangkan dan merebut kembali hak Masyarakat Adat yang selama ini haknya dirampas oleh negara. “mereka menyerukan, Jika Negara Tidak Mengakui Kami Maka kami Tidak Mengakui Negara”. Seruan tersebut adalah wujud perlawanan terhadap perampasan hak-hak Masyarakat Adat dalam bentuk perampasan tanah, Wilayah dan sumber daya alam serta pelanggaran HAM serius yang terus terjadi, kriminalisasi terjadi dimana-mana.

Siaran Pers Memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-XIV

AMAN KALTENG
Siaran Pers Hasil Memperingati Hari Kebangkitan MA & HUT AMAN

Palangka Raya 19 Maret 2013
AdilKa’ Talino, BacuraminKa’ Saruga, BasengatKa’ Jubata.
Salam Masyarakat Adat
Tanggal 17 Maret 1999, ditandai oleh Masyarakat Adat sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara serta terbentuknya Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN). Pada usia AMAN Ke-14 tahun  ini ada banyak peristiwa dan catatan Masyarakat Adat dalam perjuangannya untuk meraih Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang diwariskan oleh leluhurnya. Cahaya dan harapan mulai menyinari Masyarakat Adat, namun Masyarakat Adat masih menunggu dan harus tetap memperjuangkan hak-haknya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat  dari berbagai pelosok Nusantara. Tepat tanggal 17 Maret 1999, 14 Tahun yang lalu, lebih dari empat ratus pemimpin adat dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul di Hotel Indonesia menyatakan tekad untuk menyatukan langkah, memperjuangkan dan merebut kembali hak Masyarakat Adat yang selama ini haknya dirampas oleh negara. “mereka menyerukan, Jika Negara Tidak Mengakui Kami Maka kami Tidak Mengakui Negara”. Seruan tersebut adalah wujud perlawanan terhadap perampasan hak-hak Masyarakat Adat dalam bentuk perampasan tanah, Wilayah dan sumber daya alam serta pelanggaran HAM serius yang terus terjadi, kriminalisasi terjadi dimana-mana.

Kita harapkan DPR RI untuk secepatnya mensahkan RUU Masyarakat Adat yang merupakan mandat UUD 1945 khususnya pasal 18B ayat 2. Kita juga perlu berterima kasih kepada Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Kepala Badan Informasi Biospasial (BIG) yang telah menerima 2,4 juta hektar peta wilayah adat untuk diintegrasikan dalam “Satu Peta Indonesia”. Penerimaan peta wilayah adat ini adalah sebuah sejarah dimana akhirnya masyarakat adat secara resmi mulai terlihat hadir dalam negara Indonesia. Peta wilayah adat juga tergolong dalam peta Gematik. UU yang tidak mencantumkan tentang hak-hak masyarakat adat harus direvisi, karena jika tidak itu melanggar UU dasar 1945 pasal 18b ayat 2.

Himbauan kepada kepolisian yang menyangkut hak-hak masyarakat adat diberikan tempat penyelesaian secara adat dan diberi ruang musyawarah dan mupakat jangan sampai dikriminalisasi akibat tidak memahami masyarakat hokum adat.

Himbauan kepada seluruh hakim dan jaksa yang ada di seluruh Kalimantan tengah, kembali mempelajari dan mendalami masyarakat hukum adat terkait pasal 18b ayat 2 UUD 1945.

AMAN mencatat eskalasi konflik agraria dan pelanggaran HAM masih tinggi, bahkan cendrung makin marak pada tahun 2013 ini. Dalam enam bulan terakhir ini saja AMAN mencatat ada 218 orang anggota komunitas. Sebagian besar diantaranya sudah dibebaskan atau tahanan luar. Sementara sekitar 10% lagi masih dalam proses Kepolisian atau ditahan dan selebihnya masih menunggu proses  Kepolisian. AMAN memperkirakan eskalasi konflik agrari dan social akan semakin tinggi menuju Pemilu dan Pilpres 2014 dimana ijin-ijin dan hak guna usaha (HGU) diwilayah adat akan lebih banyak dikeluarkan untuk mendapatkan uang segar demi membiayai jabatan-jabatan politik saat Pemilu dan maupun Pilpres.

AMAN menyerukan percepatan pemetaan wilayah adat dan pemulihan kekuatan hukum dan peradilan adat  UU No. 4 tentang informasi  Geospasial salah satunya pemetaan Tematik!
Terkait Pemilu dan Pilpres 2014, Konggres dan Rakernas AMAn menyatakan bahwa Masyarakat Adat akan memilih partai politik yang sudah jelas mendukung pengesahan RUUPPHMA menjadi UU. Masyarakat adat sudah sepakat bahwa pada Pemilu dan Pilpres 2014, setiap suara yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tidak boleh mendukung, apalagi memilih calon legislator, calon Presiden yang maju dari partai yang tidak boleh mendukung pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Hari ini tanggal 17 Maret 2013 kami Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah dan seluruh AMAN Se-Nusantara kembali lagi memperingati hari kebangkitan Masyarakat Adat yang Ke – XIV sekaligus memperingati 14 Tahun berdirinya AMAN, dan di Kalimantan Tengah peringatan hari Kebangkitan Masyarakat Adat ini adalah yang Ke-IV kalinya.
Tema hari masyarakat adat : peran masyarakat adat dalam mewujudkan indonesia baru yang berdaulat, mandiri,  dan bermatabat
Sub tema                     : -  Wujudkan RUU PPHMA Menjadikan UU yang                                                                    MemayungiMasyarakat Adat
-          Peningkatan kapasitas di semua sektor
-          Revisi UU  yang Tidak Memuat Masyarat Adat berdasarkan Pasal 18b UUD 1945  termasuk Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota (RTRWK)
Kegiatan ini juga dilaksanakan bersama dengan Badan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dan Perempuan AMAN sebagai sayap organisasi AMAN. 
Demikianlah siaran pers AMAN ini kami sampaikan. Atas nama seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Badan Pemuda Adat Nusantara dan Perempuan AMAN sebagai sayap organisasi AMAN, kami hanturkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga siaran pers ini bisa diterima semua pihak, baik pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerhati masyarakat adat dimanapun berada.
Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Wilayah Kalteng

Simpun Sampurna



Sabtu, 02 Maret 2013

Siaran Pers Hasil Pelaksanaan Rakernas AMAN ke-III 2013

AMAN KALTENG

2
Siaran Pers Hasil RAKERNAS AMAN III di Kantor PW AMAN Kalteng


Adil Ka’ Talino, Bacura min Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata.
Salam Masyarakat Adat
Dengan berakhirnya Rapat Kerja Nasional organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-III yang berlangsung di Palangka Raya dan Desa Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, tanggal 19-23, 2013 Februari lalu, terlebih dulu kami ingin menghanturkan ribuan terima kasih kepada Kepolisian RI, Gubernur Propinsi Kalimatan-Tengah, Pemerintah Kota Palangka Raya, Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), kawan-kawan media, LSM di Kalimantan-Tengah dan seluruh komunitas masyarakat adat Tumbang Malahoi yang telah menjadi tuan rumah para peserta Rakernas AMAN ke-III ini.
Pelaksanaan Rakernas AMAN sendiri berlangsung dengan sukses. Kami menyadari bahwa tanpa dukungan segenap aparat pemerintah,organisasi kemasyarakatan , media dan seluruh lapisan masyarakat Kalimantan-Tengah khususnya masyarakat adat, keberhasilan itu mustahil kami lakukan sendiri.
Selain membahas Anggaran Rumah Tangga, Rakernas AMAN ke-III juga telah berhasil menghasilkan beberapa keputusan penting, hal ini dimaksudkan demi memperkuat gerakan masyarakat adat dari berbagai komunitas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Keputusan Rakernas kali ini terkait dengan sikap politik organisasi untuk merespon persoalan yang terjadi di komunitas masyarakat adat mengasilkan tiga belas point keputusan penting, yang diantaranya pantas kami utarakan antara lain;
1.      Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan terhadap permohonan Uji Materi atas UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diajukan oleh AMAN
2.      Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan kekerasan dan membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah , wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat
3.      Mendesak Presiden untuk membentuk kelembagaan yang kuat di bawah presiden yang mampu mengatasi sektoralisme dalam implementasi STRANAS REDD+
4.      Mendesak presiden untuk segera mengeluarkan instruksi Presiden tentang inventarisasi dan administrasi wilayah-wilayah adat
5.      Mendesak partai-partai parpol untuk mendukung dan menginstruksikan kepada anggota DPR-RI untuk memastikan pengesahan RUU PPHMA pada pertengahan tahun 2013. Terkait dengan hal ini, kami telah bersepakat untuk tidak memilih partai politik yang tidak mendukung pengesahan RUU tersebut.
6.      Mendesak Presiden untuk mengeluarkan instruksi kepada Polda, Kodam, Korem dan Kodim untuk menghapus stigma saparatisme OPM di Papua karena terus memicu kekerasan di Papua.
Disamping itu Rakernas AMAN ke-III juga telah merumuskan program kerja untuk Pengurus Besar, 20 Pengurus Wilayah dan 82 Pengurus Daerah sebagai pemandu kerja-kerja di komunitas adat ke depannya. Program kerja yang dihasilkan dijabarkan berdasarkan tujuan dan cita-cita masyarakat adat untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Pada akhir dari seluruh rangkaian Rakernas AMAN ke III, seluruh peserta sepakat memutuskan rencana pelaksanaan Rakernas AMAN Ke-IV tahun 2015 nanti akan diselenggarakan di Papua.
Demikianlah siaran pers AMAN ini kami sampaikan menyusul pelaksanaan Rakernas III yang telah berakhir tanggal 23 Februari kemarin. Atas nama seluruh Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan DAMANAS kami hanturkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga siaran pers ini bisa diterima semua pihak, baik pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerhati masyarakat adat dimanapun berada.
Deputi I Sekjen AMAN Bidang Organisasi, Infokom dan Penggalangan Sumber Daya
Arifin Monang Saleh


Senin, 04 Februari 2013

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA

AMAN KALTENG

 Kekerasan Negara Terhadap Perjuangan Rakyat adalah
Praktek Rezim Borjuis dalam Menjaga Stabilitas Kaum Pemodal
 
Salam Perjuangan,
Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik dengan pihak perusahaan (swasta/negara), tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer semakin menguat dan meluas dalam beberapa tahun terakhir ini. Pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian/militer di sektor agraria (perjuangan hak-hak rakyat atas tanah) telah mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orangbaik laki-laki, perempuan dan anak-anak di wilayah-wilayah konflik dalam kurun waktu delapan tahun selama pemerintahan SBY (Laporan Akhir Tahun 2012, KPA).
Konflik-konflik agraria lama dan baru yang terakumulasi, jatuhnya korban nyawa, penangkapan dan kekerasan terhadap petani dan aktivis, serta maraknya keterlibatan militer dan kepolisian di lapangan konflik agraria menunjukkan bahwa tekanan dan perluasan kapitalisme terhadap penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-sumber agraria Indonesia semakin dilanggengkan oleh penguasa di negeri iniKekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap terjadi terus membawa teror dan trauma bagi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak. Terutama ketika kaum perempuan seringkali berada di barisan terdepan untuk mempertahankan tanah mereka, karena tanah bagi perempuan mempunyai nilai sosial budaya yang lebih, sebagai sesuatu yang yang diwariskan turun-temurun untuk keberlangsungan generasi selanjutnya. Perampasan lahan, penghancuran lingkungan, penghilangan sumber-sumber kehidupan, seakan terus memiskinkan dan mematikan secara perlahan masyarakat Indonesia tanpa adanya bentuk perlindungan dan jaminan dari Negara.
Fakta di lapangan baru-baru ini, dalam konflik agraria antara warga Ogan Ilir-Sumatera Selatan vs PTPN VII Cinta Manis,Anwar Sadat, pejuang tani dari Serikat Petani Sriwijaya dan aktivis Walhi Sumsel (29/01) bersama dengan 24 petani dan aktivis Sumsel mendapat tindakan kekerasan dan akhirnya ditangkap dalam aksi massa di Mapolda Sumsel. Aksi warga dan aktivis Sumsel ini dilakukan sebagai protes terhadap tindakan represitas Polres Ogan Ilir terhadap warga setempat, yang diakhiri dengan penangkapan seorang petani Ogan Ilir, Suardi bin Damiri. Sebelumnya (25/01), seorang warga dari masyarakat adat di Wondama, Papua juga mengalami tindakan kekerasan, dipukul, ditendang dalam keroyokan oleh 5 orang anggota TNI dari Yonif 752 di lingkungan perusahaan kayu yang bernama PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS) di Wondama.
Akan tetapi, represitas aparat (TNI dan Polisi) yang menguat dan meluas tidak hanya terjadi dalam konflik agraria. Di gerakan sektor buruh dan nelayan pun mengalami perlakuan kekerasan dan kriminalisasi yang sama. Sultoni, pejuang buruh dari Serikat Buruh Progresip ditangkap oleh Polres Bekasi saat tengah mengadvokasi perjuangan upah buruh dan hak normatif lainnya kepada PT. Dong An. Kemudian di gerakan sektor nelayan, terjadi pula penangkapan 55 orang Nelayan Langkat, Sumatera Utara oleh Polres Langkat (22 – 25 /01). Penangkapan ini terkait penolakan warga atas kegiatan penangkapan ikan dengan trol. Para nelayan pun sempat mendapat perlakuan intimidasi dan pelarangan berkumpul (berserikat) dari aparat setempat.
Dalam konteks ini pada hakekatnya kami memandang bahwa konsolidasi ekonomi-politik rezim yang borjuis ini telah menegaskan: 1) Rakyat yang berjuang, berkumpul/berorganisasi dianggap musuh negara, sehingga secara hakiki mengkhianati nilai-nilai dasar demokrasi; 2) Dengan demikian Negara tidak akan pernah menjamin hak-hak serta kesehjateraan rakyat (buruh, tani, nelayan, dan rakyat miskin lainya). 
Kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pejuang tani, buruh dan nelayan semakin mendapatkan alat legitimasi hukumnya setelah SBY mengeluarkan Inpres 2/2013 tentang Kamnas dan MOU Polri-TNI tentang Kamnas. “Isi MoU ini, sebagaimana dinyatakan Kabag Penum Polri Kombes Pol Agus Riyanto (28/1),  adalah kerja sama perbantuan apabila menghadapi unjuk rasa, mogok kerja, konflik sosial, kriminal bersenjata dan kegiatan masyarakat lain yang diprediksi memiliki kerawanan. Dan sebagaimana dinyatakan, bahwa MoU ini sudah dilaksanakan dan akan lebih diimplementasikan.
Jelaslah dari isi MoU yang disepakati bersama ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya rezim terus menunjukkan watak aslinya yang anti rakyat dengan menjamin kepastian arus modal yang sudah ada dan hendak masuk ke Indonesia. Apalagi sejak krisis ekonomi internasional, Indonesia sudah membukakan dirinya sebagai salah satu jalan keluar krisis kapitalisme Internasional, karena dukungan pasar yang ramah dan luas, serta upah murah dalam ongkos produksi. Semua itu tertuang dalam berbagai kebijakan ekonomi neoliberal salah satunya dalam blueprint MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia), yang isinya tegas bahwa wilayah Indonesia telah dijadikan kapling-kapling dalam 6 (enam) koridor ekonomi sebagai persembahan rezim SBY kepada tuan modalnya.
Enam koridor itu antara lain: (1) Koridor Ekonomi Sumatera, sebagai sentra produksi, pengelolaan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (2) Koridor Ekonomi Jawa, pendorong Industri dan Jasa Nasional; (3) Koridor Ekonomi Kalimantan, sebagai sentra produksi, pengelolaan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (4) Koridor Ekonomi Sulawesi, pusat produksi, pengelolaan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional; (5) Koridor Ekonomi Bali-Nusra, sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional; (6) Koridor Ekonomi Papua dan Maluku, Pengelolaan SDA yang melimpah dan SDM yang sejahtera. 
            Dengan pola rezim ekonomi politik dan penataan yang rapi serta sudah ada yang operasional saat ini dalam mengkapling sumber-sumber agraria di wilayah republiktelah menempatkan rezim SBY-Boediono hamba yang paling setia dari kaum pemodal. Posisi rakyatsaat ini dan di masa depan tetap sebagai korban persembahan bagi kaum modal, perampasan tanah rakyat dengan menggunakan kekerasan akan semakin marak terjadiData yang terungkap dari sepanjang tahun 2012 akibat penerapan model pembangunan yang pro-pasar dan sangat ‘lapar’ lahan telah mengakibatkan sedikitnya 963.411,2 hektare lahan rakyat dirampas untuk kepentingan investasi.
Represitas aparat merupakan sikap menantang aparat penegak hukum terhadap hukum itu sendiri. Seharusnya aparat bersikap netral, bahkan menjadi pelindung rakyat, bukan mengambil posisi berhadapan dengan rakyat. Aparat (TNI/Polri) seharusnya menjadi kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi petani, buruh dan nelayanmiskin. Cara-cara kekerasan oleh aparat jelas tidak dapat dibenarkanOleh karena itu tidak ada jalan lain bagi seluruh elemen gerakan rakyat buruh, tani, nelayan miskin perkotaan dan mahasiswa untuk tetap bersatu dan berjuang dengan membangun benteng pertahanan dan alat perjuangan bersama dari pusat hingga basis-basis di desa-desa.  Kontradiksi antara rakyat versus kaum kapitalistelah sangat terang-benderang.
Untuk itu, kami gabungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil mengutuk tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perjuangan gerakan rakyat yang dilakukan oleh pemerintah bersama TNI dan Polri, dan dengan ini menuntut:
1)   Dihentikannya cara-cara kekerasan, intimidasi, kriminalisasi yang ditempuh oleh aparat pemerintah, kepolisian dan militerterhadap rakyat (tani, buruh, nelayan, dan mahasiswa) yang tengah memperjuangkan hak-haknya;
2)   Segera cabut hak-hak dan perizinan badan-badan usaha produksi dan konservasi di berbagai sektor (perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan/wilayah pesisir, wilayah adat) yang telah berdiri di atas proses penyingkiran akses dan hak rakyat setempatatas tanah dan SDA yang menjadi sandaran hidupnya yang utama;
3)   Menolak RUU Kamnas,  Inpres No. 2/2013 tentang Kamnas dan Mou TNI Polri tentang Kamnas yang menjadi alat legitimasi represitas aparat terhadap perjuangan gerakan rakyat;
4)   Dihentikannya politik upah murah dan Negera harus melaksanakan upah layak nasional;
5)   Pertinggi subsidi kepada rakyat (sekolah, kesehatan, transportasi, BBM dan listrik
6)   Laksanakan Reforma Agraria untuk kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta menolak mega-proyek MP3EI yang akan semakin memperluas praktek-praktek perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan (investor) dan memperkuat konflik agraria di tanah air.