Senin, 04 Februari 2013

PERNYATAAN SIKAP BERSAMA


 Kekerasan Negara Terhadap Perjuangan Rakyat adalah
Praktek Rezim Borjuis dalam Menjaga Stabilitas Kaum Pemodal
 
Salam Perjuangan,
Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik dengan pihak perusahaan (swasta/negara), tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer semakin menguat dan meluas dalam beberapa tahun terakhir ini. Pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian/militer di sektor agraria (perjuangan hak-hak rakyat atas tanah) telah mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orangbaik laki-laki, perempuan dan anak-anak di wilayah-wilayah konflik dalam kurun waktu delapan tahun selama pemerintahan SBY (Laporan Akhir Tahun 2012, KPA).
Konflik-konflik agraria lama dan baru yang terakumulasi, jatuhnya korban nyawa, penangkapan dan kekerasan terhadap petani dan aktivis, serta maraknya keterlibatan militer dan kepolisian di lapangan konflik agraria menunjukkan bahwa tekanan dan perluasan kapitalisme terhadap penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-sumber agraria Indonesia semakin dilanggengkan oleh penguasa di negeri iniKekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap terjadi terus membawa teror dan trauma bagi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak. Terutama ketika kaum perempuan seringkali berada di barisan terdepan untuk mempertahankan tanah mereka, karena tanah bagi perempuan mempunyai nilai sosial budaya yang lebih, sebagai sesuatu yang yang diwariskan turun-temurun untuk keberlangsungan generasi selanjutnya. Perampasan lahan, penghancuran lingkungan, penghilangan sumber-sumber kehidupan, seakan terus memiskinkan dan mematikan secara perlahan masyarakat Indonesia tanpa adanya bentuk perlindungan dan jaminan dari Negara.
Fakta di lapangan baru-baru ini, dalam konflik agraria antara warga Ogan Ilir-Sumatera Selatan vs PTPN VII Cinta Manis,Anwar Sadat, pejuang tani dari Serikat Petani Sriwijaya dan aktivis Walhi Sumsel (29/01) bersama dengan 24 petani dan aktivis Sumsel mendapat tindakan kekerasan dan akhirnya ditangkap dalam aksi massa di Mapolda Sumsel. Aksi warga dan aktivis Sumsel ini dilakukan sebagai protes terhadap tindakan represitas Polres Ogan Ilir terhadap warga setempat, yang diakhiri dengan penangkapan seorang petani Ogan Ilir, Suardi bin Damiri. Sebelumnya (25/01), seorang warga dari masyarakat adat di Wondama, Papua juga mengalami tindakan kekerasan, dipukul, ditendang dalam keroyokan oleh 5 orang anggota TNI dari Yonif 752 di lingkungan perusahaan kayu yang bernama PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS) di Wondama.
Akan tetapi, represitas aparat (TNI dan Polisi) yang menguat dan meluas tidak hanya terjadi dalam konflik agraria. Di gerakan sektor buruh dan nelayan pun mengalami perlakuan kekerasan dan kriminalisasi yang sama. Sultoni, pejuang buruh dari Serikat Buruh Progresip ditangkap oleh Polres Bekasi saat tengah mengadvokasi perjuangan upah buruh dan hak normatif lainnya kepada PT. Dong An. Kemudian di gerakan sektor nelayan, terjadi pula penangkapan 55 orang Nelayan Langkat, Sumatera Utara oleh Polres Langkat (22 – 25 /01). Penangkapan ini terkait penolakan warga atas kegiatan penangkapan ikan dengan trol. Para nelayan pun sempat mendapat perlakuan intimidasi dan pelarangan berkumpul (berserikat) dari aparat setempat.
Dalam konteks ini pada hakekatnya kami memandang bahwa konsolidasi ekonomi-politik rezim yang borjuis ini telah menegaskan: 1) Rakyat yang berjuang, berkumpul/berorganisasi dianggap musuh negara, sehingga secara hakiki mengkhianati nilai-nilai dasar demokrasi; 2) Dengan demikian Negara tidak akan pernah menjamin hak-hak serta kesehjateraan rakyat (buruh, tani, nelayan, dan rakyat miskin lainya). 
Kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pejuang tani, buruh dan nelayan semakin mendapatkan alat legitimasi hukumnya setelah SBY mengeluarkan Inpres 2/2013 tentang Kamnas dan MOU Polri-TNI tentang Kamnas. “Isi MoU ini, sebagaimana dinyatakan Kabag Penum Polri Kombes Pol Agus Riyanto (28/1),  adalah kerja sama perbantuan apabila menghadapi unjuk rasa, mogok kerja, konflik sosial, kriminal bersenjata dan kegiatan masyarakat lain yang diprediksi memiliki kerawanan. Dan sebagaimana dinyatakan, bahwa MoU ini sudah dilaksanakan dan akan lebih diimplementasikan.
Jelaslah dari isi MoU yang disepakati bersama ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya rezim terus menunjukkan watak aslinya yang anti rakyat dengan menjamin kepastian arus modal yang sudah ada dan hendak masuk ke Indonesia. Apalagi sejak krisis ekonomi internasional, Indonesia sudah membukakan dirinya sebagai salah satu jalan keluar krisis kapitalisme Internasional, karena dukungan pasar yang ramah dan luas, serta upah murah dalam ongkos produksi. Semua itu tertuang dalam berbagai kebijakan ekonomi neoliberal salah satunya dalam blueprint MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia), yang isinya tegas bahwa wilayah Indonesia telah dijadikan kapling-kapling dalam 6 (enam) koridor ekonomi sebagai persembahan rezim SBY kepada tuan modalnya.
Enam koridor itu antara lain: (1) Koridor Ekonomi Sumatera, sebagai sentra produksi, pengelolaan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (2) Koridor Ekonomi Jawa, pendorong Industri dan Jasa Nasional; (3) Koridor Ekonomi Kalimantan, sebagai sentra produksi, pengelolaan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (4) Koridor Ekonomi Sulawesi, pusat produksi, pengelolaan hasil pertanian, perkebunan dan perikanan nasional; (5) Koridor Ekonomi Bali-Nusra, sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional; (6) Koridor Ekonomi Papua dan Maluku, Pengelolaan SDA yang melimpah dan SDM yang sejahtera. 
            Dengan pola rezim ekonomi politik dan penataan yang rapi serta sudah ada yang operasional saat ini dalam mengkapling sumber-sumber agraria di wilayah republiktelah menempatkan rezim SBY-Boediono hamba yang paling setia dari kaum pemodal. Posisi rakyatsaat ini dan di masa depan tetap sebagai korban persembahan bagi kaum modal, perampasan tanah rakyat dengan menggunakan kekerasan akan semakin marak terjadiData yang terungkap dari sepanjang tahun 2012 akibat penerapan model pembangunan yang pro-pasar dan sangat ‘lapar’ lahan telah mengakibatkan sedikitnya 963.411,2 hektare lahan rakyat dirampas untuk kepentingan investasi.
Represitas aparat merupakan sikap menantang aparat penegak hukum terhadap hukum itu sendiri. Seharusnya aparat bersikap netral, bahkan menjadi pelindung rakyat, bukan mengambil posisi berhadapan dengan rakyat. Aparat (TNI/Polri) seharusnya menjadi kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi petani, buruh dan nelayanmiskin. Cara-cara kekerasan oleh aparat jelas tidak dapat dibenarkanOleh karena itu tidak ada jalan lain bagi seluruh elemen gerakan rakyat buruh, tani, nelayan miskin perkotaan dan mahasiswa untuk tetap bersatu dan berjuang dengan membangun benteng pertahanan dan alat perjuangan bersama dari pusat hingga basis-basis di desa-desa.  Kontradiksi antara rakyat versus kaum kapitalistelah sangat terang-benderang.
Untuk itu, kami gabungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil mengutuk tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perjuangan gerakan rakyat yang dilakukan oleh pemerintah bersama TNI dan Polri, dan dengan ini menuntut:
1)   Dihentikannya cara-cara kekerasan, intimidasi, kriminalisasi yang ditempuh oleh aparat pemerintah, kepolisian dan militerterhadap rakyat (tani, buruh, nelayan, dan mahasiswa) yang tengah memperjuangkan hak-haknya;
2)   Segera cabut hak-hak dan perizinan badan-badan usaha produksi dan konservasi di berbagai sektor (perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan/wilayah pesisir, wilayah adat) yang telah berdiri di atas proses penyingkiran akses dan hak rakyat setempatatas tanah dan SDA yang menjadi sandaran hidupnya yang utama;
3)   Menolak RUU Kamnas,  Inpres No. 2/2013 tentang Kamnas dan Mou TNI Polri tentang Kamnas yang menjadi alat legitimasi represitas aparat terhadap perjuangan gerakan rakyat;
4)   Dihentikannya politik upah murah dan Negera harus melaksanakan upah layak nasional;
5)   Pertinggi subsidi kepada rakyat (sekolah, kesehatan, transportasi, BBM dan listrik
6)   Laksanakan Reforma Agraria untuk kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta menolak mega-proyek MP3EI yang akan semakin memperluas praktek-praktek perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan (investor) dan memperkuat konflik agraria di tanah air.

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar