Tampilkan postingan dengan label Cerita Dari Kampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Dari Kampung. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 September 2020

Jurukng, Jurukng Jolai dan Godukng dalam warisan budaya dan tradisi Laman Kinipan

AMAN KALTENG

(Kinipan, 12/09/2020) - Untuk menyimpan padi hasil panen dari ladang, suku Dayak Tomun yang tinggal di laman Kinipan mengenal 3 (tiga) jenis tempat penyimpanan padi di laman, yaitu Jurukng, Jurukng Jolai dan Godukng.

Kamis, 27 Agustus 2020

Hormat Kami padamu Ongah Buhing dan Riswan

AMAN KALTENG

 



Ongah Buhing (Om Buhing/Bahasa Dayak Tomun). Begitu biasanya beliau dipanggil oleh warga saat di Laman. 

Pria paruh baya berbadan kecil kelahiran Kinipan 27 Agustus 1969 ini ditangkap oleh aparat kepolisian secara paksa dengan bersenjata lengkap di rumah kediamannya di laman Kinipan pada tgl 26 Agustus 2020 atau tepat 1 (satu) hari sebelum hari Ulang Tahun Kelahirannya tahun ini.  

Dia di dakwa melakukan pencurian dengan kekerasan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 369 KUHPidana, sama seperti 5 warga Kinipan lainnya yang telah lebih dulu di tangkap sebelumnya. 

Effendi Buhing yang juga merupakan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan merupakan representasi pemimpin kultural yang ada di Laman Kinipan saat ini, dia pulalah yang selama ini menjaga roh dan semangat juang warga untuk terus menjaga dan melestarikan hutan, wilayah adat, ruang hidup dan lokasi sakral leluhur Kinipan. Dimasa lalunya Effendi Buhing pernah menjabat sebagai Kepala Desa Kinipan, hingga dimandatkan oleh warga menjadi Anggota DPRD Kab. Lamandau selama 2 (dua) periode, tahun 2004-2014. Dalam masa-masa tugasnya sebagai wakil rakyat dulu, dia sangat sering menyuarakan aspirasi dan harapan warga, hingga seringkali menyampaikan pemikiran serta pandangan kritis dan tajam pada saat persidangan dewan. Tidak heran jika akhirnya  julukan sebagai "Kancil dari Lamandau" saat itu melekat padanya dari publik Lamandau. 

Sementara keponakannya Riswan, yang tepat pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2020 ini ditetapkan sebagai Tahanan Polda Kalimantan Tengah merupakan sosok pemuda yang mewariskan jiwa-jiwa kepemimpinan pamannya (Ongah Buhing). Hal tersebut tidak mengherankan, karena sejak saat Riswan masih sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Tengah (Palangka Raya) dulu, dia sangat aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa, mulai dari BEM, OKP, hingga NGO. Diawal tahun 2017 Riswan memutuskan untuk menghentikan kuliah nya, alasan ekonomi yang disampaikannya saat itu kepada kami di BPHW AMAN KALTENG menjadi alasannya untuk berhenti kuliah. Setelahnya, dia pulang ke kampung halamannya di laman Kinipan, dengan membawa semangat aktivisme semasa kuliah di kota dulu. Dia pula lah yang memiliki pemikiran untuk memulai melakukan pemetaan wilayah adat laman Kinipan, hingga akhirnya telah di verifikasi layak sebagai wilayah adat oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Disamping mengemban peran sebagai pemimpin muda bagi kaum seusianya di laman Kinipan, Riswan juga dimandatkan oleh warga sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kinipan hingga saat ini. 

Ongah Buhing dan Riswan adalah representasi semangat, kecintaan, serta kejujuran hati Dayak dalam memandang hutan dan sumberdaya yang terkandung didalamnya bukan hanya sebatas dari sudut pandang ekonomi semata, tapi karena mereka meyakini bahwa Dayak tidak bisa terpisah dari hutan, ada roh, jiwa dan nilai-nilai spiritual yang hidup dan bersemayam didalam hutan mereka yang jauh lebih besar dan lebih berarti bagi kehidupan warga laman Kinipan bahkan Dayak Tomun dibandingkan Investasi Perkebunan Sawit.

Mirisnya usaha mereka mempertahankan semua itu berhenti sementara di balik jeruji tahanan, akibat dakwaan-dakwaan kurang mendasar dan terkesan untuk melemahkan Perjuangan mereka. Sementara keadilan yang selama ini telah laman Kinipan upayakan masih jauh berada di luar sana. 

Ongah Buhing dan Riswan, percayalah kami menghormati kalian tidak terbatas besi tahanan, dan menghargai kalian selayaknya Manusia. 

Selamat Ulang Tahun Ongah Buhing (26/08/2020) dan Riswan (21/08/2020).


Hormat Kami.

Badan Pelaksana Harian Wilayah

AMAN Kalimantan Tengah


Jumat, 19 Juni 2020

Pernyataan Sikap AMAN Kalimantan Tengah terkait Rencana Food Estate

AMAN KALTENG

 

Manugal (Penanaman Padi) pada ladang warga di komunitas adat Muara Mea, Barito Utara (Foto Dok : AMAN Kalteng 2013)
 


Hingga bulan Juni tahun 2020 ini, kondisi Pandemi COVID-19 ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda, namun pemerintah tetap bersikukuh untuk merealisasikan proyek Food Estate di lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG). AMAN Kalimantan Tengah menilai tindakan pemerintah ini, yang katanya sebagai bentuk keberpihakan dan kepekaan terhadap keselamatan rakyat terkait pandemi, mempunyai proses dan akan berdampak kontra produktif.

 

Rencana Proyek Food Estate adalah sebuah proyek “luka di atas luka lama” di mana berbagai dampak dan kerusakan yang terjadi akibat proyek PLG zaman Orde Baru tersebut masih menyisakan masalah sosial-ekologis. Kebakaran lahan yang terjadi di wilayah eks-PLG masih menjadi bagian dari bencana kabut asap. Demikian juga konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang beroperasi di atas lahan eks-PLG. Perubahan sosial masyarakat yang terjadi akibat perubahan lingkungan dan kerentanan secara ekonomi dan kerusakan adat dan budaya masyarakat setempat masih berlangsung dan belum ada pemulihan.

 

Proyek Food Estate yang telah berjalan di Indonesia juga tidak menunjukkan pemulihan hak Masyarakat Adat lingkungan, malah semakin menambah daftar masalah dalam hal kerusakan lingkungan dan hak atas kehidupan masyarakat setempat. Proyek MIFEE di Papua dapat kita jadikan contoh dimana Proyek Food Estate merupakan ancaman bagi Masyarakat Adat.

 

Terkait rencana proyek Food Estate di lahan Eks PLG, AMAN Kalimantan Tengah menyoroti hal-hal sebagai berikut.


1.      Paradigma manusia di atas alam.

Masyarakat Adat memandang alam sebagai kawan dalam posisi yang sederajat. Ada proses saling menghargai, saling hormat, saling memberi menerima, dan saling rawat. Paradigma itu membuahkan alam yang menjadi sumber pengajaran hidup dan spiritual, lestari, cukup sandang, pangan, pangan dan obat-obatan selama ribuan tahun lamanya. Namun ratusan tahun dan meningkat dengan cepat puluhan tahun ke belakang, manusia dengan kesombongan ilmu pengetahuannya merasa diri di atas alam. Mampu merekayasa alam. Maka alam hanya akan menjawab dengan satu jawaban: bencana.

 

2.      Proyek Food Estate akan menghancurkan Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat.

Pendekatan Ketahanan Pangan yang mendasari proyek Food Estate ini menempatkan akumulasi modal dan pemenuhan permintaan pasar atas produk pangan secara nasional dan internasional. Di sisi lain, pemenuhan hak atas tanah dan pangan masyarakat setempat khususnya Masyarakat Adat tidak menjadi hal yang penting bagi pendekatan ketahanan pangan. Proyek Food Estate ini menjadi milik korporasi di mana masyarakat dipandang hanya sebagai faktor produksi belaka. Berkaca pada proyek Food Estate serupa yang telah berlangsung di Indonesia, Masyarakat Adat menjadi pihak yang dikorbankan.

 

3.      Tunggakan Masalah sebagai dampak proyek PLG masih belum tuntas.

Proyek Lahan Gambut (PLG) yang mulai dikerjakan tahun 1996 sampai hari ini masih menyisakan masalah bahkan melahirkan masalah baru. Pembabatan hutan dan pembangunan kanal di atas lahan tersebut sampai hari ini masih menjadi penyebab bencana asap yang terjadi setiap tahun. Masuknya proyek-proyek susulan di lokasi yang sama, baik oleh swasta, pemerintah dan non pemerintah telah mengubah cara hidup Masyarakat Adat menjadi semakin tergantung dengan pihak lain. Selanjutnya beroperasinya perusahaan sawit diatas lahan tersebut juga melahirkan konflik agraria dengan masyarakat setempat.

 

4.      Kepentingan Pemodal diatas kepentingan Masyarakat Adat.

Proyek Food Estate yang meletakkan modal dan pasar sebagai fondasi utama merupakan ancaman bagi masyarakat adat. Lahan Food Estate sebagian besar akan dimiliki oleh korporasi dan hasil produksi menjadi milik pasar. Berkaca pada kejadian yang telah melahirkan konflik dengan masyarakat setempat. AMAN Kalimantan Tengah mencatat beberapa konflik antara masyarakat dengan perusahaan telah terjadi diatas lahan eks-PLG dan secara umum masih mengorbankan kepentingan Masyarakat Adat.

 

5.      Peladang Tradisional Dikriminalisasi sementara Investasi diberi karpet merah.

Masyarakat Adat yang mengusahakan tanah dengan cara berladang masih selalu dipinggirkan dan di-pidana-kan. Sementara perusahaan yang aktivitasnya sering mengabaikan Masyarakat Adat, menimbulkan korupsi, kerusakan dan pencemaran lingkungan, melanggar perijinan, menimbukan konflik dan penyebab bencana kabut asap justru dibiarkan dan bahkan diberi fasilitas khusus oleh negara. Pemidanaan peladang adalah bukti hukum dan aparat yang tidak berpihak pada peladang. Pemidanaan peladang adalah bukti tidak diakuinya keberadaan Masyarakat Adat yang mengusahakan perladangan sebagai salah satu jalan hidup.

 

6.      Potensi Masalah Sosial.

Tenaga kerja tanpa pengetahuan tentang bercocok tanam di areal gambut dan didatangkan dari luar dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat akan berpotensi menimbulkan konflik sosial.

 

Dengan demikian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – Kalimantan Tengah (AMAN KALTENG) menyatakan: DENGAN TEGAS MENOLAK PROYEK FOOD ESTATE DIATAS LAHAN EKS-PLG.

 

AMAN Kalteng selanjutnya menyerukan kepada Pemerintah (Nasional, Propinsi dan Kabupaten) untuk:

  1. Bertobat dan meminta maaf kepada Tuhan, leluhur dan alam karena selama ini dan terus merusak semesta ciptaan Tuhan dan sombong memandang alam dan rakyat berada di bawah dirinya.
  2. Memulihkan dampak kerusakan lingkungan, sosial dan adat akibat kegagalan proyek PLG Orde Baru.
  3. Terlebih dulu menjamin pemulihan gambut dengan indikator tidak ada kebakaran di lahan gambut selama sedikitnya 5 tahun.
  4. Akui, jaga, dukung dan lindungi lahan-lahan pertanian dan ladang masyarakat adat yang sudah ada.
  5. Menjalankan Putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan rakyat terhadap pemerintah terkait bencana kabut asap tahun 2015.
  6. Membuka data dan analisa terkait Food Estate secara terbuka kepada publik.
  7. Menerapkan Standar Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sesuai Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat dalam setiap proyek pembangunan dan investasi, khususnya terkait proyek Food Estate di Kalimantan Tengah.

Kepada seluruh komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, untuk:

  1. Yakin dan bertahan dengan adat yang diwariskan oleh leluhur untuk kehidupan yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.
  2. Bersolidaritas dan berlawan terhadap semua pihak yang tidak mengakui keberadaan dan melanggar hak Masyarakat Adat.

 

Semoga Leluhur selalu merestui perjuangan kita!!!

 

Berdaulat Secara Politik, Mandiri Secara Ekonomi dan Bermartabat Secara Budaya

 

 

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA KALIMANTAN TENGAH
Penjabat Ketua

 

 

Ferdi Kurnianto

 



Senin, 09 Mei 2016

Komunitas Kinipan Deklarasikan Wilayah Adat

AMAN KALTENG
Komunitas Kinipan yang berada di Kabupaten Lamandau menjadi komunitas berikutnya yang berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya di Kalimantan Tengah. Ini dibuktikan pada  Sabtu lalu (30/4) dengan terlaksananya Lokakarya dan Deklarasi Peta Wilayah Adat Kinipan di kecamatan Batang Kawa, Lamandau. Luas wilayah adat komunitas Kinipan yaitu 16.169,942 hektar.
  
Acara di buka secara resmi oleh Sekretaris Camat Batang Kawa, dengan ritual adat Potong Pantan. Tetabuhan gong juga menghiasi acara pembukaan yang dimulai pukul 08.30 WIB. Dalam sambutannya Sekcam mengatakan, sangat mendukung kegiatan ini untuk kepentingan bersama bukan kepentingan pribadi.

Sabtu, 23 April 2016

Empat Komunitas Adat Terancam Punah

AMAN KALTENG
EKOLOGI

20 April 2016

JAKARTA, KOMPAS — Empat komunitas adat di Indonesia berpotensi punah, yakni Orang Rimba di Jambi, Punan di Kalimantan Utara, Tobelo Dalam di Maluku Utara, dan Cek Bocek di Nusa Tenggara Barat. Ancaman kepunahan itu terutama dipicu masalah ekologi politik dan penyebaran penyakit menular dalam taraf mengkhawatirkan.

Selasa (19/4), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengundang para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk memaparkan hasil riset mereka tentang kondisi kesehatan Orang Rimba, di Jakarta. Sebelumnya, Tim Eijkman menemukan tingginya sebaran malaria dan hepatitis B pada Orang Rimba di Bukit Duabelas.

Kamis, 08 Oktober 2015

KOMUNITAS TUMBANG MALAHOI IKUTI PPWA

AMAN KALTENG
Permintaan pemetaan secara partisipatif oleh komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah menjadi pertanda bahwa semakin penting batas wilayah adat bagi mereka. Kondisi ini bisa disebabkan pengelolaan sumber daya hutan yang semakin berkurang. Baik oleh komunitas adat itu sendiri maupun orang luar dari komunitas adat.

Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Untuk itulah penguatan sumber daya komunitas penting dilakukan. Kesadaran akan pentingnya batas wilayah yang jelas memerlukan alat yang disebut peta. Menjawab panggilan dari komunitas Tumbang Malahoi yang meminta AMAN Kalteng untuk melakukan pelatihan pemetaan di wilayah adat mereka. Di akhir September dan awal Oktober 2015 lalu tim dari AMAN Kalteng berangkat untuk melakukan pelatihan.

Rabu, 07 Oktober 2015

Equator Prize untuk Komunitas Adat Dayak Benuaq

AMAN KALTENG
"Muara Tae adalah contoh nyata penyelamat hutan yang diperlukan oleh dunia saat ini...." 

Jakarta (ANTARA News) - Komunitas Adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur, mendapatkan penghargaan bergengsi, Equator Prize, sebagaimana diumumkan secara resmi oleh Badan Program Pembangunan PBB atau UNDP dalam konferensi pers di Sekretariat PBB di New York, AS, pada Senin (21/9) waktu setempat.

Komunitas Adat Muara Tae mendapatkan Equator Prize atas upaya mereka dalam mempertahankan, melindungi dan memulihkan hutan dan wilayah adat mereka yang masih tersisa, dari gempuran logging, tambang, dan perkebunan sawit. "Muara Tae adalah contoh nyata penyelamat hutan yang diperlukan oleh dunia saat ini. Upaya seperti ini yang harus mendapatkan dukungan dari dunia internasional dan khususnya perlindungan oleh Negara," kata Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, dalam keterangan persnya, Selasa.

Senin, 13 Juli 2015

Kriminalisasi Hison

AMAN KALTENG
Saksi Sidang Hison: Mandau Dibawa Untuk Ritual Adat

(Muara Teweh, Kalteng – Senin 6 April 2015) Sidang Ke-VI, Hison bin Sahen, warga Ds. Kemawen, Barito Utara kembali digelar Pengadilan Negeri Muara Teweh, dengan agenda pemeriksaan saksi yang meringankan (a decharge), yaitu dua orang warga Desa Kemawen.

Didampingi Penasihat Hukumnya dari Public Interest Lawyer Network (PILNET), yaitu Judianto Simanjuntak, SH., Bama Adiyanto, SH., dan Aryo Nugroho, SH., Terdakwa Hison bin Saweh mengikuti sidang pemeriksaan saksi, yakni dua orang warga Desa Kemawen.

Rabu, 08 April 2015

Komunitas Adat Dayak Tuntut PT SIL Rp162 Miliar

AMAN KALTENG
Komunitas Adat Dayak Maanyan Paju Sepuluh, Desa Janah Jari, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur menuntut PT Sandabi Indah Lestari (SIL) untuk mengganti kerugian masyarakat sebesar Rp161,9 miliar.

Tuntutan ini menyusul estimasi kerugian dari pihak perusahaan yang hanya senilai Rp50 juta. Menurut komunitas adat, nilai tersebut tidak sebanding dengan kerugian masyarakat yang begitu besar karena lahannya digarap perusahaan karet ini sejak tahun 1990 lalu.

Sekretaris Komunitas Adat Dayak Maanyan Paju Sepuluh Markus Undak mengungkapkan, akibat dari digarapnya lahan masyarakat oleh perusahaan, warga sekitar tidak dapat mengelola lahannya selama 23 tahun lamanya. Dihitung dari kurun waktu itu, perkiraan kerugian mencapai Rp161,9 miliar. Tuntutan komunitas adat ini tidak main-main. Komunitas Adat Dayak Maanyan Paju Sepuluh didampingi kuasa hukum dalam menyampaikan tuntutan mereka.

Sabtu, 27 Desember 2014

Semiloka AMAN Kalteng di Gunung Mas

AMAN KALTENG
Ucapan doa bernuansa Kaharingan menandai kegiatan seminar dan lokakarya yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Kalimantan Tengah (AMAN Wil Kalteng). Pak Dagik yang dipercaya membacakan doa berasal dari komunitas Tumbang Bahanei, Gunung Mas.

Hotel Gunung Mas, Kuala Kurun di pilih panitia sebagai tempat semiloka ini. Tepat pukul 9 lebih 13 menit acara yang bertajuk ‘Menggagas dan Menyusun Pokok-Pokok Usulan Untuk Draft Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat’ di Kabupaten Gunung Mas dimulai.

Acara yang berlangsung pada 20 Desember 2014 lalu hanya dihadiri tidak lebih dari 30 orang saja. Peserta berasal dari kabupaten Gunung Mas, Instansi pemerintah, perwakilan kepala desa dan undangan lainnya.

Dalam sambutannya Simpun Sampurna sebagai ketua Badan Pengurus Harian  AMAN Kalteng menyampaikan draft Perda yang dibuat ini nantinya akan memayungi diseluruh Kalimantan Tengah ini, sehingga semiloka yang dilakukan dapat membangun harapan kita bersama untuk masalah hukum adat.

“Kami membangun inisiatif ini agar saling bersinergis dan bersama masyarakat membangun Perda hukum adat sehingga kami berharap agar perda ini dapat dilaksanakan. Mudah-mudahan inisiatif ini dapat berkembang juga di daerah,” jelas Dadut panggilan akrabnya.

Sebagai moderator Yohanes Taka, dari AMAN Kalteng memandu proses diskusi yang berlangsung dinamis. Kesempatan pertama ia menyerahkan kepada Simpun Sampurna untuk memberikan paparan terkait tantangan dan peluang  pembuatan peraturan daerah masyarakat hukum adat.

Secara lugas Dadut menampilkan sejak lama ada peraturan daerah yang memuat pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, pengakuan tata ruang yang jelas; hak atas tata ruang yang jelas, hak atas tanah yang jelas, hak atas kawasan hutan yang jelas. Pemanfaatan, pengelolaan, dan pelestarian  sumber daya alam yang jelas untuk masyarakat hukum adat.

Pemateri berikutnya dari Depkum HAM wilayah Kalteng, Yusuf Salamat. Ia lebih condong membahas tahapan pembentukan Perda, meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, pengundangan dan penyebarluasan.  Pertanyaan diajukan oleh Yusuf, mengapa PROLEGDA diperlukan?, ia mengungkapkan bahwa PROLEGDA diperlukan untuk memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Peraturan Daerah, menetapkan skala dan lainnya.

Salah satu peran dari kantor wilayah itu sendiri adalah berfungsi untuk harmonisasi dan sinkronisasi   raperda yang dibuat. Di sub bidang PPHD lebih banyak melakukan fasilitasi penyusunan program legislasi daerah dan naskah akademik, fasilitasi penyusunan serta harmonisasi PHD itu sendiri. Yusuf juga menyinggung sistematika naskah akademik yang harus dilakukan.

Memasuki tanggapan, salah seorang peserta menyampaikan bahwa ia tidak dapat merekam semuanya kalau hanya melihat saja. Ia juga mengusulkan pertemuan seperti ini jangan melibatkan satu Damang melainkan se-kabupaten Gunung Mas.

Sedangkan tanggapan lainnya dari kepala desa Tumbang Malahoi, Tampung. Ia mengucapkan terima kasih kepada narasumber yang sudah memaparkan. Dalam proses tindak lanjut nanti agar melibatkan semua kepala desa karena sebagai kepala desa ia menilai ada memiliki otoritas terkait undang-undang yang diusulkan.

Sebagai nara sumber, Yusuf Salamat menjawab ada inisiatif baik peserta dari DISTAMBEN sehingga usulan yang disampaikan dapat dimasukkan PROLEGNAS. “Kami harapkan ada sinergi dari masyarakat, pemerintah yang baik,” jelas Yusuf.

Tanggapan dari peserta juga mendapat respon dari Simpun Sampurna. Ia menekankan bahwa ini baru proses awal. “Kita mulai dari kecil dulu, target kami mengundang paling banyak dua puluh orang dan terpenuhi. Pada kelanjutan kedua dan ketiga dapat memiliki awal yang baik untuk kita,” jawab Simpun.

Sebagai kata penutup, Yohanes sebagai moderator mengatakan bahwa AMAN Kalteng akan membagikan hasil semiloka ke SKPD terkait sehingga dapat berbagi informasi dan saling melengkapi melalui email. Ia memberikan kesempatan kepada Simpun Sampurna untuk menutup acara dan pukul 12 siang lebih 30 menit acara ditutup secara resmi

Sumber berita: diringkas dari notulensi kegiatan

Kamis, 18 Desember 2014

MASYARAKAT HUKUM ADAT

AMAN KALTENG
Ketika Hak Asasi Dilanggar

MASYARAKAT adat di Indonesia terus menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Lebih dari 30 jenis pelanggaran hak asasi terjadi pada komunitas masyarakat hukum adat Indonesia. Selain itu, terjadi konflik yang berakar pada soal legitimasi dan legalitas. Tak ada lembaga setingkat menteri yang bertugas menyelesaikan konflik-konflik itu.

Demikian temuan dari Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak-hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Hasil inkuiri disampaikan pada Dengar Keterangan Inkuiri Komnas HAM-Hak Asasi Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Dengar keterangan umum selama dua hari, 16-17 Desember 2014, di Jakarta.

Hasil inkuiri antara lain menyebut akar penyebab konflik di antaranya ketidakpastian hukum atas keberadaan masyarakat hukum adat, simplifikasi keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas wilayah adat, sementara sumber daya hutan dipandang sebagai masalah administrasi semata.

Penyebab lain yaitu sikap pemerintah atau aparat keamanan yang lebih melindungi kepentingan korporasi atau pemegang izin daripada kepentingan masyarakat hukum adat.

Persoalan masyarakat adat selama ini kerap disederhanakan sebagai sekadar konflik. Kini sudah saatnya isu masyarakat hukum adat diangkat sebagai persoalan korupsi konstitusional. Hasil inkuiri itu dipaparkan oleh Koordinator Inkuiri Nasional Sandrayati Moniaga.

Inkuiri dilakukan di tujuh lokasi yaitu Kota Palu (Sulawesi), Kota Medan (Sumatera), Kota Pontianak (Kalimantan), Rangkasbitung (Jawa), Kota Ambon (Maluku), Kota Mataram (Nusa Tenggara), dan di Kota Jayapura (Papua), 27 Agustus-28 November 2014.

Banyak temuan mengisahkan peran pemerintah pusat dan daerah yang menerbitkan izin di kawasan hutan pada perusahaan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang beberapa generasi menggantungkan hidup dari hutan. Hutan menjadi wilayah adat dan eksistensi mereka.
Korupsi konstitusional

Dalam sambutannya, Rabu (17/12), Ketua KPK yang juga Koordinator Nota Kesepakatan Bersama untuk Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Bambang Widjoyanto mengatakan, ”Saatnya bukan hanya dilihat sebagai masalah konflik, tetapi ditingkatkan pada soal korupsi konstitusional.”

Hal itu disebabkan pengakuan pada masyarakat hukum adat tercantum dalam UUD 1945 Pasal 18B yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Kenyataan di lapangan, seperti diungkapkan dalam tanggapan peserta yang terdiri dari masyarakat hukum adat, adalah penegasan terhadap laporan tim inkuiri nasional tentang pelanggaran hak asasi mereka. Menurut Machyoedien dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, pendamping masyarakat adat Maluku Utara, faktanya kepastian hukum tak pernah jelas. Pemda dan pemerintah pusat selalu saling lempar.

Secara umum, mereka mengalami represi dari pemerintah daerah dan kepolisian. Bahkan, seperti yang diutarakan kepala suku Pagu, Afrida Ernangato, negara menghilangkan identitas sukunya, selain tak pernah ada pemberdayaan perempuan. ”Jangan ada penyeragaman desa karena itu membunuh karakter dan budaya masyarakat. Identitas kami hilang. Negara melakukannya,” ujarnya.
Lakukan sesuai hukum

Beberapa tanggapan dari pihak pemerintah, antara lain dari kepolisian, menegaskan, polisi bertindak sesuai hukum. Penanggap lain dari pihak pemerintah mengapresiasi hasil inkuiri dan pihaknya akan bertindak sesuai peraturan dan hukum.

Anggota tim inkuiri, yang juga Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional Hariadi Kartodihardjo mempertanyakan, ada gap antara fakta di lapangan dengan pernyataan ”berpegang pada aturan”. Lalu apakah benar izin yang keluar di kawasan hutan untuk pengusaha itu sudah sesuai prosedur? Kalau peraturannya tidak adil lantas apa yang diikuti?” ujar Hariadi.

Hal itu sesuai seruan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang mendorong pemerintah untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan masyarakat hukum adat sebelum menerbitkan izin bagi perusahaan di kawasan hutan.

Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Arimbi Heroepoetri menegaskan, hutan adat adalah sumber kehidupan dan eksistensi bagi masyarakat adat yang menempati, khususnya para perempuan adat.

Perwakilan masyarakat hukum adat Elisabeth Ndiwaen dari suku Malind, Merauke, Papua, mengatakan, ”Kami tak bisa berkata apa-apa, tiba-tiba saja hutan kami dirampas. Kami masyarakat jadi miskin di tanah sendiri.”

(Keterangan Foto:  Tarian masyarakat adat Dayak, Kalimantan, mengisahkan masyarakat yang kehilangan wilayah adatnya ketika pengusaha tiba-tiba datang menguasai kawasan hutan tempat mereka tinggal. Tarian itu ditampilkan dalam acara Dengar Keterangan Umum Hasil Penyelidikan (Inkuiri) Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Rabu (17/12), di Jakarta.)


(AGNES THEODORA/BRIGITTA ISWORO LAKSMI)

Sumber: http://print.kompas.com

Selasa, 18 November 2014

Masyarakat Tuntut Perda Hak Adat Gelar Aksi Demo di Halaman Kantor Bupati Kobar

AMAN KALTENG
PANGKALAN BUN – Kantor Bupati Kotawaringin Barat (Kobar) dan DPRD Kabupaten Kobar Senin (17/11),  didemo oleh ratusan masyarakat adat dari enam kecamatan yang tergabung dalam aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Kabupaten Kobar. Demo yang berlangsung sejak pukul 09.30 WIB ini, dikawal ketat aparat Kepolisian Resor (Polres) Kobar. 

Ketua AMAN Kobar Mardani mengatakan, demo itu dilakukan untuk menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kobar supaya membuat dan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Karena selama ini kata dia, dari 133 Perda yang dikeluarkan Pemkab Kobar belum ada satupun yang mengatur keberadaan hak masyarakat adat.

“Jadi bagaimana masyarakat adat mencari perlindungan atas haknya. Jika selama ini payung hukumnya didaerah tidak ada,”ujarnya saat dimintai keterangan seusai berorasi di depan Kantor Bupati Kobar.

Padahal, lanjut dia, Pemerintah Pusat sudah mengeluarikan peraturan. Yakni melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi RI No 35 tahun 2012, kemudian Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 52 tahun 2014. Ditambah lagi dengan Peraturan Gubernur tentang hak tanah adat.

“Didalam beberapa aturan itu sudah jelas sekali, dimana ada tanah adat, harus berlaku wilayah adat. Namun sampai saat ini Pemkab Kobar belum juga mengimplementasikan peraturan itu di Kabupaten Kobar ini. Sehingga membuat masyarakat adat merasa dirugikan,”paparnya.

Wakil Bupati (Wabup) Kobar Bambang Purwanto ketika dimintai tanggapan mengaku, pihaknya telah menerima tuntutan dari para masyarakat adat itu. Namun untuk merealisasikannya kata dia, Pemkab Kobar harus membahas terlebih dahulu dengan pihak terkait. (elm)

Sumber: http://kaltengpos.web.id/berita/detail/13320/masyarakat-tuntut-perda-hak-adat.html

Rabu, 05 November 2014

Dua Hutan Adat Ditetapkan Masyarakat Berkomitmen Mempertahankan

AMAN KALTENG
JAMBI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Sarolangun, Jambi, menetapkan dua hutan seluas 332 hektar di hulu Sungai Batanghari sebagai hutan adat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat tersebut diyakini dapat mengantisipasi dampak lingkungan dari aktivitas tambang liar di sekitar desa.

Kedua hutan adat itu dikelola masyarakat Desa Panca Karya dan Temenggung, Kecamatan Limun. Desa Temenggung sangat dekat dengan lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI), hanya berjarak 1 kilometer. Bentrokan antara polisi dan petambang liar bahkan pernah terjadi setahun lalu yang mengakibatkan satu polisi dan dua warga tewas.

”Kami ingin melindungi keselamatan masyarakat lokal dari dampak tambang emas liar tak jauh dari sini,” ujar Yusuf S, pengurus Hutan Adat Desa Temenggung, Selasa (4/11).

Menurut Yusuf, PETI meresahkan masyarakat karena limbah aktivitas produksinya berupa merkuri dibuang ke sungai. Merkuri alias air raksa merupakan logam berat yang secara akumulatif dapat menyebabkan kematian serta merusak jaringan organ dan janin.

Wakil Bupati Sarolangun Fahrul Rozi berharap, penetapan hutan adat akan meningkatkan kesadaran masyarakat melestarikan hutan. Upaya itu sejalan dengan keinginan pemkab menjaga kawasan hulu sebagai kawasan lindung dan melindunginya dari aktivitas tambang liar. Penetapan hulu Sarolangun sebagai kawasan lindung bahkan telah dilakukan melalui peraturan daerah 10 tahun lalu mengingat kondisi hutannya masih baik dan berperan sebagai wilayah resapan air.

Hutan adat di Panca Karya dan Temenggung pada masa lalu merupakan satu kesatuan wilayah marga Datuk Nan Tigo dan berada dalam lanskap Taman Nasional Kerinci Seblat. Luas hutan adat di Desa Panca Karya 217,49 hektar, sedangkan di Desa Temenggung 115 hektar.
Komitmen masyarakat

Koordinator Program Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera yang menginisiasi pengelolaan hutan adat setempat, Riko Kurniawan, mengatakan, komitmen masyarakat mempertahankan hutan adat atau imbo larangan sudah sejak dahulu. Ini diwujudkan dengan surat keterangan dari sidang tengganai dan orang tuo-tuo dusun pada 1929.

”Masyarakat masih menggunakan hukum adat yang berlaku beserta larang pantang dan sanksinya,” katanya.

Di Jambi sebelumnya telah terdapat 30 hutan adat dan 33 hutan desa.

Di Maluku Utara, masyarakat adat Pagu dan suku Togutil di Kabupaten Halmahera Utara justru kehilangan hak mereka. Ini karena tanah adat masyarakat Pagu seluas 29.622 hektar dijadikan lahan eksploitasi tambang emas. Adapun warga suku Togutil kehilangan sumber penghidupan setelah hutan yang mereka garap selama ini seluas 167.300 hektar ditetapkan sebagai areal konservasi oleh Kementerian Kehutanan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Provinsi Maluku Utara Munadi Kilkoda mengatakan itu kepadaKompas, Senin.

Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo mengatakan, pihaknya segera menyusun perda untuk mengatur tentang wilayah adat. ”Kami berkomitmen, hak masyarakat adat tidak boleh terganggu,” katanya. (ita/frn)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009896787

Senin, 06 Oktober 2014

Komunitas Tumbang Bahanei Lakukan BS

AMAN KALTENG
Aula pertemuan di kompleks perkantoran BAPELKES Palangka Raya menjadi pilihan panitia dalam melakukan pertemuan bertajuk ‘Workshop Benefit Sharing (BS) Komunitas Tumbang Bahanei (KTB)’. Pertemuan yang dilakukan selama 2 hari mengajak peserta workshop untuk mengenal sejauh mana pembelajaran dari pemetaan Wilayah Adat yang telah dilakukan KTB. Acara workshop dimoderasi oleh Dayan di aula lantai-2, jalan Yos Sudarso Palangka Raya. Dimulai pada Selasa-Rabu (28-29/9).

Simpun Sampurna dalam kata sambutannya menjelaskan bahwa Benefit Sharing adalah bagian masyarakat adat dari mengelola dan menjaga hutan. Ia mengungkapkan bahwa selama ini masyarakat adat jarang menulis dan mendata hal-hal apa saja yang dilakukan sehingga tidak percaya diri. Padahal ungkapnya periset belajar dari masyarakat adat  dan akhirnya membuat buku.

“Guru yang paling mulia adalah adalah masyarakat adat itu sendiri, karena banyak yang belajar dari mereka dan saya berharap kita membuku kegiatan kita dengan acara Benefit Sharing hari ini yang dimulai dengan Komunitas Tumbang Bahanei,” harap Dadut panggilan sehari-harinya, sebelum ia membuka acara secara resmi.

Andy Kiki, dari Kemitraan Parnership Kalimantan Tengah menjelaskan bahwa sejak tahun 2010 sudah bekerja sama dengan AMAN Kalteng. Lebih jauh Kiky menceritakan bahwa ide-ide REDD itu terdapat dari masyarakat. Ia berharap dalam dua hari ini sampai besok itu bisa terumuskan dengan baik, sehingga AMAN yang selalu bersemangat untuk mendorong keterlibatan masyarakat adat tetap konsisten.

Acara berlangsung dengan baik dengan aktifnya para peserta diskusi antara lain Hendro, Riko, Oleng Suley, Bambang, Nindit, Gio dan Yester yang terlibat dalam diskusi. Rinting sebagai fasilitator mengajak peserta untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan konsep hutan adat, wilayah adat, hutan desa. Rinting menegaskan bahwa sikap AMAN dari REDD+ ini ialah bukan uangnya, tapi melalui jalan REDD+ ini kita bisa mendapatkan pengakuan.

Beberapa butir penting dari pertemuan ini menghasilkan harus adanya penelitian tentang pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat adat Tumbang Bahanei, adanya fasilitas yang diberikan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah adat Tumbang Bahanei, adanya fasilitas untuk mengembangkan hukum adat yang mengatur pengelolaan wilayah adat Tumbang Bahanei, PDD (Project Design Document) dan aturan internal (SOP) lembaga pengelola wilayah adat.

Tidak kalah penting, butir selanjutnya harus ada upaya untuk memperkuat kapasitas lembaga pengelolaan hutan adat berdasarkan rencana yang sudah disusun meliputi aspek organisasi, dokumentasi, pengemanan kawasan, aspek usaha/ bisnis lestari, dan monitoring/evaluasi. Berkaitan dengan lahan kritis mesti dibuat kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan kegiatan pengkayaan jenis dalam kawasan hutan desa.

Berikutnya, adanya peningkatan pemanfaatan hasil hutan nonkayu, kayu bersertifikat secara terencana, dan kegiatan ekonomi alternatif, adanya monitoring berkala secara partisipatif terhadap kawasan hutan adat, adanya kegiatan untuk kaum perempuan melalui kegiatan-kegiatan ekonomi alternatif dan juga mempromosikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di komunitas serta dilakukan sosialisasi dengan desa tetangga tentang wilayah adat dan hukum adat Tumbang Bahanei.

Keesokan harinya, acara dilanjutkan pada pukul 16.30 WIB untuk membahas dan memperdalam butir-butir yang telah didapatkan. Diskusi ini dibantu oleh bung Iwan dari BP REDD+. Semoga pertemuan ini membawa aksi yang nyata bagi Komunitas Tumbang Bahanei dalam berbagi peran menjaga dan memelihara hutan adatnya.

Sumber foto: Dokumen AMAN Kalteng.

Jumat, 12 September 2014

Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman

AMAN KALTENG
Ada sebuah desa di tengah hutan, Tumbang Bahanei, namanya. Ia berada di Kecamatan Rungan Barat,  Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dengan kearifan lokal, masyarakat adat di kawasan ini berusaha menjaga dan mengelola hutan dengan lestari. Meskipun, hutan adat mereka terancam, karena diklaim masuk konsesi perusahaan.

Wilayah adat ini dihuni 139 keluarga dengan luas terdiri dari beberapa bagian. Ada hutan pertahanan adat 2.858,898 hektar, hutan cadangan berladang 132,082 hektar, hutan karet 5.841,327 hektar dan hutan wisata adat 43,661 hektar. Total 8.888,0337 hektar.

Wilayah ini berbatasan dengan enam desa lain. Yakni, Tumbang Langgah dan Tusang Raya (Kecamatan Rungan Barat), Desa Tehang (Kecamatan Manuhing Raya), Desa Tumbang Rahuyan dan Sei Antai serta Tumbang Tuwe (Kecamatan Rungan Hulu).

“Tumbang Bahanei jadi yang pertama menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Mereka luar biasa. Mereka tidak lelah terus berkoordinasi dengan kami. Menelpon dan datang ke Palangkaraya berkali-kali. Bahkan kami bilang ke mereka,”  kata Alfianus Genesius Rinting, deputi umum AMAN Kalteng.

Saya berkesempatan ke desa ini bersama rombongan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, minggu pertama September 2014. Mantir adat, Suley Medan dan Dunal S. Rintung menyambut hangat. Banyak warga berkumpul di rumah itu. Ternyata, mereka sedang menyiapkan upacara adat Punduk Sahur. Sebuah ritual menjaga hutan agar tidak terganggu dari pihak jahat. Meminta roh-roh leluhur ikut menjaga hutan tetap lestari.

Masyarakat adat Tumbang Bahanei tidak bisa dilepaskan dari hutan. Bagi mereka, hutan adalah sumber kehidupan. Mata pencaharian warga sebagian besar berladang dan penyadap karet. Sesekali mereka berburu di hutan.
Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah ini aturan adat sudah dibuat tertulis yang disahkan 29 Mei 2014. Meski begitu, hukum adat sudah lama berlaku di wilayah mereka. Hanya, dulu lisan saja. Hukum tertulis dibuat untuk menguatkan keberadaan mereka.

“Kalau melanggar hukum adat nanti kena jipen,” kata Suley, yang biasa disapa Pak Dagik.

Dia mengatakan, satu jipen setara Rp100.000. Besaran jipen tergantung pelanggaran. Makin berat pelanggaran,  jipen makin besar pula.

Jika ada warga menebang pohon di hutan pertahanan adat, harus membayar 700 jipen per pohon.  Menebang pohon keras di luar hutan pertahanan adat 100 jipen per batang, pohon lunak 70 jipen per batang.

Sanksi perusahaan yang memasuki wilayah adat tanpa izin 2.760 jipen. Perusahaan yang membuka jalan baru di wilayah adat Tumbang bahanei kena 550 jipen ditambah kerusakan yang dihitung mantir adat. Jika perusahaan tetap nekad beroperasi, maka sanksi berlipat ganda menjadi 55.200 jipen.

Menurut dia, warga tidak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat. Mereka hanya boleh menggunakan lahan yang ada sekarang. Hutan pertahanan adat, tetap dibiarkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

“Warga tak ada yang berani merusak alam. Karena kita sadar hutan ini titipan untuk anak cucu kita ke depan. Hutan adalah sumber kehidupan. Jangan sampai hilang,” katanya.

Meski begitu, bukan berarti masyarakat adat Tumbang Bahanei terbebas dari konflik. Banyak warga dari desa tetangga merasa tidak senang. Masih banyak warga di luar Tumbang Bahanei bekerja di dalam hutan adat mereka. Membuka lahan, ataupun menambang emas justru di hutan pertahanan adat.

“Karena kami ada batas-batas dengan mereka. Seolah kami ini mengusir mereka. Ada omongan yang tidak pantas. Kami hanya diam saja. Ini akan dicarikan solusi terbaiknya seperti apa. Kami kumpulkan data-data. Pada 16 kami akan bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Arton. Kami akan beritahukan permasalahan ini.”

Pertemuan dengan desa-desa tetangga hingga saat ini masih belum terjadi. Masyarakat adat Tumbang Bahanei menunggu inisiatif Camat Rungan Barat membuat pertemuan dengan desa-desa tetangga.  “Tapi bukan dari desa tetangga saja. Ada komunitas lain yang masuk ke hutan pertahanan adat Tumbang Bahanei.”

Pengurus komunitas adat berniat menyebarkan buku hukum adat ke desa-desa tetangga. Namun, mereka masih menunggu pengesahan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Dia mengatakan, pencemaran lingkungan akibat pertambangan emas  terjadi. Air sungai keruh dan tercemar. Dagik  mengatakan, yang menambang dari datang dari wilayah Kahayan, Barito Selatan dan lain-lain.

Ironis. Di saat warga Tumbang Bahanei berusaha sekuat tenaga menjaga hutan mereka tetapi warga dari luar membuka  hutan pertahanan adat. Ditambah lagi ancaman perusahaan HPH, PT East Point.

Gerge Gio I Nanyan, kepala Desa Tumbang Bahanei mengatakan, demi melestarikan hutan adat, tawaran investor berkali-kali ditolak. “Saya sudah empat kali didatangi perusahaan HPH. Namanya PT East Point. Kami sepakat menolak.”

Selain kepala desa, Gio juga merupakan bendahara komunitas adat. Beberapa waktu lalu, katanya, perusahaan datang meminta tandatangan persetujuan pembukaan lahan di hutan adat. Saat itu, Gio mempersilakan dua orang perusahaan masuk ke dalam rumah. Mereka menjelaskan peta wilayah yang akan dikelola. Terlihat, wilayah adat Tumbang Bahanei masuk ke sana.

East Point ke wilayah adat Tumbang Bahanei atas  persetujuan kecamatan. Kepala kecamatan menyetujui pembukaan lahan perusahaan untuk HPH. Pembukaan lahan belum terjadi tetapi membuat masyarakat Tumbang Bahanei khawatir.

SK penuntukan East Point keluar tanggal 17 Mei 2010 dengan nomor SK. 370/menhut-II/2010. Luas wilayah  tertera dalam SK mencapai 50.665 hektar. Jika di-overlay, peta itu termasuk wilayah adat Tumbang Bahanei. Tak ada yang tersisa jika East Point benar-benar beroperasi di wilayah itu. Inilah yang membuat warga khawatir dan segera pemetaan wilayah adat.

“Saat itu juga saya suruh istri untuk memanggil seluruh warga. Sementara saya tetap ngobrol dengan East Point.” Ancaman lain bagi Hutan Tumbang Bahanei tamang emas yang dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Ancaman lain bagi hutan Tumbang Bahanei yakni tambang emas  oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Malam itu suasana di rumah Gio riuh. Penuh oleh warga. Permintaan perusahaan untuk tandatangan persetujuan pembukaan lahan, tak pernah didapat. Warga juga membuat kesepakatan untuk tidak menyetujui apapun kegiatan yang berhubungan dengan perusahaan.

“Saya katakan kepada perusahaan, untuk meminta tandatangan saya harus meminta persetujuan dari masyarakat di sini. Karena masyarakat menolak, saya tak bisa memberikan tandatangan,” katanya.

Menurut Dagik, patroli akan terus dilakukan. “Kami tak akan henti-hentinya untuk mengusir mereka. Mereka tidak ada izin. Mereka sudah tahu ada pemetaan. Mereka bilang biarkan saja melakukan pemetaaan, nanti kami akan babat hutannya.”

Pemetaan wilayah adat sudah mereka kerjakan. Kesiadi, ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalteng  mengatakan, selama pemerintah belum mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat Tumbang Bahanei maka permasalahan masyarakat adat tak akan pernah selesai. “Kami mendesak pemerintah daerah segera mengeluarkan perda. Setidaknya pemerintah kabupaten segera mengeluarkan SK agar masyarakat punya kekuatan hukum mengikat,” katanya.

AMAN berusaha mendukung warga Tumbang Bahanei mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Saat inui, terkendala Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tersangkut KPK sambil menanti pergantian kepemimpinan baru.

Persoalan lain, BPN Kalteng belum memahami putusan MK 35. Mereka masih menggunakan pemahaman lama, syarat pengakuan wilayah harus dengan sertifikat dan lain-lain. Meski begitu, tanggapan pemerintah sudah menunjukkan hal positif.

Hari makin gelap. Wilayah adat Tumbang Bahanei tidak teraliri listrik. Hanya beberapa rumah menggunakan genset. Itupun hanya dinyalakan malam hari.  Satu genset memerlukan premium lima liter per hari. Harga bensin Rp15.000 per liter. Warga sangat memerlukan bantuan pemerintah guna  pemasangan sumber energi listrik seperti solar panel, microhydro atau yang lain.

“Malam ini kami akan mengadakan basarah untuk persiapan besok upacara Punduk Sahur,” kata Dunal.

Genset dinyalakan. Warga berkumpul di rumah ketua adat. Membacakan puja-puji. Meminta roh leluhur untuk melancarkan acara besar yang akan digelar besok hari.
Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Keesokan hari, saya memasuki hutan keramat bersama Bambang dan Hendro, warga Tumbang Bahanei. Busung, deputi AMAN Gunung Mas juga menemani. Perjalanan menuju hutan keramat menggunakan sepeda motor sekitar 20 menit. Melewati tanjakan terjal. Sepanjang mata memandang, hutan karet kelola masyarakat yang rimbun berderet di hadapan. Tak lama motor parkir dan lanjut berjalan kaki.

Bambang menjelaskan soal sistem membuka lahan. Warga dibatasi membuka lahan tak boleh lebih dari dua hektar per keluarga. Itu pun tak bisa sembarangan. Jika warga ingin membuka lahan, ada ritual adat yang harus dijalankan.

“Hutan karet ini dulu ini bekas ladang warga. Karena di sini ladang berpindah-pindah. Setelah berladang selesai, mereka tanami pohon karet hingga tumbuh besar seperti ini. Warga boleh membuka lahan kembali di hutan karet ini, jika pohon karet sudah tua,” kata Bambang.

Karet tumbuh bersama pohon-pohon lain. Pohon besar dibiarkan tumbuh bersama karet. Begitu juga rotan, buah-buahan. Semua tumbuh subur di dalam hutan ini.

Kami menembus hutan karet.  Pohon-pohon besar menjulang tinggi sesekali ditemui. Kicauan burung dan suara binatang lain menemani perjalanan. Sekitar satu jam berjalan, akhirnya tiba di pondok yang dikeramatkan warga.

“Di waktu-waktu tertentu warga datang ke sini mengantarkan sesaji. Hutan ini dikeramatkan. Tak ada yang berani mengganggu,” kata Bambang.

Hutan pertahanan adat mereka menyimpan banyak keragamanhayati. Hasil penelitian AMAN Kalteng menunjukkan, di dalam hutan ini masih terdapat banyak satwa liar. Ada 11 jenis tanaman obat, 15 jenis kayu, 174 jenis pohon, 56 jenis ikan sungai, 31 jenis umbut-umbutan, 27 jenis jamur bisa dimakan, lima jamur  tak bisa dimakan, 58 jenis burung dan lain-lain.

“Di sini masih banyak kijang, beruang dan owa. Kalau berjalan terus ke dalam pohon-pohon besar. Warga masuk ke dalam hutan hanya untuk berburu. Warga tak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat.”

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/09/10/hutan-adat-tumbang-bahanei-terjaga-di-tengah-keterancaman/

Kamis, 17 Juli 2014

Lagi, Tumbang Bahanei Ikuti Pelatihan FPIC

AMAN KALTENG
“Kita harus sering belajar dan memperbanyak pengalaman kita, oleh karena itu kita hari ini coba sama-sama belajar. Walaupun ibu, bapak tidak menyadap karet, itukan sudah rugi, tidak jadi beras, tapi kalau kita berfikir panjang, kegiatan inilah yang akan menjaga beras-beras yang selanjutnya atau yang akan datang untuk anak cucu kalian nantinya.”

Itulah potongan kalimat yang terucap dari pria berambut panjang ini, saat ini menjadi fasilitator dalam pelatihan FPIC (Free, Prior And Informed Consent). Pelatihan yang dilakukan selama 2 hari ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tumbang Bahanei, Gunung Mas.

Alfianus Genesius Rinting, adalah deputi umum Simpun Sampurna, ketua BPH AMAN Wilayah Kalteng. Rinting tidak sendiri ia di temani Yohanes Taka dan Yuni yang memandu pelatihan dari tanggal 10-11 Juli 2014. Di hari pertama, tepat pukul 10 pagi Rinting memandu membuka acara yang dihadiri sekitar 40 peserta dari komunitas adat Tumbang Bahanei.

Secara resmi pelatihan dibuka oleh ketua BPD, Yaster Dunal. Ia menyampaikan masih banyaknya tantangan, terutama dengan investor yang mau masuk.”Saya berharap nantinya untuk kita semua disini agar bisa serius mengikuti pelatihan FPIC ini dengan sama-sama belajar,” harapnya.

Usai dibuka secara resmi, Rinting menyampaikan gambaran singkat proses selama 2 hari pelatihan. Beberapa materi akan dibahas bersama menggunakan metode, paparan, diskusi kelompok dan bermain peran. Materi pertama tentang Analisa Sosial Tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim. Sedangkan materi kedua tentang UNDRIP dan FPIC, dilanjutkan tentang Negosiasi dan Lobby.

Yohanes di beri kesempatan pertama untuk menyampaikan materi Analisa Sosial tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim pukul 11.28 siang hingga sore harinya. Selanjutnya Yuni memberikan informasi terkait FPIC (Free, Prior  and Informed Consent) atau persetujuan bebas tanpa paksaan.

Metode tanya jawab di lakukan oleh Yuni, ia mengajak peserta menjawab apa itu FPIC. Salah seorang peserta, Suley Medan menjawab bahwa FPIC adalah kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa paksaan. Sedangkan peserta yang lain, Bambang mengatakan FPIC adalah adanya kesepakatan. Peserta yang lain memberi contoh terkait FPIC, andai kata ada suatu kegiatan, ketika kita hadir atau tidak hadir itu tidak masalah, jelasnya.

“FPIC adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk memutuskan iya atau tidak terhadap pembangunan yang diusulkan diatas tanah masyarakat adat,” jelas Yuni, tanpa mengurangi jawaban dari peserta. Ia menekankan bahwa FPIC adalah landasan/ Basis FPIC untuk Masyarakat Adat. Selain landasan, ini juga menjadi salah satu implementasi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination); hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya.

Bahkan, FPIC menjelaskan hubungan MA dengan entitas/ kelompok lain yang tertarik memanfaatkan, mengelola dan membangun sumberdaya masyarakat adat, meneguhkan keutuhan wilayah masyarakat adat dan berfungsi sebagai satu mekanisme bagi masyarakat adat untuk melaksanakan pengambilan keputusan sendiri; dan menentukan syarat serta kondisi kemitraan dengan pihak lain.

Dikaitkan dengan UNDRIP ada beberapa pasal yang berhubungan dengan FPIC yaitu, pasal 10: hak atas tanah dan wilayah, pasal 11 ayat 2 : hak atas budaya dan agama, pasal 19: pemerintahan sendiri dan penyusunan undang-undang  dan kebijakan yang berdampak terhadap masyarakat adat, pasal 28 ayat 1: hak atas tanah dan “redress”, pasal 29 ayat 2 : hak atas wilayah dan pasal 32 ayat 2 : hak atas tanah dan sumberdaya.

Yuni juga menjelaskan FPIC, adalah singkatan dari empat buah kata, yaitu, Free = bebas; Prior = Didahulukan; Informed = Diinformasikan dan Consent = Persetujuan. Selain UUD 1945 sebagai hukum nasional pengakuan hak masyarakat adat, juga ada di UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak asasi manusia yang mengakui hak-hak perorangan dan hak-hak kolektif masyarakat adat. Juga di UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjamin dan mengakui kewenangan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul atau adat–istiadat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Pengalaman dari daerah yang masyarakat adatnya menerapkan FPIC di lakukan di Lewolema, Flores Timur berkaitan dengan konflik hutan lindung dan pembentukan forum multipihak serta PERDA PHBM. Daerah lainnya yaitu di Kuntu, Riau yang menyelesaikan Konflik HTI. Di Kalimantan sendiri khususnya di Lusan, Kalimantan Timur, yang menyelesaikan konflik HPH dan berhasil membangun negosiasi dengan perusahaan.

Ada 2 hal mendasar mengapa mengapa FPIC begitu penting. Pertama,  biasanya skema pembangunan dipaksakan kepada masyarakat adat tanpa konsultasi, partisipasi atau perundingan – tanpa penghormatan terhadap hak-hak mereka. Mereka bisa saja secara paksa dipindahkan,atau dipaksa meninggalkan tanah – tanah mereka  dan dilatih kembali untuk melayani kebutuhan masyarakat nasional, tetapi tidak untuk memenuhi kebutuhan utama mereka sendiri.

Kedua, FPIC menyetarakan hubungan antara komunitas dan pihak luar, karena ini bermakna menghargai hak-hak komunitas masyarakat adat atas wilayah-wilayah mereka dan untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan di atasnya. Artinya bahwa pembangunan hanya dapat dilanjutkan ketika masyarakat adat telah menerima kegiatan yang bermanfaat untuk mereka dan jika menurut mereka pembangunan itu membahayakan mereka dapat menolak.

Di malam harinya, dari pukul 8 hingga 9 malam, Rinting mengajak peserta untuk berdiskusi dan memberikan contoh dalam cerita sederhana yang menggambarkan penerapan FPIC bagi komunitas masyarakat adat Tumbang Bahanei nantinya.

Hari kedua, Jumat (11/7) tepat pukul 9 pagi Yohanes memandu peserta untuk mereview kembali pembelajaran yang didapatkan hari pertama. Usai mendengarkan review, Yohanes melanjutkan materi yang bekaitan dengan Informed. Di materi ini Yohanes menekankan bahwa ada 13 UU yang mengatur mengenai keberadaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

Ada UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria; UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM; UU No. 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan; UU No. 21 tahun 2001 Sistem Pendidikan Nasional; UU NO. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air; UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Dan Pulau-Pulau Kecil; UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan; UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Di materi ini juga Rinting menambahkan informasi terkait AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Ada 4 hal mengapa AMDAL itu penting, yaitu sebagai strategi pembangunan berkelanjutan tentang sosial progres kebutuhan setiap orang, secara efektif mampu melindungi lingkungan, penggunaan SDA yang bijaksana dan mempertahankan tingkat stabilitas pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja.

Di hari kedua ini juga peserta di ajak untuk bermain peran (role play) berkaitan pada materi inform, consent, negosiasi dan lobby. Peserta di bagi menjadi 3 kelompok dengan peran yang telah diatur oleh fasilitator.

Dalam penyusunan rencana tindak lanjut yang dilakukan pada malam harinya, Rinting memandu dan memberikan penekanan pada beberapa hal. Salah satunya adalah kesiapan komunitas untuk melengkapi informasi-informasi yang terkait pemetaan yang telah dilakukan. Kepala Desa, Gio. I. Nanyan acara secara resmi.

Sumber: Notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.
***



Jumat, 04 Juli 2014

Tumbang Bahanei ikuti Pelatihan Manajemen Organisasi

AMAN KALTENG
Lebih dari 16 peserta mengikuti kegiatan yang bertajuk ‘Pelatihan Manajemen Organisasi Komunitas Tumbang Bahanei’. Kegiatan yang berlangsung selama 2,5 hari ini di gagas oleh Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah (PW AMAN Kalteng) dan Kemitraan Partnership.

Di rumah Dunal, salah seorang tokoh Masyarakat Adat di Tumbang Bahanei, Gunung Mas. Dari pagi hingga malam hari peserta mengikuti dengan antusias. Hari pertama (30/6), acara dimulai sejak pukul 9 pagi, walaupun pada malam sebelumnya telah dilakukan pembicaraan ringan dengan rombongan fasilitator dari Palangka Raya.

Rinting memandu acara pembukaan dan mempersilahkan Suley Medan untuk mengawali dengan berdoa secara agama Kaharingan, selanjutnya Dunal selaku tuan rumah, sekaligus memfasilitasi ruang pelatihan menyampaikan sambutan. Ia mengatakan, acara selama 2 hari ini dapat menjadi kampung teladan di antara kampung-kampung yang lain. “Saya berharap, semua masyarakat di kampung ini, tua, muda, besar kecilpun yang mau datang mengikuti pelatihan ini sama-sama kita mendengarkan, belajar dan memahami,” kata Dunal.

Sambutan, berturut-turut kemudian disampaikan oleh Gio I.Nanyan, kepala desa, Nindit selaku sekretaris komunitas Tumbang Bahanei dan Dadut dari PW AMAN Kalteng. Dalam sambutannya Dadut mengungkapkan,  ada 5 syarat dari Masyarakat Adat (MA) yaitu, adanya kelompok/ komunitas, pranata/ strukutur pengurus, wilayah adat yang jelas/ peta, hukum adat dan masih ada MA yang mengelola.

“Jadi syarat Masyarakat Adat  terpenuhi di Tumbang Bahanei,  ini diakui oleh undang-undang. Namun, yang mengakui ini dari diri kita sendiri terlebih dahulu,” tegas Simpun Sampurna. Sebelum membuka kegiatan secara resmi Simpun mengatakan ada 3 tantangan dari perusahaan yang ingin masuk ke wilayah adat Tumbang Bahanei. Ia berharap selama pelatihan 2,5 hari ini komunitas akan belajar bersama untuk menghadapinya.

Usai pembukaan dan sambutan, Rinting membacakan gambaran umum dari pelaksanaan acara selama 2,5 hari, kemudian mempersilahkan Ferdi dari biro OKK PW AMAN Kalteng menyampakan materi analisa sosial. Secara aktif Ferdi mengajak peserta untuk berdiskusi, dimulai dari menampilkan gambar fenomena gunung es, pendalaman kondisi masyarakat adat Dayak sekarang ini dari sisi sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Lebih jauh Ferdi juga mengajak peserta untuk memahami sistem kapitalisme yang yang terjadi, utang luar negeri sebagai pintu masuk penjajahan baru, semakin kuatnya kekuatan korporasi/ perusahaan dengan pemaksaan yang di lakukan dalam bentuk perjanjian seperti, GATT, GATS, TRIPs,     TRIMs, AoA, REDD , IMF dan Bank Dunia.

Setelah rehat sore, Ferdi melanjutkan materi Teori Kepemimpinan dan Organisasi. Sebuah ungkapan bijak ditampilkan oleh Ferdi berkaitan dengan kepemimpinan dan organisasi yaitu, ‘jika kamu beri  saya ikan, kamu sudah memberi saya makan untuk 1 hari; jika kamu ajari saya memancing, maka kamu sudah memberi saya makan sampai sungai itu tercemar atau garis pantainya menyusut karena pembangunan; namun, jika kamu ajari saya bagaimana berorganisasi, maka apapun tantangannya, saya dapat bergabung dengan rekan-rekan saya dan kami akan berupaya mencari solusi kami’.

Usai rehat malam, materi tetap disampaikan oleh Ferdi yaitu ‘Kepemimpinan Organisasi’. Di sesi ini Ferdi lebih banyak mengajak peserta untuk diskusi terbuka dan menggali pendapat dari peserta pelatihan. Untuk memperdalam pemahaman peserta terkait Dokumentasi dan Data Base, materi ini dibawakan oleh Restu Ariandi, dari biro sekretariat PW AMAN Kalteng yang berakhir hingga pukul 11 malam.

Di hari kedua (1/7) peserta diajak untuk memahami manajemen kegiatan yang akan dilakukan di komunitas. Restu membawa sesi ini dengan mengajak peserta diskusi kelompok membahas jenis kegiatan yang akan dilakukan sekaligus membuat perencanaan dan pengorganisasian tersebut.

Pembahasan ini dipertajam kembali Rinting dengan menjelaskan konsep 5W+1H untuk perencanaan yang telah dibuat. Rinting mengambil contoh bahwa, dalam melakukan pelatihan ini saja, ia merencanakan terlebih dahulu dengan menggunakan 5W+1H ini juga. “Seperti apa kegiatannya, dimana kegiatannya, siapa yang jadi narasumbernya, bagaimana kegiatannya, kapan kegiatannya, dan bagaimana kegiatannya,” jelas Rinting.

Hingga 30 menit sebelum pukul 4 sore dilanjutkan dengan materi tentang Manajemen Rapat yang kembali dibawakan oleh Restu. Kemudian, setelah rehat malam, manajemen keuangan dibawakan oleh Ferdi. Sedangkan pada sesi Rencana Tindak Lanjut (RTL), Rinting memandunya dan menghasilkan catatan-catatan penting, yaitu di sisi internal dan sisi eksternal.

Secara internal komunitas Tumbang Bahanei akan melakukan, pelatihan FPIC pertemuan/ musyawarah rutin, melakukan lobi-lobi terkait Pengakuan Wilayah Adat Tumbang Bahanei. Lobi ini di lakukan oleh organisasi PW AMAN Kalimantan Tengah dan PD AMAN Gunung Mas segera kepada Pemda Gunung Mas dan Pemprov Kalimantan Tengah.

Sedangkan secara eksternal, komunitas akan menanggapi surat yang datang dari Kuayan, Tumbang Malahoi dan Sei. Antai. Komunitas juga akan melakukan penelusuran terkait pelanggaran hukum adat yang terjadi di wilayah adat komunitas Tumbang Bahanei.

Karena terlalu malam akhirnya acara penutupan dilakukan pada keesokan harinya (2/7) yang ditutup secara resmi oleh kepala desa Tumbang Bahanei. Gio I.Nanyan. “Saya berharap dengan PW AMAN dan kawan-kawan di kampung ini, pertemuan kita semakin sering, sehingga kita semua seperti saudara, keluarga yang saling menghormati satu sama lain,” tutupnya.

Sumber: notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.

Jumat, 16 Mei 2014

Lokakarya di Gunung Mas ‘Ikei Tege’ WA KTB

AMAN KALTENG
Setelah satu rangkaian proses pembuatan peta sudah dihasilkan, tahapan berikutnya adalah hasil peta yang sudah dibuat komunitas Tumbang Bahanei dilanjutkan dengan lokakarya tingkat Kabupaten di Kuala Kurun, Gunung Mas pada Senin (21/4) lalu.

Lokakarya di pusatkan di Hotel Gunung Mas yang terletak tidak jauh dari pinggir sungai Kahayan kota Kuala Kurun. Tepat pukul 10.15 pagi acara di mulai dengan pembacaan susunan acara oleh pembawa acara yang dilanjutkan doa pembukaan oleh Dunal S. Rintung.

Simpun Sampurna, sebagai ketua BPH AMAN Wilayah Kalimantan Tengah menyampaikan sambutannya. Ia mengatakan bahwa tujuan dari lokakarya ini sebagai upaya memberitahukan peta Wilayah Adat Komunitas Tumbang Bahanei (WA KTB) sebagai bagian dari masyarakat adat menuju masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

Dadut panggilan sehari-hari Simpun Sampurna juga mengungkapkan bahwa proses pembuatan peta ini dimulai dari sosialisasi pemetaan wilayah adat yang sudah dilakukan Pengurus Wilayah AMAN Kalteng sejak tahun 2010. Gayung bersambut, salah seorang Komunitas Masyarakat Adat Tumbang Bahanei, Suley Medan mendatangi AMAN Kalteng meminta difasilitasi pemetaan di Tumbang Bahanei pada tahun 2012 lalu.

“Kami pun selaku pengurus AMAN menanggapi permintaan komunitas. Tidak lama kemudian kami datang ke Tumbang Bahanei lalu melakukan sosialisasi Pemetaan Partisipatif (PP) di Tumbang Bahanei, pelatihan, hingga penggambaran peta,” terang Dadut.

Ia melanjutkan bahwa kegiatan pemetaan yang dilakukan mengacu putusan MK No 35/ PUU-X/ 2012 tentang hutan adat untuk mempercepat pemetaan wilayah adat. Sedangkan di sisi lain, kementerian lingkungan hidup juga memberikan surat disposisi untuk pengakuan hak masyarakat adat dengan dikeluarkannya UU tentang lingkungan hidup.

“Kami sangat bangga dengan pekerjaan yang telah dilakukan oleh Komunitas Tumbang Bahanei yang saat ini  dengan pekerjaannya, di harapkan dapat meraih KALPATARU tentang lingkungan hidup, karena mereka menjadi salah satu penyelamat lingkungan,” kata Dadut dengan nada bangga dan berharap.

Sebagai moderator pada lokakarya ini di percaya kepada Dayan Okto. Pria berkacamata ini membagi 2 sesi dalam paparan nara sumber. Sesi pertama dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) kabupaten Gunung Mas oleh  Agung.  PW dan AMAN Kalteng  oleh Simpun Sampurna.

Dalam paparannya, Agung menyampaikan keterkaitan masyarakat adat dan keaneka ragaman hayati dan sosiologi masyarakat kalimantan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
Namun, saat proses tanya jawab akan dimulai, pada pukul 11 siang Dayan mempersilahkan asisten 1 pejabat Bupati Gunung Mas, Isaskar untuk memberikan sambutan sekaligus membuka acara secara resmi.

Isaskar mengungkapkan rasa salut dan terima kasih untuk AMAN Kalteng memprakasai Kabupaten Gunung Mas melakukan pemetaan wilayah adat dan hutan adatnya di Gunung Mas terutama untuk komunitas Tumbang Bahanei.

Terungkap bahwa asisten merasa sedih karena BPN yang tidak mau mengakui SKTA sedangkan negara mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat sepanjang masih hidup dan ada ini merupakan bagian dari permasalahan yang ada. “Saat ini kita mempertahankan hak-hak masyarakat adat dan saya berharap kepada seluruh kepala desa yang ada di kabupaten Gunung Mas untuk melakukan inventarisasi tanah adat dan hutan adat yang ada,” tekan Isaskar.

Dalam sambutannya juga Isaskar menceritakan peluang dan tantangan yang harus dihadapi masyarakat adat. Ia berjanji dalam waktu yang tidak lama, selaku pemerintah akan membuat surat edaran kepada Kades dan Damang untuk melakukan inventarisasi hak-hak adat agar membantu kami dalam menyusun atau membukukan aturan adat. Di akhir sambutan, Isaskar membuka lokakarya dengan resmi.

Usai pembukaan secara resmi, pukul 11 lebih 43 menit, Dayan memberi kesempatan kepada Simpun Sampurna untuk memaparkan materi peta wilayah adat tumbang bahanei & pengakuannya implementasi keputusan MK-35/PUU-X/2012.

Dalam paparannya Dadut menerangkan, pemetaan wilayah adat yang dilakukan berdasakan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 67 poin c dan komunitas Tumbang Bahanei sudah melakukan adanya peta wilayah adat yang dibuat. Dadut juga mengutip beberapa aturan yang mendukung keberadaan masyarakat adat antara lain, putusan MK No 35/ 2012, UU No 5 tahun 1999, Perda Kalteng No 1 tahun 2002 pasal 86 tentang usaha pemanfaatan hasil hutan dan kawasan hutan.
“AMAN Kalteng dalam melakukan pemetaan wilayah adat sesuai dengan  tata cara yang ada sesuai prosedur  dan tidak hanya membuat peta  di atas meja dan kami melakukan pemetaan sesuai dengan standar peraturan yang berlaku dalam perundang-undangan,” tegas pria beranak dua ini.

Menjelang tengah hari sebagai moderator, Dayan memberikan kesempatan untuk peserta menanggapi. Yulianson  dari DISTAMBEN Gunung Mas, menanyakan pembagian peta wilayah adat dan wilayah konservasinya dari peta yang sudah jadi. Pertanyaan ini langsung ditanggapi oleh Simpun Sampurna, terkait dengan pembagian tata ruang dimana tempat konservasi yang ditetapkan akan lebih jelas komunitas masyarakat adat Tumbang Bahanei yang menjelaskan. “kami dari pengurus AMAN hanya memfasilitasi mereka untuk membuat peta saja terkait yang lebih teknis itu diatur sendiri oleh mereka,” jelas Dadut.

Salah seorang dari komunitas Tehang juga memberikan pertanyaan kepada BLH kabupaten Gunung Mas. Budi Tarui menekankan apa saja program kerja yang ada di BLH Kabupaten Gunung Mas. Agung dari BLH kabupaten Gunung Mas menanggapi, bahwa saat ini mereka sudah melakukan sosialisasi dilapangan seperti kebakaran hutan dan pertambangan emas.

Agung juga mengakui kesulitan dan belum maksimalnya proses sosialisasi ini karena berkaitan dengan mengubah pola pikir masyarakat, ini sangat susah karena ini menyangkut pola kehidupan dari masyarakat.

Memasuki sesi kedua, usai rehat makan siang Dayan mempersilahkan nara sumber Jekli dari dinas kehutanan Gunung Mas, Abdul Rahman dari pengurus PW AMAN Kalteng, Suley Medan dari komunitas Tumbang Bahanei dan Anda Ardi dari anggota DPRD Gunung Mas.

Dinas kehutanan memaparkan, langkah strategis pengelolaan hutan dan mekanisme penetapan hutan adat pasca terbitnya putusan MK NO. 35/ PUU-X/ 2012. Suley Medan menjelaskan kronologis dari proses pembuatan peta oleh komunitas. Sedangkan, Anda Ardi menegaskan tidak perlu takut kalau ada sawit masuk karena kita sebagai tuan rumah dan berhak menerima atau menolak mereka. “Kalau kita saat ini bertanya, siapa itu masyarakat adat yaitu kita yang berada di hutan adat itu atau wilayah adat. Untuk memperkuat hutan adat ini dapat dibuat peraturan daerah,” jelas Ardi. Lain halnya dengan Abdul, ia lebih banyak mengungkapkan dasar hukum dan teknis pelayanaan pemetaan partisipatif.

Saat sesi tanggapan dibuka oleh moderator. Rini mengambil kesempatan pertama. Ia menanyakan salah satu syarat untuk diakuinya wilayah adat yaitu harus adanya perda bagaimana tanggapan dari dinas kehutanan dan DPRD Kabupaten Gunung Mas.

Pertanyaan ini langsung direspon Jekli dari Dishut Gunung Mas. Saat ini adanya ketidakjelasan tentang penerbitan dokumen yang mengusungkan hal tersebut. Sekarang terputus karena dana yang tidak ada dari kabupaten untuk mendukung itu. Ia  menyarankan agar masyarakat mengklaim wilayah-wilayah adat yang dianggap milik  masyarakat adat sebelum di alih fungsikan oleh pihak luar.

Andar Ardi dari DPRD Gunung Mas menanggapi, peningkatan status ada dibuat PERDA sesuai dengan petunjuk teknis, karena ini berkaitan landasan hukumnya sesuai dengan prosedur. Ia menegaskan jangan takut dengan adanya investor yang masuk jadi segala hal tersebut harus kita klaim dulu.

Menjelang berakhirnya lokakarya, Dayan mencatat ada 3 hal penting yaitu, pertama, secara mendasar negara mengakui dan menghormati entitas-entitas masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya. Melalui UUD 1945 dan peraturan-peraturan maupun UU turunananya yang lebih spesifik menyangkut masyarakat adat.

Kedua, Berdasarkan putusan MK No. 35/ 2012, sudah ada dasar bagi pengakuan dan perlindungan lebih dasar akan wilayah dan hak adat masyarakat. Ketiga, BLH – Dishut – DPRD – AMAN – REDD+, dalam konteks isue-isue yang terkait dengan masyarakat adat merupakan jejaring stake holders yang dapat mendorong penegasan dan penguatan bagi wilayah dan hak-hak masyarakat adat.

Di penghujung acara, Simpun Sampurna menyampaikan kata penutup. Ia berharap pemerintah kabupaten Gunung Mas untuk mendukung peta wilayah adat komunitas Tumbang Bahanei agar dapat disahkan dan diterima oleh pemerintah kabupaten Gunung Mas.

Sumber Tulisan: Notulensi kegiatan
Sumber Foto: Dokumentasi AMAN Kalteng.

Jumat, 09 Mei 2014

Hukum Adat Tumbang Bahanei

AMAN KALTENG
Dalam pendirian suatu negara ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, harus ada rakyat sebagai warga negara. Kedua, harus ada wilayah sebagai tempat kedaulatan negara. Dan ketiga, ada aturan/ pemimpin yang mengatur wilayah dan rakyat sebagai warga negara.

Tidak jauh berbeda dari acuan di atas, masyarakat adat Indonesia disyaratkan keberadaannya dengan orang, wilayah dan aturan adat yang digunakan. Sehingga komponen itu menjadi tiga dalam satu, satu dalam tiga.

Baru-baru ini di bulan April 2014 ada lokakarya berjudul “Ikei Tege”. Kegiatan yang digagas oleh komunitas Tumbang Bahanei di dukung oleh AMAN wilayah Kalteng, Sekber REDD+, BLH propinsi Kalteng dan lainnya.

Berkaitan dengan wilayah kelola masyarakat adat Tumbang Bahanei tergambar dalam peta yang telah dibuat dengan proses lebih dari 1 tahun. Dimulai sejak tahun 2012 lalu hingga tahun 2014 ini akhirnya peta yang dibuat dengan teknologi GPS ini sudah rampung.

Sisi lain adalah aturan adat dalam komunitas ini juga dalam proses penyelesaian. Menurut Irawandi yang ditemui penulis pada awal Mei 2014 lalu, proses ini berjalan panjang karena masyarakat ingin membuat secara tertulis kondisi yang nyata di kehidupan komunitas Tumbang Bahanei.

Draft peraturan Masyarakat Hukum Adat Tumbang Bahanei (MHA-TB) ini bernomor  07 Tahun 2013 tentang Aturan-Aturan Hukum Adat dalam Wilayah Adat Tumbang Bahanei. Secara isi peraturan ini memuat bab 1 yang menjelaskan ketentuan umum terkait pengertian hukum adat, masyarakat adat, lembaga adat, wilayah adat, Damang, Mantir, Penghulu Adat, hak yang melekat pada komunal/ kekeluargaan/ individu, sumber daya alam, suku, tempat berladang, bercocok tanam dan keramat.

Masih di bab 1, ada menjelaskan wilayah hutan adat yang dimiliki oleh komunal, kekerabatan dan individu. Hal lainnya juga menjelaskan arti dari perkebunan, pertanian, kebudayaan, kearifan lokal, pendidikan, hak asasi, lingkungan hidup, bahasa, agama, persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan, tempat penampungan serta menjelaskan tentang kegiatan kesenian.  Di bab 1 juga ada menjelaskan definisi dalam wilayah adat Huma, Himba Cagaran Eka Malan, Himba Gita, Pahewan, Tajahan, Himba Duyun, Lakau, Rutas dan Bukit Kules.

Sedangkan di bab 2 terdiri dari 4 ayat yang menjelaskan dasar penerapan hukum adat tata kelola wilayah adat. Pada bab 3 mengatur sangsi/ denda hukum adat bagi badan usaha dan atau investasi. Bab ini terdiri dari 3  pasal yang mengatur ijin memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei, 4 pasal mengatur jalan, pohon karet, pohon keras, pohon lunak dalam wilayah adat Tumbang Bahanei serta pengaturan tempat sakral dan lokasi yang dilindungi.

Pada bab 3 juga menegaskan aturan adat terkait pengelolaan sumber daya alam dalam wilayah adat Tumbang Bahanei yaitu emas, perak, biji besi, batu bara, batu galena, biji timah, aluminium, nikel, tembaga, kuningan, batu kecubung, kristal, batu marmer dan gas bumi.

Pada bab 4 dan 5  ada sejumlah pasal yang mengatur tentang sangsi/ denda hukum adat kepada warga di luar komunitas maupun di dalam komunitas Tumbang Bahanei, menyangkut pohon-pohon kayu dalam wilayah adat, pembukaan lahan baru dan penambangan lokal, lokasi sakral/ lokasi penting, pohon-pohon kayu, tanaman/ akar-akaran yang berfungsi sebagai obat-obatan, hewan-hewan yang dilindungi.

Dari draft dokumen tertulis Yester Dunal sebagai ketua komunitas masyarakat hukum adat, sedangkan Dunal .S. Rintung sebagai ketua bidang hukum adat. Draft hukum adat yang akan difinalkan dalam waktu dekat ini dirumuskan oleh tim perumus yaitu, Dunal Sukui Rintung sebagai Ketua Bidang Hukum Adat,     Irawandi sebagai Sekretaris Komunitas, G.Gio.I.Nanyan  sebagai Bendahara Komunitas, Suley Medan sebagai Sekretaris Lewu / Mantir Adat, Agak Janan sebagai Mantir Adat.

Anggota tim perumus lainnya adalah Sudar Janan sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif, Onoe Bidin sebagai Ketua Bidang Pengawasan dan Keamanan Hutan Wilayah, Guprin J. sebagai Ketua BPD, Hendro sebagai Ketua Bidang Pemetaan dan Tata Kelola Wilayah Adat, Bambang  sebagai Ketua Bidang Pemuda Adat dan Kaderisasi/ Anggota Jaringan, Isalman Gaman sebagai Tokoh Masyarakat Adat, Rodison Ds.Rintung sebagai Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi. Sedangkan mewakili dari anggota komunitas sebagai tim perumus adalah Kowo M.S.Rintung, Koset, Karya.M.J dan Duden.N.

Sumber foto: http://blog.umy.ac.id/septine/files/2012/05/Cover_Seri_Komik_Hukum_3.jpg