Rabu, 05 November 2014

Dua Hutan Adat Ditetapkan Masyarakat Berkomitmen Mempertahankan

JAMBI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Sarolangun, Jambi, menetapkan dua hutan seluas 332 hektar di hulu Sungai Batanghari sebagai hutan adat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat tersebut diyakini dapat mengantisipasi dampak lingkungan dari aktivitas tambang liar di sekitar desa.

Kedua hutan adat itu dikelola masyarakat Desa Panca Karya dan Temenggung, Kecamatan Limun. Desa Temenggung sangat dekat dengan lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI), hanya berjarak 1 kilometer. Bentrokan antara polisi dan petambang liar bahkan pernah terjadi setahun lalu yang mengakibatkan satu polisi dan dua warga tewas.

”Kami ingin melindungi keselamatan masyarakat lokal dari dampak tambang emas liar tak jauh dari sini,” ujar Yusuf S, pengurus Hutan Adat Desa Temenggung, Selasa (4/11).

Menurut Yusuf, PETI meresahkan masyarakat karena limbah aktivitas produksinya berupa merkuri dibuang ke sungai. Merkuri alias air raksa merupakan logam berat yang secara akumulatif dapat menyebabkan kematian serta merusak jaringan organ dan janin.

Wakil Bupati Sarolangun Fahrul Rozi berharap, penetapan hutan adat akan meningkatkan kesadaran masyarakat melestarikan hutan. Upaya itu sejalan dengan keinginan pemkab menjaga kawasan hulu sebagai kawasan lindung dan melindunginya dari aktivitas tambang liar. Penetapan hulu Sarolangun sebagai kawasan lindung bahkan telah dilakukan melalui peraturan daerah 10 tahun lalu mengingat kondisi hutannya masih baik dan berperan sebagai wilayah resapan air.

Hutan adat di Panca Karya dan Temenggung pada masa lalu merupakan satu kesatuan wilayah marga Datuk Nan Tigo dan berada dalam lanskap Taman Nasional Kerinci Seblat. Luas hutan adat di Desa Panca Karya 217,49 hektar, sedangkan di Desa Temenggung 115 hektar.
Komitmen masyarakat

Koordinator Program Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera yang menginisiasi pengelolaan hutan adat setempat, Riko Kurniawan, mengatakan, komitmen masyarakat mempertahankan hutan adat atau imbo larangan sudah sejak dahulu. Ini diwujudkan dengan surat keterangan dari sidang tengganai dan orang tuo-tuo dusun pada 1929.

”Masyarakat masih menggunakan hukum adat yang berlaku beserta larang pantang dan sanksinya,” katanya.

Di Jambi sebelumnya telah terdapat 30 hutan adat dan 33 hutan desa.

Di Maluku Utara, masyarakat adat Pagu dan suku Togutil di Kabupaten Halmahera Utara justru kehilangan hak mereka. Ini karena tanah adat masyarakat Pagu seluas 29.622 hektar dijadikan lahan eksploitasi tambang emas. Adapun warga suku Togutil kehilangan sumber penghidupan setelah hutan yang mereka garap selama ini seluas 167.300 hektar ditetapkan sebagai areal konservasi oleh Kementerian Kehutanan.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Provinsi Maluku Utara Munadi Kilkoda mengatakan itu kepadaKompas, Senin.

Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo mengatakan, pihaknya segera menyusun perda untuk mengatur tentang wilayah adat. ”Kami berkomitmen, hak masyarakat adat tidak boleh terganggu,” katanya. (ita/frn)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009896787

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar