Kamis, 17 Juli 2014

Lagi, Tumbang Bahanei Ikuti Pelatihan FPIC

“Kita harus sering belajar dan memperbanyak pengalaman kita, oleh karena itu kita hari ini coba sama-sama belajar. Walaupun ibu, bapak tidak menyadap karet, itukan sudah rugi, tidak jadi beras, tapi kalau kita berfikir panjang, kegiatan inilah yang akan menjaga beras-beras yang selanjutnya atau yang akan datang untuk anak cucu kalian nantinya.”

Itulah potongan kalimat yang terucap dari pria berambut panjang ini, saat ini menjadi fasilitator dalam pelatihan FPIC (Free, Prior And Informed Consent). Pelatihan yang dilakukan selama 2 hari ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tumbang Bahanei, Gunung Mas.

Alfianus Genesius Rinting, adalah deputi umum Simpun Sampurna, ketua BPH AMAN Wilayah Kalteng. Rinting tidak sendiri ia di temani Yohanes Taka dan Yuni yang memandu pelatihan dari tanggal 10-11 Juli 2014. Di hari pertama, tepat pukul 10 pagi Rinting memandu membuka acara yang dihadiri sekitar 40 peserta dari komunitas adat Tumbang Bahanei.

Secara resmi pelatihan dibuka oleh ketua BPD, Yaster Dunal. Ia menyampaikan masih banyaknya tantangan, terutama dengan investor yang mau masuk.”Saya berharap nantinya untuk kita semua disini agar bisa serius mengikuti pelatihan FPIC ini dengan sama-sama belajar,” harapnya.

Usai dibuka secara resmi, Rinting menyampaikan gambaran singkat proses selama 2 hari pelatihan. Beberapa materi akan dibahas bersama menggunakan metode, paparan, diskusi kelompok dan bermain peran. Materi pertama tentang Analisa Sosial Tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim. Sedangkan materi kedua tentang UNDRIP dan FPIC, dilanjutkan tentang Negosiasi dan Lobby.

Yohanes di beri kesempatan pertama untuk menyampaikan materi Analisa Sosial tentang Masyarakat Adat Dalam Isu Perubahan Iklim pukul 11.28 siang hingga sore harinya. Selanjutnya Yuni memberikan informasi terkait FPIC (Free, Prior  and Informed Consent) atau persetujuan bebas tanpa paksaan.

Metode tanya jawab di lakukan oleh Yuni, ia mengajak peserta menjawab apa itu FPIC. Salah seorang peserta, Suley Medan menjawab bahwa FPIC adalah kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa paksaan. Sedangkan peserta yang lain, Bambang mengatakan FPIC adalah adanya kesepakatan. Peserta yang lain memberi contoh terkait FPIC, andai kata ada suatu kegiatan, ketika kita hadir atau tidak hadir itu tidak masalah, jelasnya.

“FPIC adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk memutuskan iya atau tidak terhadap pembangunan yang diusulkan diatas tanah masyarakat adat,” jelas Yuni, tanpa mengurangi jawaban dari peserta. Ia menekankan bahwa FPIC adalah landasan/ Basis FPIC untuk Masyarakat Adat. Selain landasan, ini juga menjadi salah satu implementasi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination); hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya.

Bahkan, FPIC menjelaskan hubungan MA dengan entitas/ kelompok lain yang tertarik memanfaatkan, mengelola dan membangun sumberdaya masyarakat adat, meneguhkan keutuhan wilayah masyarakat adat dan berfungsi sebagai satu mekanisme bagi masyarakat adat untuk melaksanakan pengambilan keputusan sendiri; dan menentukan syarat serta kondisi kemitraan dengan pihak lain.

Dikaitkan dengan UNDRIP ada beberapa pasal yang berhubungan dengan FPIC yaitu, pasal 10: hak atas tanah dan wilayah, pasal 11 ayat 2 : hak atas budaya dan agama, pasal 19: pemerintahan sendiri dan penyusunan undang-undang  dan kebijakan yang berdampak terhadap masyarakat adat, pasal 28 ayat 1: hak atas tanah dan “redress”, pasal 29 ayat 2 : hak atas wilayah dan pasal 32 ayat 2 : hak atas tanah dan sumberdaya.

Yuni juga menjelaskan FPIC, adalah singkatan dari empat buah kata, yaitu, Free = bebas; Prior = Didahulukan; Informed = Diinformasikan dan Consent = Persetujuan. Selain UUD 1945 sebagai hukum nasional pengakuan hak masyarakat adat, juga ada di UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak asasi manusia yang mengakui hak-hak perorangan dan hak-hak kolektif masyarakat adat. Juga di UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjamin dan mengakui kewenangan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul atau adat–istiadat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Pengalaman dari daerah yang masyarakat adatnya menerapkan FPIC di lakukan di Lewolema, Flores Timur berkaitan dengan konflik hutan lindung dan pembentukan forum multipihak serta PERDA PHBM. Daerah lainnya yaitu di Kuntu, Riau yang menyelesaikan Konflik HTI. Di Kalimantan sendiri khususnya di Lusan, Kalimantan Timur, yang menyelesaikan konflik HPH dan berhasil membangun negosiasi dengan perusahaan.

Ada 2 hal mendasar mengapa mengapa FPIC begitu penting. Pertama,  biasanya skema pembangunan dipaksakan kepada masyarakat adat tanpa konsultasi, partisipasi atau perundingan – tanpa penghormatan terhadap hak-hak mereka. Mereka bisa saja secara paksa dipindahkan,atau dipaksa meninggalkan tanah – tanah mereka  dan dilatih kembali untuk melayani kebutuhan masyarakat nasional, tetapi tidak untuk memenuhi kebutuhan utama mereka sendiri.

Kedua, FPIC menyetarakan hubungan antara komunitas dan pihak luar, karena ini bermakna menghargai hak-hak komunitas masyarakat adat atas wilayah-wilayah mereka dan untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan di atasnya. Artinya bahwa pembangunan hanya dapat dilanjutkan ketika masyarakat adat telah menerima kegiatan yang bermanfaat untuk mereka dan jika menurut mereka pembangunan itu membahayakan mereka dapat menolak.

Di malam harinya, dari pukul 8 hingga 9 malam, Rinting mengajak peserta untuk berdiskusi dan memberikan contoh dalam cerita sederhana yang menggambarkan penerapan FPIC bagi komunitas masyarakat adat Tumbang Bahanei nantinya.

Hari kedua, Jumat (11/7) tepat pukul 9 pagi Yohanes memandu peserta untuk mereview kembali pembelajaran yang didapatkan hari pertama. Usai mendengarkan review, Yohanes melanjutkan materi yang bekaitan dengan Informed. Di materi ini Yohanes menekankan bahwa ada 13 UU yang mengatur mengenai keberadaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

Ada UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria; UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM; UU No. 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan; UU No. 21 tahun 2001 Sistem Pendidikan Nasional; UU NO. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air; UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Dan Pulau-Pulau Kecil; UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan; UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Di materi ini juga Rinting menambahkan informasi terkait AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Ada 4 hal mengapa AMDAL itu penting, yaitu sebagai strategi pembangunan berkelanjutan tentang sosial progres kebutuhan setiap orang, secara efektif mampu melindungi lingkungan, penggunaan SDA yang bijaksana dan mempertahankan tingkat stabilitas pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja.

Di hari kedua ini juga peserta di ajak untuk bermain peran (role play) berkaitan pada materi inform, consent, negosiasi dan lobby. Peserta di bagi menjadi 3 kelompok dengan peran yang telah diatur oleh fasilitator.

Dalam penyusunan rencana tindak lanjut yang dilakukan pada malam harinya, Rinting memandu dan memberikan penekanan pada beberapa hal. Salah satunya adalah kesiapan komunitas untuk melengkapi informasi-informasi yang terkait pemetaan yang telah dilakukan. Kepala Desa, Gio. I. Nanyan acara secara resmi.

Sumber: Notulensi kegiatan; sumber foto: dokumentasi AMAN Kalteng.
***



AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar