Tampilkan postingan dengan label Cerita Dari Kampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Dari Kampung. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Mei 2014

Lokakarya Propinsi “Ikei Tege ...!”

AMAN KALTENG
“Slogan No Rights No Redd itu sangat baik dan berarti sama-sama diakui. Sisi lain, bukan hanya secara lisan sehingga SKTA itu penting dan dapat dijadikan bukti. Damang Kepala Adat diberikan kewenangan untuk menandatangani SKTA tersebut,” demikian cuplikan sambutan yang disampaikan oleh Siun Jarias atas nama Gubernur Kalteng, saat disampaikan pada Lokakarya  “Ikei  Tege  ...!”  Peta  Wilayah  Adat  Tumbang  Bahanei  dan  Pengakuannya; Implementasi  Keputusan  Mk  35/PU–X/2012.

Acara pada Rabu (23/4) lalu berlangsung dari pukul 8.30 pagi hingga 16.45 sore di aula hotel Batu Suli Internasional Palangka Raya.  Tidak kurang dari 50 orang nampak hadir dari berbagai perwakilan. Akademisi, budayawan, tokoh adat, tokoh masyarakat, instansi terkait, mahasiswa, NGO dan organisasi masyarakat lainnya dan tentu saja komunitas Adat Tumbang Bahanei yang telah hadir di hari sebelumnya.

Lokakarya ini juga sebagai momen yang penting untuk menyampaikan peta yang sudah dibuat oleh Masyarakat Adat Tumbang Bahanei ke pihak pemerintah. Tampak hadir sebagai pembicara adalah dari Pemerintah Propinsi Kalteng, staf ahli di DPRD Pemprop Kalteng, Komda REDD+, PB AMAN, Dinas Kehutanan Kalteng, Masyarakat Adat Tumbang Bahanei dan BLH propinsi Kalteng.

Yohanes Taka sebagai moderator membagi menjadi 2 sesi paparan oleh nara sumber. Pada sesi pertama kesempatan diberikan kepada Siun Jarias, Sekda pemerintah propinsi Kalteng, Margo T. Binti, staf ahli di DPRD pemprov Kalteng,Mursyd dari Komda Redd+ dan Mahir Takaka dar PB AMAN.

Dalam sesi tanya jawab, Bama dari JPIC mengajukan pertanyaan ke Mahir terkait apakah ada bantuan hukum jika MA mengalami kendala hukum. Mahir menjawab bahwa saat ini di PB AMAN ada kumpulan pengacara yang mengurus kasus ada 600 kasus yang masuk dan memprioritaskan (baca wajib dan harus) anggota AMAN, kalau di luar anggota itu hanya solidaritas.

Kesimpulan sesi pertama ini di catat moderator sebagai berikut, program REDD+ akan membantu dan terbuka untuk masyarakat adat dapat meminta bantuan ungkap Mursyd selaku ketua Komda REDD+, sedangkan Margo T. Binti mendorong agar dibuatnya perda Masyarakat Adat (MA) dan perlu dibukukan kembali hukum adat yang ada di komunitas karena sangat penting. Namun, yang paling penting menurut Mahir adalah eksistesi MA harus saling bantu membantu setelah sekarang sudah hampir hilang selama 70 tahun ini.

Sedangkan sesi kedua paparan di sampaikan oleh Tri Suswanto dari Dishut Kalteng, Suley Medan dari komunitas Tumbang Bahanei dan Esau Tambang dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) propinsi Kalteng.

Sesi kedua yang di lakukan setelah makan siang tepat dilanjutkan pukul 13.35  siang tetap berjalan secara dinamis, masing-masing pembicara menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh peserta lokakarya.

Tanggapan diberikan usai nara sumber menyampaikan paparannya. Salah satunya adalah KMA Usop yang mengusulkan harmonisasi hukum supaya memiliki legalitas kuat. “Di keputusan MK ini berdasarkan dari revisi kehutanan No.41; dalam Perda harus dibuat harmonisasi. Ini menyangkut bagaimana ikei tege itu bentuknya bagaimana, misalnya pahewan di sebut dan lain-lain, jadi Perda ini diserap dalam hukum adat,” jelasnya.

Usop melanjutkan, ada pengalaman saat ia menjabat rektor yang hasilnya ada perkebunan menetap di 5 hektar, itu bagian dari harmonisasi hukum juga, sehingga kearifan lokal masuk dalam hukum positif.

Salah seorang budayawan, J.J Kusni mengungkapkan persetujuannya terkait peta wilayah adat, sesuai yang disampaikan Mahir Takaka. “Kami sudah menyiapkan alat pemetaan dengan Intitute Dayakologi (ID) dan ini dilakukan setelah hampir 10 tahun lebih. Saya melihat semangat di Tumbang Bahanei ini hebat dan patut diberikan kesempatan. Saya setuju di sahkan sendiri oleh komunitas dan menunjukkan mana yang adu kekuatan dengan negara,” terang Kusni.

Dalam sesi kedua ini Yohanes mencatat ungkapan bahwa MA bukan ada dan tiada tapi masih amnesia dan Tumbang Bahenei berani membuktikan bahwa mereka bisa. Dengan 3 catatan penting ia menegaskan itu, yaitu:  Bagaimana Pemprop mengakui Wilayah Adat (WA) yang sudah dipetakan oleh komunitas Tumbang Bahanei. Harus ada sinkronisasi/ harmonisasi hukum yang bisa mengakomodir kondisi yang ada dan semua sebagai pemerhati MA dapat mengembalikan kearifan lokal yang ada secara bersama-sama.

Dalam sambutan penutupnya Simpun Sampurna berharap, mudah-mudahanan dari hal yang baru ini dapat dilanjutkan dan menjadi terobosan baru bagi kita. Dari badan-badan yang membidangi hutan dan terkait dengan pemetaan. Ia mempersilahkan pihak terkait dapat meminta data di kantor AMAN Kalteng.

“Ke depan dapat tetap dilanjutkan dengan komunitas yang lain, sehingga memunculkan peta yang lain,” tutup Simpun.

Sumber foto: Dokumen Aman Kalteng.

Informasi terkait: http://kaltengpos.web.id/berita/detail/6204/600-desa-miliki-hutan-adat.html

Minggu, 06 April 2014

Pelatihan PPWA di Komunitas Bundar

AMAN KALTENG
Hari Pertama
Danau Bundar menjadi tempat melepaskan rasa lelah di antara waktu Pelatihan Pemetaan Wilayah Adat  (PPWA). Airnya yang teduh dan menyediakan protein ikan bagi komunitas warga yang gemar makan ikan. Setidaknya itulah satu ungkapan fasilitator pelatihan kepada penulis.

Pelatihan yang dilakukan oleh PD Barito Selatan dilaksanakan dari tanggal 26 – 31 Maret 2014 di balai adat. Pembukaan yang dilakukan pada pukul 5.20 sore di mulai dengan sambutan yang disampaikan oleh ketua komunitas, Yosep Brostito.

Dalam sambutannya, Yosep menyampaikan bahwa ada 14 perwakilan komunitas yang mengikuti pelatihan. “Kami sangat berterimakasih atas perhatian dan dukungan dari beberapa pihak dan atas dukungan dari PD dan PW,” jelasnya

Usai sambutan dari Yosep acara dilanjutkan dengan ritual singkat untuk meminta izin kepada leluhur kita agar proses kegiatan dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan. Mantir sekaligus mewakili Kepala Desa membuka kegiatan dengan resmi.

Sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan Agus Irwanto, ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah (AMANDA) Barsel mengatakan kegiatan ini merupakan salah satu langkah dari kegiatan Percepatan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat oleh AMAN yang bertujuan mengetahui bagaimana proses dari Pemetaan Partisipatif versi AMAN ini dan juga agar kita dapat mengetahui dan memahami tentang PPWA ini.

“Harapan saya dari 14 perwakilan komunitas dan Bundar dapat memahami dan mengimplementasikan bagi kampungnya masing-masing sesuai yang kita harapkan,” kata Agus.

Tepat pukul 6.20 sore penjelasan dan penguatan semangat juang Masyarakat Adat di paparkan oleh A.G Rinting, deputy umum PW AMAN Kalteng. Setelah perkenalan ke-30 peserta pelatihan acara Rinting menyepakati hal-hal teknis pelatihan yaitu kesepakatan waktu dan kontrak belajar.

Hari Kedua
Jarum jam masih menunjukkan pukul 07.37 pagi. Teori Gunung Es disampaikan oleh A.G Rinting pada Kamis, 27 Maret 2014 di materi pertama, analisa sosial. Paparan ini direspon positif peserta. Siaga A. Katatang  menanyakan, bagaimana hubungan untuk membuat aturan-aturan mengangkat yang di bawah itu kembali ke atas sehingga ada keseimbangan.

Respon semakin menarik ketika Rinting mengajak peserta berdiskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi  kelompok sosial, politik, ekonomi dan budaya. Terungkap bahwa dari sisi sosial  kondisi sosial sekarang rusak, masyarakat tidak percaya lagi dengan kepemimpinan, keegoisan dan masyarakat ingin hidup yang praktis.

Dari sisi politik terungkap bahwa masyarakat sering dijanjikan sesuatu yang besar, namun pada akhirnya tidak pernah ditepati oleh pemerintah serta dominannya politik uang. Sedangkan dari sisi ekonomi ekonomi banyak masyarakat yang miskin dan krisis, kesulitan  membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Keadaan ini diperparah dengan terjadinya diskriminatif dari pemerintah. Tekanan dari pemerintah maupun investor yang hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri tanpa begitu mempedulikan kepentingan masyarakat.

Hal lainnya, penghasilan masyarakat hanya tergantung satu sumber saja, kurangnya pendidikan dan ketidakmampuan masyarakat bersaing dengan pihak lain karena kebiasaan masyarakat memperoleh penghasilan dari SDA dan jika masyarakat tidak mampu bersaing dengan pihak lain untuk itu maka kita akan tertinggal.

Dari sisi budaya semakin hilangnya budaya gotong-royong karena sekarang masyarakat senangnya hidup praktis. Tidak diminatinya kesenian daerah dan budaya politik uang semakin dominan.

Sebelum tengah hari, yaitu pukul 10.30 siang Rinting memandu curah pendapat terkait kondisi aktual di komunitas Bundar. Salah satunya adalah ‘penyakit’ apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat dan obatnyapun harus tepat. Materi selanjunya tetap difasilitasi oleh Rinting yang memandu pengenalan organisasi AMAN.

Kades Bundar, menanggapi dan mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Permohonan maaf tidak bisa hadir karena ada undangan Camat dan Polsek Pendang.”Kami mendukung dan mempersilahkan untuk kegiatan ini tetap berlanjut agar kita Masyarakat Adat ini dapat semakin memahami dan mengerti tentang perjuangan, karena memang perjuangan ini tidak mudah untuk bisa di raih,” kata Eduard.

Pada pukul 2 siang Kesyadi Antang menyampaikan pengenalan sayap AMAN yaitu Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN). Penjelasan latar belakang pendirian BPAN di tanggapi seorang peserta pelatihan. Egah Yanto  menanyakan apakah desa-desa terutama desa-desa yang ikut pelatihan ini ada yang  mau dibentuk BPAN di kampungnya, jika mau bagaimana cara pembentukannya?. Apakah ada buku pedoman tentang BPAN agar sebagai pedoman dan pembelajarannya?.

Kesyadi menanggapi, tidak ada aturan yang baku jika akan membentuk organisasi BPAN di komunitas. Cukup mengisi formulir Pengajuan dan Pembuatan SK oleh BPAN daerah tersebut. “Untuk buku pedoman ada, hanya saja masih ada di Palangka Raya dan belum sempat saya bawa kesini,” jelas Kesyadi.

Peserta yang lain, Erik menanyakan apa tugas dan pekerjaan dari Pemuda Adat. Kesyadi menjelaskan ada 5 point penting pekerjaan dari BPAN yaitu penguatan organisasi, pengembangan ekonomi kreatif, penguatan partisipasi perempuan, mengembalikan kepercayaan diri terhadap budaya asli  dan peningkatan kapasitas anggota BPAN Kalimantan Tengah.

Dalam kesempatan pelatihan ini juga Kesyadi merekomendasikan pemuda mencatat atau membuat buku tentang sejarah kampung di kampungnya masing-masing dan pemuda melakukan pendataan hutan-hutan adat yang ada disekitar kampungnya masing-masing.

Dari pengenalan sayap AMAN yang lain yaitu  Persatuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) di sampaikan oleh Ekatni Etan Dana. Paparan ini tepat di sampaikan pukul 3.30 sore. Ekatni menyampaikan latar belakang terbentuknya PEREMPUAN AMAN, peran Perempuan Adat dulu dan sekarang serta dampak perubahan iklim bagi Perempuan Adat

Hari Ketiga
Jumat, 28 Maret 2014 pukul 7.35 pagi acara langsung difasilitasi oleh Rinting dengan menyampaikan putusan MK dan pengukuhan kawasan hutan. Kemudian dilanjutkan dengan paparan dasar hukum pemetaan wilayah adat.

Terkait teknis pemetaan pada pukul 9 pagi Arbani, Untung dan Pebriandi memfasilitasi peserta dan mengenalkan teori tentang alat kompas dan alat ukur yang berisi penjelasan tentang penggunaan kompas dan alat ukur berupa meteran serta penjelasan tentang skala peta.

Setelah mendapatkan teori oleh fasiltator, peserta di bagi menjadi 3 kelompok untuk praktek. Kelompok I praktek menggunakan Kompas dan Alat Ukur membuat peta SD Negeri 1 Bundar. Kelompok II praktek menggunakan Kompas dan Alat Ukur membuat peta Pasar Bundar. Kelompok III praktek menggunakan Kompas dan Alat Ukur membuat peta Lapangan Sepak Bola Bundar.

Masuk pukul 1 siang dilanjutkan proses menggambar peta dari  data kompas dan alat ukur hasil lapangan ke dalam kertas milimeter block oleh masing-masing kelompok. Hingga malam harinya pada pukul 7,  presentasi peta yang telah digambar dalam kertas milimeter block.

Hari Keempat
Sebelum penjelasan penggunan alat GPS pada hari keempat Sabtu, 29 Maret 2014 peserta di berikan wawasan terkait kerjasama AMAN dengan pihak lain yang mendukung kerja-kerja AMAN.

Pukul 7.30 pagi, Mathius Hosang dari  Badan Lingkungan Hidup propinsi Kalteng memberikan sambutan dan penjelasan tentang Lingkungan Hidup. Dilanjutkan sambutan dan penjelasan tentang pemetaan wilayah adat, MoU AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan Simpun Sampurna , Ketua AMANWIL Kalteng.

Pebriandi mengajak peserta untuk mengenal alat GPS Garmin 62s tepat pukul 9.25 pagi. Penjelasan meliputi penggunaan alat GPS, meliputi skala, format posisi, koordinat dan lainnya. Puas mendengarkan teori, fasilitator mengajak peserta praktek menggunakan alat pada pukul 1 siang.

Pebriandi dibantu oleh Arbani dan Untung untuk mendampingi 3 kelompok  dalam menjalankan GPS secara tepat.  Kelompok I didampingi Arbani, kelompok II didampingi Untung dan kelompok III didampingi Pebriandi.

Masuk pada sore harinya pukul 6.30 hasil dari GPS dituangkan dalam proses menggambar peta ke dalam kertas milimeter block oleh masing-masing kelompok.

Hari Kelima
Setelah pembuatan peta pada hari Minggu, 30 Maret 2014 ke-3 kelompok diberikan kesempatan untuk memaparkan peta yang telah digambar dalam kertas Milimeter Block. Acara ini tepat dimulai pukul 7.35 pagi.Usai presentasi masing-masing kelompok Agus Irwanto memandu untuk proses Rencana Tindak Lanjut (RTL).

Sebagai acuan pertanyaan yang diajukan adalah Apa yang saya lakukan setelah saya pulang pelatihan ini untuk Komunitas Saya? Dan bisakah saya melakukan kegiatan seperti yang saya lakukan dibundar ini di komunitas saya?

Menanggapi pertanyaan dimaksud, Kayan. D dari Danau Masura akan melakukan kegiatan serupa di komunitasnya, namun terkendala peralatan yang tidak ada. Agus Irwanto memberikan respon dan menegaskan bahwa yang pertama bentuk terlebih dahulu komunitas di kampungnya dengan cara, melakukan musyawarah kampung dulu, lalu membuat berita acara musyawarah tersebut beserta daftar hadir musyawarah tersebut dan mengisi form pendaftaran komunitas yang selanjutnya diajukan ke pihak PD. Agar mendapat dukungan pemetaan oleh AMAN, dalam dukungan itu juga termasuk dukungan peralatan pemetaan.

Terkait dana untuk pelaksanaan kegiatn serupa, Epriadi menanyakan apakah harus membayar teman-teman AMAN dan menyewa alat untuk melakukan pemetaan partisipatif. Pertanyaan ini dijawab Agus Irwanto bahwa dari PD siap untuk turun ke lapangan mendampingi kegiatan pemetaan sekaligus dengan peralatannya tanpa bayaran oleh komunitas.

Di akhir RTL Sartono dan Epriadi menekankan harus dibuatnya laporan hasil pelatihan ke masing-masing kepala desa yang mengutus peserta. Supaya dapat menjadi tambahan dalam pelaporan mereka juga meminta ada buku dasar-dasar hukum untuk pemetaan wilayah adat.

Masyarakat adat yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Apriansyah (Komunitas Kalahien Parigi); Saripudin (Komunitas Murupaken); Wahyu Susanto (Komunitas Taliu); Egah Yanto (Pengurus Komunitas Maruga); Esem (Komunitas Sampudau); Bambang Irawan (Komunitas Tampijak); Epriadi (Komunitas Madara); Melodi Hokman (anggota DAD Sungai Jaya); Sartono (Damang Karau Kuala); Muldi A. R (Komunitas Muara Ripung); Kayan D (Komunitas Danau Masura); Arbani (Komunitas Batilap); Pa Rijal (Komunitas Muara Kuning, Teluk Timbau) dan Erik (Komunitas Batilap).

Nama berikutnya, Ekatni (Koordinator PEREMPUAN AMAN Barsel); Raina M (Bendahara PEREMPUAN AMAN Barsel/ Komunitas Sanggu); Ruseta (Komunitas Bundar); Antoniata as. Andreas (Komunitas Bundar); Yosep Brostito (Ketua Komunitas Bundar); Siaga A. Katatang (Komunitas Maruga); Arop Dayano (Ketua BPAN Daerah Kab.Barsel); Ibu Adi (Komunitas Bundar); Kesyadi Anthang (Ketua BPAN Wil.Kalteng); A. G Rinting (Deputi Umum AMANWIL Kalteng); Agus Irwanto (Ketua AMANDA Barsel); Ferdi Kurnianto (Biro Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi AMANWIL Kalteng) dan Rano (Komunitas Wungkur Baru).

Sumber foto: dokumen AMAN Kalteng

Kamis, 27 Maret 2014

Pengesahan Peta WA Tumbang Bahanei

AMAN KALTENG
Tidak kurang dari 25 orang hadir dan terlibat dalam acara Lokakarya Pengesahan Peta Wilayah Adat Tumbang Bahanei di Tingkat Komunitas. Acara yang berlangsung selama ½ hari ini dimulai pada pukul 11.25 siang hingga sore harinya pada (23/3) lalu.

Nindit sebagai pembawa acara memulai dengan membacakan susunan acara. Mantir adat di minta memimpin doa pembukaan. Dalam sambutan yang disampaikan oleh Georgio E. Nanyan, Kades Tumbang Bahanei terungkap bahwa ada banyak tantangan yang dihadapi selama 2 tahun pembuatan peta partisipatif wilayah adat, baik anggapan negatif dari beberapa pihak tentang pemetaan ini, namun akhirnya dapat berhasil dijalani.  “Dengan komitmen kami bagaimana caranya kami dapat membebaskan tanah air kami dari Hutan Negara,” jelas Kades.

Dari sudut pandang mantir adat, sambutan disampaikan oleh Agak Janan. Ia menekankan bahwa dari proses lokakarya yang singkat ini di dahului proses yang panjang dan pendanaannya melalui pengumpulan dana partisipatif dari komunitas Tumbang Bahanei.

Mantir juga mengucapkan terima kasih atas kedatangan pengurus desa tetangga yang berbatasan dengan Tumbang Bahanei. “Kami bersyukur atas restu dari Tuhan Yang Maha Kuasa hingga kami dapat melalui segala halangan dan kendala selama pembuatan peta wilayah adat kemarin hingga akhirnya dapat selesai pada saat ini sekaligus tadi malam kami telah menyelesaikan hukum adat kami,” jelas mantir.

Selanjutnya, Yester Dunal sebagai Ketua Komunitas Tumbang Bahanei dalam sambutannya mengajak desa-desa tetangga untuk bersama-sama membuat peta wilayah adat kita agar kita dapat menjaga tanah air hutan kita agar dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak.

Sebagai upaya untuk menjelaskan keterkaitan peta yang sudah dibuat dengan alih fungsi hutan, Migo dari Badan Pelaksanan REDD+ mengatakan bahwa REDD+ sebenarnya adalah kesepakatan internasional untuk mengurang kecenderungan untuk alih fungsi hutan dan pengurangan hutan.

“Kepentingan dari REDD+ di  Indonesia diterima sebagai kegiatan yang bersikap nasional dan sampai tahun 2020 diharapkan berkurannya pengrusakan hutan atau pengurangan emisi. REDD+ sudah ada kedudukan di pemerintah dan setara kedudukannya dengan menteri dan baru dibentuk dan kedudukannya di Jakarta,” jelas Migo

Ia melanjutkan untuk Kalteng ditunjuk sebagai lokasi percontohan REDD+ salah satunya adalah kabupaten Gunung Mas satu dari 7 kabupaten yang turut menandatangani MoU dari REDD+. Kegiatan REDD+ di Kalteng telah mulai dari 2011 namun di lakukan di wilayah gambut.

“Saya mengucapkan terima kasih atas AMAN untuk komitmen sampai saat ini secara penuh melakukan kegiatan pemetaan ini dan perlu saya perjelas disini bahwa AMAN adalah satu-satunya organisasi yang sepenuhnya mengurus hak-hak masyarakat adat di Indonesia ini,” tegas Migo.

Dari badan dunia, PBB juga ikut terlibat dalam kegiatan lokakarya ini. Sherry Panggabean sebagai pelaksana dari UNORCID mengatakan terkesan sekali atas sambutan secara adat Dayak, Manetek Pantan kepada mereka. Ia menjelaskan bahwa UNORCID yaitu badan PBB yang dibentuk untuk mendukung komitmen presiden Indonesia untuk perbaikan lingkungan dan hutan di Indonesia.

“Banyak kami dengar bahwa Tumbang Bahanei adalah satu-satunya desa pertama di Indonesia yang melakukan pemetaan secara partisipatif menggunakan dana sendiri tanpa ada bantuan dari pihak manapun dan itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Ada perubahan status yang diakui secara hukum, diharapkan dari adanya peta akan ada kesadaran dari komunitas untuk memiliki dan menjaga wilayah dan hutannya dengan baik, hak Masyarakat Adat dapat diakui, dihormati, dapat pembagian hasil secara rata dari kegiatan REDD+ ini,” terang Sherry.

Sambutan Simpun Sampurna sebagai ketua AMAN wilayah Kalteng di bacakan oleh A.G Rinting, selaku deputi umum. Dalam sambutannya Dadut panggilan sehari-harinya mengajak masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN untuk mengetahui putusan MK 35 yang berdampak diseluruh kehidupan. Selanjutnya, mendesak pemerintahan RI segera sahkan RUU PPHMA menjadi Undang-Undang dan mendukung petisi untuk MK 35. Ia menegaskan bahwa ini adalah sejarah baru dalam kehidupan Masyarakat Adat.

Sebelum membuka acara secara resmi, Landerson, Lurah Tehang mengungkapkan kebanggaannya bahwa untuk komunitas Tumbang Bahanei karena menjadi desa yang pertama di tingkat propinsi dan nasional atas pemetaan ini. “Kami mengharapkan pengajarannya dari komunitas Tumbang Bahanei agar bisa mengajarkan tentang pemetaan ini untuk komunitas Tehang,” harap Lurah.

Lebih jauh ia mengatakan adanya dukungan dari damang, mantir dan lainnya karena berbau tentang adat dan dari pemerintahan hanya sebagai mitra MA untuk selalu mendukung dan terlibat dalam kegiatan pemetaan ini. AMAN beberapa kali disosialisasikan untuk mempertahankan hukum dan hak adat kita di tingkat nasional dan ini sangat baik, kabupaten Gunung Mas sangat mendukung.

“Saya membuka sesuai kapasitas saya sebagai Lurah dan bukan mengurangi diri pemerintahan Gunung Mas, dan membuka kegiatan lokakarya pengesahan peta wilayah  adat Tumbang Bahanei ini atas seizin Tuhan Yang Maha Kuasa pada saat ini Minggu tanggal 23 Maret 2014 lokakararya pengesahan peta wilayah adat ini dengan resmi saya buka,” tegas Lurah. Acara pembukaan ditandai dengan ketukan meja 3 kali

Usai acara pembukaan dilanjutkan presentasi singkat terkait Hukum adat, Perangkat adat, Peraturan kegiatan kehidupan diatur oleh hukum adat dan Wilayah adat yang disampaikan oleh Rinting.

Dalam diskusi dilakukan usai presentasi terungkap dari Suley Medan bahwa ada pemahaman baru semenjak ia mengikuti konggres AMAN di Tobelo yaitu membuat satu catatan saat itu yaitu “kalau negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara”.

Suley menceritakan, sejak saat itu ia mengetahui dan tersadar untuk dapat memetakan wilayah adat. Awalnya untuk pemetaan di PB AMAN Bahanei berada di urutan 41, namun setelah konsultasi dengan PW AMAN dan direkomendasikan untuk melakukan pemetaan dengan pendanaan partisipatif dari komunitas. Kami mulai untuk membentuk kepengurusan aman di tingkat komunitas.

Pada tanggal 29 Desember 2012 kami akan mengadaan sosialisasi pemetaan dan diharapkan mengundang 5 desa, dan mohon maaf karena saat itu kami tidak sempat memberikan undangan untuk desa Tehang. Dan pada tgl 16 Mei 2013 kami melakukan pelatihan pembutan pemetaan dengan menggunakan alat GPS, kompas dan lain-lain dilakukan selama 7 hari. Dan kami dapatkan 2 insinyur yaitu Bambang dan Hendro dari komunitas Bahanei dari pelatihan tersebut untuk pemetaan peta.

Pengambilan titik koordinat peta luar kami lakukan selama 14 hari dan kami menginap di hutan. Setelah penitikan selesai, kami menggambarkan koordinat tersebut secara manual pada kertas diameter blok dan juga meminta tanda tangan kesepakatan tata batas dari desa tetangga. Selanjutnya yaitu penjelasan tentang tata ruang yang ada di peta. Kami dari Bahanei siap untuk membantu komunitas lain untuk melatih dan membantu pembuatan pea wilayah adatnya jika ada undangan dan pemberitahuan dari komunitas tersebut  kepada kami.

Setelah cukup panjang bercerita, Suley juga menjelaskan ke peserta lokakarya teknis memulai pemetaan partisipatif terkait jumlah petugas di lapangan. Ia juga mengatakan komunitas Bahanei akan memperbaiki kekurangan dari peta yang sudah dibuat bersama komunitas yang bertetangga.

Diakhir kegiatan ditanda tangani berita acara lokakarya sekaligus pada lembar peta yang sudah dibuat. Peserta yang terpantau mengikuti kegiatan ini adalah A. G. Rinting, Ferdi, Dayan, Restu, Iwan, Emanuel Migu dari BP REDD+, Sherry Panggabean dari PBB/ UNORCID.

Juga hadir Landerson, Lurah Tehang; Drs, Budi Tarui, Ketua Komunitas; Mido S. Member, Mantir Adat Tehang; Gandi, Dewan AMAN Manuhing; Mariambung, Staff Pengurus harian AMAN Gumas; Linang, PEREMPUAN AMAN Tehang; Udek, BPAN Tehang; Georgio E. Nanyan, Kades Bahanei; Sumardi, Guru SD Bahanei; Suley Medan, Sekdes Bahanei; Agak Janan, Mantir Adat; Busung, Staf Ahli PD Gumas; Rodison, Sekretaris Dewan AMAN Gumas dan Yester Dunal, Ketua Komunitas Tumbang Bahanei.

Sumber tulisan: Notulensi kegiatan
Sumber foto: dokumen AMAN Kalteng

Sabtu, 08 Maret 2014

Pengrajin Miniatur Rumah Betang

AMAN KALTENG
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ‘Miniatur’ mengandung arti tiruan sesuatu yang kecil; lukisan dan sebagainya (bentuk) tiruan yang berukuran lebih kecil dapat ditiru; lukisan dan sebagainya yang bagus dibentuk kecil.

Sedangkan arti dari ‘Betang’ menurut KBBI adalah rumah panjang khas suku Dayak yang digunakan sebagai tempat pertemuan damai. Jadi jika digabungkan kedua kata tersebut adalah rumah panjang yang dibuat dalam ukuran lebih kecil.

Menurut Marinus karya seni ini dibuat oleh masyarakat adat yang ada di komunitas adat Dayu. “Menariknya bahan-bahan yang dibutuhkan adalah limbah kayu yang dibentuk kembali sehingga menjadi miniatur rumah Betang,” jelasnya.

Mardiana salah satu penggiat AMAN wilayah Barito Timur  menambahkan bahwa dalam 1 set penjualan miniatur ini berkisar 1-3 juta dan dapat dipesan ke pembuatnya langsung yaitu Joni Nainggolan yang ada di komunitas adat Dayu.

“Silahkan hubungi nomor kontaknya di 085247026064, harga di atas tergantung besar kecil dari miniatur yang akan dipesan,” jelas Mardiana. Ini adalah salah satu jalan untuk memperkuat pilar kemandirian komunitas masyarakat adat secara ekonomi, jika ada yang berminat silahkan hubungi nomor kontak di atas.

Sumber foto: dokumen AMAN Wilayah Barito Timur.

Jumat, 21 Februari 2014

MA Tumbang Bahanei Lakukan Penyusunan Konsep BS

AMAN KALTENG
Bertempat di aula hotel Aman Palangka Raya, komunitas Masyarakat Adat (MA) Tumbang Bahanei berkumpul dan melakukan penyusunan konsep Benefit Sharing (BS). Kegiatan yang dilakukan selama ½ hari difasilitasi oleh Steni dari badan REDD+ pada 18 Februari 2014.

Secara partisipatif Steni mengajak masyarakat adat Tumbang Bahanei untuk memahami konsep dari benefit sharing. Dimulai dari pukul 9 pagi, Steni memulainya dengan menunjukkan gambar pohon dan mengajak peserta untuk menggambar tumbuhan dan binatang lainnya dan menjelaskan gambar, fungsi  mengapa gambar itu menjadi penting.

Masyarakat Adat yang terlibat sebagai peserta menggambar daun sirih, pohon karet, tanaman saluang belum, binatang Baling, batang kaja, pohon madu (Tanggiran), pohon ulin, burung Tingang, ikan, batu keramat dan tanah. Sedangkan Steni sendiri menggambar madu hutan.

Sebelum masuk Coffe Break,  Steni mengajak peserta untuk mengenal konsep REDD. Supaya lebih nyata ia melakukan praktek membakar sebuah kertas dan menjelaskan proses panas, bau dan peserta mencium gas yang disebut karbon.

“Kalau satu atau dua orang saja yang membakar, itu tidak jadi masalah, tapi kalau semua yang  membakar, itulah efek yang kita rasakan sekarang, bagaimana dengan di kampung Bapak ?. Orang menggali isi perut bumi itu, yang keluar dari dalam, bukan cuma minyaknya, tapi dia mengeluarkan panas, tidak kita rasakan, tapi lama-lama terasa,” jelas Steni.

Ia menambahkan jika kita tanam sawit itu kan hanya satu, kita petik buahnya, dan hanya itu yang menjadi uang, jadi kalau tanaman obat yang lain punah, kita hanya mendapatkan uangnya, tapi tidak lagi menemukan obat, jelas pria yang pernah aktif di NGO ini.

Secara ringkas Steni memaparkan pengertian REDD dengan 3M, Menjaga hutan, Mengurangi kerusakan hutan dan Memperbaiki hutan yang rusak. Peserta diajak untuk memberikan contoh dari 3 M tersebut dan aktivitas apa yang dilakukan agar 3 M tersebut dapat diwujudkan. Peserta yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Irawandi, Rodison, Bambang, Gio, Meok, Hendro, Bahan, Delae, Bersi, Resi, Ranti, Agak, Suley dan Dunal.

Memperdalam pemahaman 3 M fasilitator membagi peserta menjadi 3 kelompok dan menjawab pertanyaan  apa manfaat hutan adat?, apa aktivitas yang sudah dilakukan untuk mendapatkan manfaat hutan?, siapa yang terlibat untuk mempertahankan dan mendapat manfaat hutan, apa saja bentuk keterlibatannya atau perannya ? dan apa saja hambatan untuk mempertahanakan dan mendapatkan manfaat hutan?. Acara ini terselenggara atas kerjasasama AMAN Kalteng - Kemitraan Partnership dan berakhir  pukul 5 sore.

Sumber tulisan: ringkasan notulen kegiatan
Sumber foto: dokumen AMAN Kalteng

Selasa, 18 Februari 2014

Catatan Kasus Konflik MA

AMAN KALTENG
Menginjak  pada tahun 2014 ada 7 catatan kasus yang sempat di dokumentasi oleh biro Advokasi dan EKOSOB AMAN Kalteng.  Menurut Yohanes Taka, dari Biro biro Advokasi dan EKOSOB AMAN Kalteng, lebih banyak kasus di dominasi oleh penyerobotan lahan yang dilakukan oleh perusahaan.

Berikut kami informasikan sengketa lahan yang dilakukan di wilayah Masyarakat Adat (MA) di masing-masing komunitas. Pengurus Daerah (PD) AMAN Barito Timur, melaporkan ada penyerobotan lahan karet Masyarakat Adat Janah Jari oleh PT. Sandabi Indah Lestari. Berikutnya PD AMAN Barito Utara melaporkan PT. Salamander Energy Bangkanai, Ltd melaporkan penyerobotan hutan adat Dayak Dusun Malang di Muara Pari, kecamatan Lahei.

Masih di Barito Utara. Ahmad Arbandi di kecamatan Lahei membentuk advokat Pembela Masyarakat Adat Kalteng dan Kalsel terkait kasus perbuatan tidak menyenangkan prosesnya sudah sampai membuat Jadwal Pertemuan.

Di kabupaten Gunung Mas, dilaporkan PT. Gemareksa melakukan penyerobotan lahan untuk dijadikan perkebunan Sawit. Kasus ini dilaporkan oleh PD AMAN Gunung Mas. Di PD AMAN Kota Palangka Raya melaporkan sudah melakukan pertemuan namun belum sampai tahap negosiasi PT. Global Langkat Jaya dengan komunitas Bereng Bengkel.

Sedangkan PD AMAN Barito Selatan, di wilayah komunitas Bundar melaporkan belum ada penyelesaian terkait pencemaran lingkungan akibat pembukaan HPH dan Batu Bara yang dilakukan oleh PT. Hasnur Group.

Dari wilayah PD AMAN Lamandau melakukan aksi demo yang diikuti 400 orang untuk menuntut lahan plasma dari PT. Graha  Citra Mulia aksi ini di koordinasi oleh  B.Isang dan Yosep.

Sumber foto: http://bitra.or.id

Kamis, 16 Januari 2014

Warga Desa Ancam Aktivitas Tambang Gas Salamander

AMAN KALTENG
TRIBUNKALTENG.COM, MUARATEWEH - Warga Desa Muara Pari Kecamatan Lahei Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa di kawasan jalan tambang PT Salamander Energy terkait tuntutan lahan masyarakat.

"Kami akan melakukan pemortalan jalan tambang gas Salamander, kalau pihak perusahaan tidak membayar sewa pemakaian tanah," kata seorang warga Ahmad Yudan Baya kepada wartawan di Muarateweh.

Menurut dia, lokasi unjuk rasa di kawasan jalan HPT PT WIKI kilometer 31, tepatnya sebelah kiri Sungau Parau RT 01 Desa Muarapari.

"Lokasi itu merupakan tanah adat tradisional, yang sekarang digarap untuk jalan perusahaan Salamander," katanya.

Yudan mengatakan, unjuk rasa berupa pemortalan itu dimulai Kamis (9/1) sampai waktu yang tidak ditentukan. Aksi akan dihentikan setelah adanya kesepakatan dari Salamander Energy, dengan membayar hak atas tanah secara adat.

Dia merinci tiga tuntutan warga. Pertama, penghentian aktivitas Salamander, agar membayar sewa pemakaian atas tanah adat. Pemakaian terhitung mulai November 2012 sampai sekarang.

Kedua, imbuh Yudan, agar Salamander membayar sewa tanah, serta pelebaran dan penggarapan jalan, juga lokasi sumur bor seluas empat hektare.

"Pemberitahuan unjuk rasa sudah kami sampaikan ke Polres Barito Utara. Kami melakukan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," ujar dia.

Salamander Energy Ltd merupakan perusahaan bermarkas di London, Inggris pemegang saham terbesar di Blok Bankanai itu pada akhir Juni 2011 telah menandatangani perjanjian jual beli gas Lapangan Bangkanai, Kalimantan Tengah dengan PT PLN untuk membangun PLTG dengan kapasitas 3 x 80 megawatt (MW) yang mampu mengaliri listrik hingga wilayah Kalimantan Selatan.

Dalam perjanjian itu disepakati Salamander Energy nantinya akan memasok volume gas sebesar 20 miliar british thermal unit per day (bbtud) kepada PT PLN dengan harga 4,79 dolar AS per juta british termal unit (mmbtu) dengan eskalasi tiga persen per tiga tahun.

Sumber: http://kalteng.tribunnews.com/2014/01/11/warga-desa-ancam-aktivitas-tambang-gas-salamander

Sumber foto: http://www.kabarenergi.com/foto_berita/12panoramiodotcom.jpg

Jumat, 13 Desember 2013

Menganyam Ringka Tingang

AMAN KALTENG
Deskripsi : Ringka Tingang adalah anyaman berbahan rotan yang telah dikecilkan seperti tali nilon, bentuk hasil anyamannya menyerupai seekor kelabang. Ringka Tingang sering dibuat menjadi gelang untuk syarat ritual adat tertentu atau dibuat menjadi pengikat pada alat musik gendang

Lokasi foto : Komunitas Dayak Uut Danum Karetau Sarian

Sumber foto: Alfianus G. Rinting
Sumber tulisan: Pebri

Catatan Kecil dari Bali

AMAN KALTENG
Bertempat di desa Kiadan dan Tenganan, Bali, kegiatan Festival dan Gelar Seni Budaya Masyarakat Adat dilaksanakan. Kegiatan yang dilakukan selama 7 hari ini berlangsung dari tanggal 27 Nopember- 3 Desember 2013 lalu.

Kegiatan ini juga dipadukan dengan workshop dan training, pengembangan terpadu pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya. Terpantau Sekjen AMAN, Abdon Nababan hadir dan berpartisipasi penuh.

Salah satu utusan AMAN Kalteng, Pebriadi terlibat aktif dalam acara yang dukung penuh oleh kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif RI bekerja sama dengan AMAN. Dalam catatannya seusai kegiatan Pebri menceritakan, ada 6 materi yang diberikan saat workshop terkait pengalaman dalam mengelola pariwisata dan jenis pariwisata yang sedang dikelola.

Pengalaman berharga yang dapat dibagikan menurut Pebri adalah, faktor yang paling menentukan pariwisata dan ketertarikan dunia terhadap Bali bukanlah keindahan alamnya, tetapi bagaimana masyarakat Bali menjadikan budaya leluhurnya menjadi gaya kehidupan sehari-hari, walaupun sudah berpuluh-puluh tahun orang luar berdatangan ketempat mereka.

Menurut Pebri masyarakat adat di Bali selalu menjaga identitasnya sebgai masyarakat adat, identitas yang mereka jaga inilah yang membuat secara tidak langsung wilayah adat meraka jaga, alam mereka jaga, hukum adat tetap eksis, sampai musyawarah adat yang selalu dijalankan.

Namun dalam hal permasalahan tidak berbeda jauh dengan masyarakat adat di Kalteng. Masyarakat adat Bali sudah mulai resah dengan arus investasi asing di pariwisata. Banyak spot pariwisata sudah dikelola oleh perusahaan asing. Hal ini mengakibatkan masyarakat adat bali terpinggirkan dalam hal pengembangan pariwisata.

Ironisnya, banyak pendapatan pajak dalam pariwisata tidak terlalu berkontribusi pada pendapatan desa atau komunitas, karena banyak pajak hanya lari ke pemerintah pusat. Kini pasar tanah masyarakat pun juga menjadi ancaman bagi Masyarakat adat (MA)  di Bali, harga tanah yang sangat tinggi ini sangat menggiurkan untuk masyarakat melepas tanahnya kepada investor.

Cerita lainnya Pebri mengamati, salah satu usaha melindungi wilayah adat disana yang sama seperti di lakukan Aman Kalteng adalah pemetaan wilayah adat. Dua desa adat yang ditemuinya sudah memiliki peta wilayah adat, bahkan dalam bentuk 3 dimensi.

Satu hal lagi yang menarik yang ia dapatkan di desa adat Tenganan, walaupun mereka disebut desa, tetapi dalam menjalankan kehidupan di desa itu, mereka berdasarkan pada hukum adat, dan sebuah aturan yang disebut undang-undang adat mereka.

Posisi siapa yang akan menjadi kepala desa tidak begitu dipermasalahkan, karena kepala desa hanya menjalankan administrasi kependudukan dalam Negara saja. Yang berhak mengatur desa adalah musyawarah adat, dan para kepala adat yang telah terpilih secara adat.

Banyak hal yang bermanfaat lagi yang dapatkan dikaitkan dengan bagaimana kehidupan berdasarkan adat dapat mengatur kehidupan kita sehari-hari dengan sangat bijak. Menurutnya hal ini dapat didiskusikan secara mendalam di tingkat internal AMAN Kalteng.

Sumber berita dan foto: Pebriadi.

Kamis, 05 Desember 2013

Pertemuan Mubes Hutan Adat Dahas Bolau

AMAN KALTENG
Bertempat di aula kelurahan Tapin Bini, Lamandau kegiatan Rapat Bosar Hutan adat Dahas Bolau dilaksanakan. Acara ini mengacu dari Putusan MK No 35/PUU-X/2012. Sebanyak 35 orang termasuk Sekretaris Camat, Lurah, Damang, tokoh adat tampak mengikuti kegiatan ini dengan antusias.

Aman Kalteng di undang untuk mengikuti kegiatan ini sebagai nara sumber. Abdul Rahman, dari biro Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif (UKP3) memberikan materi terkait gerakan AMAN di forum tersebut.

Pemateri yang lain di disampaikan oleh direktur Walhi Kalteng, Arie Rio Rompas dan dari dinas Kehutanan Kab. Lamandau, Dwi Rismawanta, S. Hut,M.Si. Tampak pula hadir dari Dewan AMAN Kalteng yaitu Bpk Bertunius Isang yang juga membantu menjelaskan terkait Organisasi AMAN.

Kegiatan dilaksanakan selama 2 hari pada 29-30 Nopember 2013 ini menghasilkan rumusan-rumusan ke depan untuk mengoptimalkan hutan adat Dahas Bolau bagi masyarakat adat dengan dibentuknya pengelola hutan adat.

Pada hari pertama adalah Seminar/ Diskusi Kritis dan hari Kedua adalah Musyawarah Besar tekait Hutan adat Dahas Bolau masyarakat adat disana membentuk badan untuk Pengelola hutan adat tersebut.

Menurut Abdul di hari kedua, ia tidak mengikuti kegiatan ini secara penuh karena merupakan kegiatan internal  Masyarakat adat di Tapin Bini. Namun sayangnya komunitas ini belum bergabung ke AMAN Kalteng. Jadi Abdul hanya menjelaskan terkait Gerakan di Organisasi AMAN beserta hak dan tanggung jawab komunitas apabila bergabung menjadi Anggota AMAN.

Sumber berita dan foto: Abdul Rahman.

Kamis, 21 November 2013

Berikut Rilis Aksi Demo AMAN Lamandau Blokir Sawit

AMAN KALTENG
Dapat disiarkan segera

19 Oktober 2013

Contact Person:
Mona Sihombing, 085217352162

Media Relations AMAN
AMAN Lamandau Blokir Pintu Masuk Perusahaan Sawit

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Lamandau, Kalimantan Tengah masih memblokir pintu masuk PT Gemareksa Mekarsari hingga Selasa (19/11) siang.

Menurut Ketua PD AMAN Lamandau Yosep Maran, ribuan anggota komunitas adat memblokir pintu perusahaan tersebut sejak Senin (18/11).

Aksi yang dimulai sehari sebelumnya ini menuntut agar perusahaan sawit tersebut memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.5/2011, perusahaan perkeunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat setidaknya seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan.

 “Manajer perusahaan di lapangan sudah mengakui dan menyanggupi kebun rakyat itu, namun masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan di Jakarta,” tutur Yosep, Selasa (19/11).

 “Kami akan tetap menutup pintu perusahaan hingga hak kami dipenuhi,” tambahnya.

Basis data daring milik The Land Matrix mencatat, investor sekunder PT Gemareksa Mekarsari adalah Felda Global Ventures Holdings Bhd. dan Lembaga Tabung Haji, keduanya milik Malaysia, dengan kontrak seluas 6.398 hektare.

Pada Senin, PD AMAN Lamandau juga melakukan aksi orasi di depan Kantor Bupati Lamandau. “Kami meminta agar Bupati Lamandau segera melaporkan PT Gemareksa Mekarsari ke Kapolres Kabupaten Lamandau dan Kejaksaaan Negeri Kabupaten Lamandau,” tulis Yosep di surat Pernyataan Sikap Komunitas-Komunitas AMAN Lamandau yang ditembuskan ke Pengurus Besar AMAN Jakarta, bertanggal 18 November 2013.

PD AMAN Lamandau juga menuntut agar bupati mencabut izin PT Gemareksa Mekarsari di Kelurahan Naga Bulik dan Desa Bunut seluas sekitar 3000 hektare karena tidak memiliki IUP, HGU, dan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan.

--oo0000oo--

Tentang AMAN
AMAN didirikan pada 17 Maret 1999 dan beranggotakan 2253 komunitas Masyarakat Adat. Misi AMAN adalah Masyarakat Adat yang “Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi, Bermartabat secara Budaya." Silakan kunjungi www.aman.or.id

Rabu, 20 November 2013

1.000 Warga Adat Lamandau Blokir Perusahaan Sawit

AMAN KALTENG
TRIBUNKALTENG.CO.ID, PALANGKARAYA – Konflik masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit di Kalteng, terus terjadi. Kali ini di Nangabulik, Kabupaten Lamandau.

Selama dua hari yakni sejak Senin sampai Selasa (19/11/2013), jalan menuju pintu masuk PT Gemareksa Mekarsari (GM) di kabupaten itu diblokir oleh sekitar seribu warga. Mereka merupakan anggota masyarakat adat Nangabulik yang kesal karena perusahaan dianggap telah terjadi penyerobotan wilayah.

”PT GM telah menyerobot wilayah masyarakat adat seluas 856 hektare dari luas izin kordinat HGU yang diberikan pada perusahaan sawit tersebut. Oleh karenanya masyarakat adat Lamandau meminta wilayah yang telah digarap tersebut dikembalikan pada masyarakat adat atau komunitas pewarisnya,” kata Media Relation Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Mona Sihombing mengutip penjelasan Ketua PD AMAN Lamandau Yosep Maran melalui email ke redaksi BPost.

Dalam aksi tersebut, masyarakat adat juga menuntut agar PT GM memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat. Berdasarkan Perda Kalimantan Tengah Nomor 5/2011, perusahaan perkeunan yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP) atau izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat setidaknya seluas 20 persen dari total luas areal yang diusahakan.

Basis data milik The Land Matrix mencatat, investor sekunder PT GM disebutkan Felda Global Ventures Holdings Bhd dan Lembaga Tabung Haji. Keduanya milik Malaysia dengan kontrak seluas 6.398 hektare.

Pada Senin (18/11/2013), PD AMAN Lamandau sebelumnya juga melakukan aksi orasi di depan Kantor Bupati Lamandau. Mereka meminta agar Bupati Lamandau segera melaporkan PT GM ke kapolres dan Kejaksaaan Negeri Lamandau.

Kelompok itu juga menuntut agar bupati mencabut izin PT Gemareksa Mekarsari di Kelurahan Naga Bulik dan Desa Bunut seluas sekitar 3000 hektare karena tidak memiliki IUP, HGU, dan izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan.

 “Manajer perusahaan di lapangan sudah mengakui dan menyanggupi kebun rakyat itu, namun masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan di Jakarta,” tutur Yosep.

Sumber: http://kalteng.tribunnews.com

Selasa, 19 November 2013

Komunitas AMAN Kalteng Fasilitasi Pelatihan Pemetaan Partisipatif

AMAN KALTENG
Jika biasanya pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat di Kalimantan Tengah hanya difasilitasi oleh Pengurus Daerah dan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kini komunitas pun mampu memfasilitasi pelatihan tersebut. adalah komunitas Tumbang Bahanei yang telah dua kali memfasilitasi komunitas AMAN Kalimantan Tengah yang lainnya.

Pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat komunitas Tumbang Marikoi  pada bulan September lalu,   adalah yang pertama difasilitasi. Kemudian pelatihan di Komunitas Karetau Sarian pada tanggal 8 November ini.

Tim fasilitator komunitas Tumbang Bahanei terdiri dari tokoh masyarakat yaitu Otot dan Meok, serta para Pemuda Adat, yaitu Hendro, Irawandi, dan Bambang. Selain mengajarkan teori dan konsep pemetaan wilayah adat, mereka juga berbagi pengalaman tentang proses pemetaan yang telah mereka jalani.

“Ini adalah rasa kepedulian kami sebagai sesama komunitas AMAN, bagaimana masyarakat adat itu harus saling bahu membahu agar tidak kalah” ucap Bambang.

Bambang, Hendro, dan Irawandi mempelajari konsep dan praktek pemetaan wilayah adat sejak pelatihan fasilitator pemetaan yang dilaksanakan Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Tengah di Komunitas Tumbang Bahanei pada bulan Mei lalu. Setelah itu mereka mendapat pengalaman dari pemetaan wilayah adatnya. Kini, mereka merasa bertanggung jawab untuk membagikan ilmu ini kepada komunitas AMAN lainnya.

Di sisi  lain, Otot dan Meok bertugas memberikan semangat untuk menguatkan persatuan komunitas dengan bercerita tentang suka duka dalam proses menumbuhkan partisipatif seluruh masyarakat  hingga komunitas Tumbang Bahanei telah menyelesaikan lokakarya tapal batas wilayah adat dan tinggal menunggu proses digitalisasi peta manual yang telah mereka buat.

Ikatan emosional dua komunitas AMAN begitu terasa ketika pelatihan berlangsung. Bagaimana komunitas Tumbang Bahanei dengan tulusnya menempuh perjalanan jauh untuk membagikan ilmu dan pengalaman, lalu komunitas Karetau Sarian membantu mereka dalam hal pembiayaan perjalanan.

“Saya sangat senang dan bangga dengan kesediaan Komunitas Tumbang Bahanei yang telah membantu kami dalam pelatihan” ungkap Saniun Surai, tokoh masyarakat Karetau Sarian.

Kondisi seperti inilah yang harus dipertahankan bahkan dijadikan sistem dalam pengorganisiran komunitas AMAN. “Ini bukanlah hal yang luar biasa, ini akan menjadi wajar, ketika komunitas merasa bahwa masalah yang dihadapi masyarakat adat sekarang adalah tanggung jawab komunitas, bukan hanya pengurus AMAN” ungkap Rinting, Deputi Umum AMAN Wilayah Kalimantan Tengah. 

“Kita tidak menjanjikan apapun, tapi lihat mereka mau bergerak dan saling mengorganisir, inilah salah satu bentuk nyata dari pengkaderan,” tambahnya.

Ini juga membuktikan bahwa AMAN adalah organisasi masyarakat yang berbasis pada massa. Dimana kekuatan sesungguhnya ada pada massa yang sadar dan ingin bangkit merebut hak-haknya yang telah tercabut selama ini.(Pebri)

Senin, 11 November 2013

Penganut Kepercayaan Ingin Diakui

AMAN KALTENG
TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Jatim, Hadi Prajoko, menginginkan adanya pengakuan hukum aliran penganut kepercayaan oleh Pemerintah dan masuk dalam kartu identitas penduduk.

"Selama ini Pemerintah terkesan memarjinalkan penghayat kepercayaan. Kami ingin diberikan hak yang sama seperti pemeluk agama lain," kata Hadi pada pembukaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) HPK Indonesia di Ruang Gajahmada Pangkalan TNI AL, Jalan Yos Sudarso, Kota Malang, Senin (11/11/2013).

"Kami merekomendasikan ke Pemerintah agar ada pengakuan hukum adat. Hukum adat dimasukkan ke Undang-undang. Nantinya masyarakat bisa melakukan perkawinan menggunakan hukum adat," ujarnya.

Dikatakan, Munaslub dilaksanakan untuk memilih Ketua Umum HPK Indonesia, diikuti 2.000 peserta dari 1.223 rumpun kepercayaan di 27 provinsi di Indonesia.

Ketua MPR Sidharto Danusubroto yang hadir dalam acara itu menyatakan, Pemerintah tidak boleh membedakan hak penghayat kepercayaan karena merupakan bagian dari warga negara yang menjunjung tinggi budaya asli Nusantara.

"Mengakui dan menghargai penghayat kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan bagian dari penegakan empat pilar bangsa," katanya.

Selain itu, dikatakan, Pemerintah juga harus memberikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan kepada penghayat kepercayaan, menjamin kenyamanan dalam beraktifitas. "Jangan sampai ada lagi kasus kekerasan maupun perusakan antarpenganut kepercayaan," ujarnya. (Samsul Hadi)

sumber :http://www.tribunnews.com
sumber foto: http://www.aman.or.id

Selasa, 01 Oktober 2013

Konsolidasi Pemetaan Wilayah Adat Tumbang Marikoi

AMAN KALTENG
Tumbang Marikoi – 18/9/2013. Masyarakat adat Komunitas Tumbang Marikoi, berkumpul di rumah mantir adat. Mereka berkonsolidasi untuk membuat perencanaan pemetaan partisipatif wilayah adat. Konsolidasi ini adalah rangkaian kegiatan tahap awal persiapan pelatihan pemetaan partisipatif.
“Sampai kapanpun kita masyarakat adat tidak akan menyerah kalah, karena kita yang punya kampung ini. Tinggal bagaimana kita bisa mandiri agar tidak bisa diintervensi orang lain” ucap Bador warga komunitas, ketika membuka acara.
Membangun kesiapan komunitas dalam mengadakan pelatihan pemetaan  partisipatif menjadi agenda utama konsolidasi ini. Oleh karenanya pemilihan waktu, tempat, tim kerja, sampai pendanaan pelatihan dipersiapkan sedini mungkin oleh komunitas sendiri.
Dari komunitas Tumbang Marikoi sudah 30-an orang pemuda dan perempuan menyatakan kesiapannya untuk ikut jadi peserta pelatihan, ditambah 7 orang dari komunitas tetangga, yang mana masing-masing komunitas mengirimkan satu orang perwakilannya.
“Kali ini mari kita sama-sama berpegangan tangan, membulatkan hati, mempertahankan tanah leluhur” ucap Tongkoi, mantir adat Tumbang Marikoi, mengajak seluruh masyarakat berpatisipasi aktif dalam gerakan pemetaan wilayah adat ini.
Pelatihan akan dilaksanakan pada akhir September nanti. Pada sesi hari terakhir pelatihan  sudah  direncanakan tim nantinya akan dibagi saat pengambilan titik koordinat batas wilayah adat. *** (Pebri)

Sabtu, 10 Agustus 2013

PELATIHAN CJ KAHAYAN INISIATIF

AMAN KALTENG
Bertempat di hotel Aman jalan Galaxy II nomor 9 Palangka Raya, pelatihan Citizen Journalism (CJ) Kahayan Inisiatif dilaksanakan. Selama 2 hari Sabtu-Minggu (3-4/8) , 31 peserta yang berasal dari kabupaten Pulang Pisau dan kota Palangka Raya mengikuti dengan antusias.

Pelatihan ini diinisiasi oleh AMAN Wilayah Kalteng dan WALHI Kalimantan Tengah dan didukung Rainforest Foundation Norwey (RFN). Sebagai fasilitator  dan nara sumber dalam kegiatan ini adalah Pebriadi dari AMAN Kalteng, Herryanto Prabowo dari harian Tabengan, serta para penggiat AMAN Kalteng.

Materi yang disampaikan meliputi  Sistem Media Indonesia; Etika Jurnalisme/ prinsip-prinsip jurnalistik; Jurnalisme Cetak; Teknik Wawancara; Penulisan Berita; Voice of Enggang; Media Komunitas Masyarakat Adat dan Lokal; Evaluasi dan RTL.

Di hari kedua pelatihan, peserta juga diberikan kesempatan melakukan peliputan dan praktek menjadi CJ dengan mengunjungi warga di Flamboyan bawah dan Pahandut seberang dari pagi hingga tengah hari, dan di evaluasi bersama oleh fasilitator dan peserta yang lain.

Adapun nama-nama peserta dari desa Balukun yaitu Angga Pernando, M. Yuyu, Erne. Dari desa Tahawa yaitu Yendri Eka Putra, Jerry, Winda. Dari desa Garong yaitu Yudha Rivaldy, Noria Paris, Arjoni. Dari desa Bukit Bamba yaitu Dadang Bahtiar, Yanti, Sibun. Dari desa Henda yaitu Yaterson, Supian Hadi, Buyung Abdul Hamdi, Nia Audia. Dari desa Jabiren yaitu, Mariati, Patroly,

Sedangkan dari wilayah kota Palangka Raya, desa Bereng Bengkel yaitu Kiki Nurcahyati, Badrani, Alpian A.S. Dari desa Danau Tundai yaitu  Wismanto, Doninyan, M. Isa Asari. Dari desa Kameloh Baru yaitu Raftani, Mery Yati, Agus. Dari desa Tanjung Pinang yaitu Cuang B Lingkan, Ardiansyah, Fitri. Dari kota Palangka Raya sendiri yaitu R. Dewi H.A, Lamiang, Ann Nelly B dan Ali Wardana dari penggiat di Walhi.

Di hari terakhir sebagai upaya membuat aksi secara sinergis, rencana tindak lanjut di lakukan bersama-sama lembaga Save Of Borneo (SOB), Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Pokker SHK), Yayasan Betang Borneo (YBB), Walhi Kalteng dan AMAN Kalteng.

Hasil RTL, peserta di minta aktif mengisi media dengan syarat 5W1H. Pengisian media ini dapat berupa SMS, email dan kontak langsung ke lembaga dimaksud sekembalinya mereka ke komunitas masing-masing.

Berita dapat dikirim ke (Voice of Enggang)  terkait Pelaporan Konflik SDA dan Kejahatan Kehutanan ke email voe@walhikalteng.org, sedangkan untuk Aman dengan SMS Adat/ Citizen Journalism. Jika ke Yayasan Betang Borneo dapat langsung menuju ke sekretariat  Jl. Kyai Maja, No. 20B, Palangka Raya.

Pelatihan di tutup secara resmi oleh ketua BPH wilayah Aman Kalteng, Simpun Sampurna. Ia menegaskan materi yang telah disampaikan dalam pelatihan setara dengan ilmu jurnalistik, dan peserta menerapkannya untuk mendukung pemberitaan yang tidak sempat dilakukan oleh jurnalis media yang ada, terutama di desa tempat komunitas berada.

Keterangan foto Pemred Harian Tabengan, memberikan materi (atas); saat melakukan permainan (tengah); foto bersama usai kegiatan (bawah)

Sumber tulisan: Rokhmond Onasis; Sumber Foto: dokumen AMAN Kalteng

Selasa, 23 Juli 2013

Komunitas Dayak Ngaju Tumbang Bahanei Petakan Wilayah Adat

AMAN KALTENG
FOTO : KOMUNITAS AMAN KALTENG
tempun petak menana sare
tempun kajang bisa puat
tempun uyah batawah belai

(punya tanah tapi dipinggir 
punya atap tapi kebasahan
punya garam tapi tawar rasa)
    
Sebuah pesan yang berulang kali diucapkan komunitas dayak ngaju Tumbang bahanei ketika sosialisasi pemetaan partisipatif di kampung mereka. Mereka menyadari bahwa meningkatnya arus investasi berupa perkebunan besar sawit, tambang, dan HPH di Kalimantan tengah adalah ancaman ketika hak-hak bawaan mereka diabaikan.