“Slogan No Rights No Redd itu sangat baik dan berarti sama-sama diakui. Sisi lain, bukan hanya secara lisan sehingga SKTA itu penting dan dapat dijadikan bukti. Damang Kepala Adat diberikan kewenangan untuk menandatangani SKTA tersebut,” demikian cuplikan sambutan yang disampaikan oleh Siun Jarias atas nama Gubernur Kalteng, saat disampaikan pada Lokakarya “Ikei Tege ...!” Peta Wilayah Adat Tumbang Bahanei dan Pengakuannya; Implementasi Keputusan Mk 35/PU–X/2012.
Acara pada Rabu (23/4) lalu berlangsung dari pukul 8.30 pagi hingga 16.45 sore di aula hotel Batu Suli Internasional Palangka Raya. Tidak kurang dari 50 orang nampak hadir dari berbagai perwakilan. Akademisi, budayawan, tokoh adat, tokoh masyarakat, instansi terkait, mahasiswa, NGO dan organisasi masyarakat lainnya dan tentu saja komunitas Adat Tumbang Bahanei yang telah hadir di hari sebelumnya.
Lokakarya ini juga sebagai momen yang penting untuk menyampaikan peta yang sudah dibuat oleh Masyarakat Adat Tumbang Bahanei ke pihak pemerintah. Tampak hadir sebagai pembicara adalah dari Pemerintah Propinsi Kalteng, staf ahli di DPRD Pemprop Kalteng, Komda REDD+, PB AMAN, Dinas Kehutanan Kalteng, Masyarakat Adat Tumbang Bahanei dan BLH propinsi Kalteng.
Yohanes Taka sebagai moderator membagi menjadi 2 sesi paparan oleh nara sumber. Pada sesi pertama kesempatan diberikan kepada Siun Jarias, Sekda pemerintah propinsi Kalteng, Margo T. Binti, staf ahli di DPRD pemprov Kalteng,Mursyd dari Komda Redd+ dan Mahir Takaka dar PB AMAN.
Dalam sesi tanya jawab, Bama dari JPIC mengajukan pertanyaan ke Mahir terkait apakah ada bantuan hukum jika MA mengalami kendala hukum. Mahir menjawab bahwa saat ini di PB AMAN ada kumpulan pengacara yang mengurus kasus ada 600 kasus yang masuk dan memprioritaskan (baca wajib dan harus) anggota AMAN, kalau di luar anggota itu hanya solidaritas.
Kesimpulan sesi pertama ini di catat moderator sebagai berikut, program REDD+ akan membantu dan terbuka untuk masyarakat adat dapat meminta bantuan ungkap Mursyd selaku ketua Komda REDD+, sedangkan Margo T. Binti mendorong agar dibuatnya perda Masyarakat Adat (MA) dan perlu dibukukan kembali hukum adat yang ada di komunitas karena sangat penting. Namun, yang paling penting menurut Mahir adalah eksistesi MA harus saling bantu membantu setelah sekarang sudah hampir hilang selama 70 tahun ini.
Sedangkan sesi kedua paparan di sampaikan oleh Tri Suswanto dari Dishut Kalteng, Suley Medan dari komunitas Tumbang Bahanei dan Esau Tambang dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) propinsi Kalteng.
Sesi kedua yang di lakukan setelah makan siang tepat dilanjutkan pukul 13.35 siang tetap berjalan secara dinamis, masing-masing pembicara menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh peserta lokakarya.
Tanggapan diberikan usai nara sumber menyampaikan paparannya. Salah satunya adalah KMA Usop yang mengusulkan harmonisasi hukum supaya memiliki legalitas kuat. “Di keputusan MK ini berdasarkan dari revisi kehutanan No.41; dalam Perda harus dibuat harmonisasi. Ini menyangkut bagaimana ikei tege itu bentuknya bagaimana, misalnya pahewan di sebut dan lain-lain, jadi Perda ini diserap dalam hukum adat,” jelasnya.
Usop melanjutkan, ada pengalaman saat ia menjabat rektor yang hasilnya ada perkebunan menetap di 5 hektar, itu bagian dari harmonisasi hukum juga, sehingga kearifan lokal masuk dalam hukum positif.
Salah seorang budayawan, J.J Kusni mengungkapkan persetujuannya terkait peta wilayah adat, sesuai yang disampaikan Mahir Takaka. “Kami sudah menyiapkan alat pemetaan dengan Intitute Dayakologi (ID) dan ini dilakukan setelah hampir 10 tahun lebih. Saya melihat semangat di Tumbang Bahanei ini hebat dan patut diberikan kesempatan. Saya setuju di sahkan sendiri oleh komunitas dan menunjukkan mana yang adu kekuatan dengan negara,” terang Kusni.
Dalam sesi kedua ini Yohanes mencatat ungkapan bahwa MA bukan ada dan tiada tapi masih amnesia dan Tumbang Bahenei berani membuktikan bahwa mereka bisa. Dengan 3 catatan penting ia menegaskan itu, yaitu: Bagaimana Pemprop mengakui Wilayah Adat (WA) yang sudah dipetakan oleh komunitas Tumbang Bahanei. Harus ada sinkronisasi/ harmonisasi hukum yang bisa mengakomodir kondisi yang ada dan semua sebagai pemerhati MA dapat mengembalikan kearifan lokal yang ada secara bersama-sama.
Dalam sambutan penutupnya Simpun Sampurna berharap, mudah-mudahanan dari hal yang baru ini dapat dilanjutkan dan menjadi terobosan baru bagi kita. Dari badan-badan yang membidangi hutan dan terkait dengan pemetaan. Ia mempersilahkan pihak terkait dapat meminta data di kantor AMAN Kalteng.
“Ke depan dapat tetap dilanjutkan dengan komunitas yang lain, sehingga memunculkan peta yang lain,” tutup Simpun.
Sumber foto: Dokumen Aman Kalteng.
Informasi terkait: http://kaltengpos.web.id/berita/detail/6204/600-desa-miliki-hutan-adat.html
Sabtu, 03 Mei 2014
Lokakarya Propinsi “Ikei Tege ...!”
AMAN KALTENG
Author & Editor
Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize
12:00 AM
Berita Masyarakat Adat, Cerita Dari Kampung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 Komentar:
Posting Komentar