Rabu, 20 Mei 2015

Jalur Kembar Hutan Adat

Oleh Myrna A Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute

Pada 16 Mei 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK 35) berusia dua tahun. Putusan ini membawa sejumlah perubahan. Pertama, pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai subjek hukum, selain perorangan dan badan hukum. Kedua, konsep baru penguasaan tanah dimana di kawasan hutan terdapat hutan negara dan hutan hak. Hutan hak meliputi hutan adat dan hutan hak perorangan/badan hukum. Ketiga, Putusan MK 35 mengakui pengabaian negara dan sikap diskriminatif terhadap MHA.

Dalam Nawa Cita, Presiden Joko Widodo berkomitmen menjalankan Putusan MK 35. Ada beberapa peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan Putusan ini. Diantaranya UU Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tahun 2013 mengenai Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat. Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdapat pula Surat Edaran Menteri terkait pelaksanaan Putusan MK 35 dan Perubahan Peraturan Menteri mengenai Pengukuhan Kawasan Hutan. Namun kita memerlukan kebijakan yang jelas, tegas dan operasional untuk mempercepat pengakuan hutan adat

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan alokasi kawasan hutan untuk rakyat seluas 12,7 juta hektar. Di dalamnya termasuk hutan adat. Sayangnya, hingga saat ini belum ada hutan adat yang diakui oleh Pemerintah Pusat. Salah satu kendalanya belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan MHA dengan wilayah adat yang terpetakan. Kendala lain, KLHK baru saja membentuk unit kerja terkait dengan hutan adat yaitu Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Inisiatif Daerah

Data Epistema Institute menunjukkan ada 90-an produk hukum daerah terkait MHA. Ditilik dari materi muatannya, 41% berkenaan dengan pembentukan dan pemberdayaan kelembagaan adat. Sangat sedikit yang menetapkan wilayah adat. Pemda cenderung melakukan formalisasi kelembagaan adat. Hal ini terkait dengan kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk pelestarian adat-istiadat dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat. Patut diduga ada pula kepentingan politik Pemda untuk menggalang dukungan tokoh-tokoh adat melalui pengakuan, pembentukan atau pemberdayaan kelembagaan adat.

Penetapan MHA dan wilayah adatnya mensyaratkan kesediaan Pemda untuk memfasilitasi identifikasi masyarakat tersebut serta menyiapkan instrumen untuk verifikasinya. Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur oleh Permendagri 52/2014 perlu dilakukan. Panitia ini perlu diperluas keanggotaannya dengan melibatkan wakil MHA, lembaga swadaya masyarakat yang berpengalaman melalukan pemetaan wilayah adat dan akademisi yang berlatarbelakang keilmuan yang relevan.

Jalur kembar

Pasca Putusan MK 35, pengakuan hutan adat semestinya dapat melalui jalur kembar. Pertama adalah jalur pengakuan subjek hutan adat. Setelah penetapan MHA oleh Perda maka hutan adat ditetapkan. Yang kedua adalah pengakuan objek hutan adat. Karena hutan adat adalah hutan hak maka senafas dengan UU Kehutanan penentuannya bergantung pada status penguasaan tanahnya. Jika telah ada pengakuan wilayah adat sebagai hak ulayat menurut UU Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria No. 5/1999 atau pengakuan hak komunal sebagaimana tengah dibahas oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN maka hutan yang ada di wilayah adat itu diakui sebagai hutan adat.

Hal yang masih menggantung adalah kejelasan kewenangan penetapan hutan adat. Mengikuti Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/2005 mengenai pedoman pemanfaatan hutan hak, kewenangan penunjukan hutan hak ada pada Bupati/Walikota. Bagaimana menyelaraskan hal ini dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah?

Demikian pula ada kesimpangsiuran mengenai bentuk produk hukum bagi penetapan MHA. UU Kehutanan menyatakan penetapan itu melalui Perda. Sementara itu, Permendagri No. 52/2014 mensyaratkan dengan keputusan kepala daerah. Hal ini membingungkan Pemda yang berinisiatif menetapkan MHA.

Arah kebijakan hutan adat

Sebagai pemenuhan Nawa Cita dan pelaksanaan RPJMN, Presiden perlu segera menerbitkan Instruksi yang menjelaskan langkah-langkah dan harmonisasi kebijakan untuk percepatan pengakuan hutan adat. Kelompok masyaraka sipil telah memasukkan usulan itu namun hingga kini tiada respon.

KLHK dan Kemendagri perlu memberi arahan kebijakan pada Pemda. Pertama, bagi daerah yang telah mempunyai Perda yang mengatur MHA atau kelembagaan adat maka perlu keputusan kepala daerah untuk penetapan MHA dan wilayah adat sesuai dengan Permendari No. 52/2014. Selanjutnya, keputusan ini ditingkatkan menjadi Perda untuk penetapan MHA. Bagi daerah yang belum mempunyai produk hukum apapun maka langsung membentuk Perda untuk penetapan MHA. Ketiga, KLHK dan Kemendagri perlu menegaskan apakah kewenangan penetapan hutan hak, termasuk hutan adat, itu ada pada Pemerintah Pusat atau Pemda.

KLHK dan Kementerian ATR/BPN perlu menyepakati bahwa setelah pengakuan tanah ulayat atau tanah komunal diberikan maka hutan adat segera ditetapkan.

Dengan cara-cara di atas maka kebijakan pengakuan hutan adat akan lebih operasional sehingga pengakuan yang nyata atas hutan adat segera terwujud. [ ]

Sumber: http://epistema.or.id/jalur-kembar-hutan-adat/

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar