Selasa, 18 Maret 2014

AMAN Kalteng Lakukan Aksi KMAN-15

“Kami tidak meminta lebih, tapi kami tidak mau dikurangi,” itulah teriakan yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat adat. Berikatkan pita merah di kepala, membawa bendera AMAN Kalteng, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), PEREMPUAN AMAN melakukan aksi damai pada Senin (17/3).

Aksi ini dimulai dari jalan Yos Sudarso berkonvoi menuju bundaran besar Palangka Raya. Tidak kurang dari 30 orang mengikuti aksi dan berpusat di halaman rumah jabatan gubernur Kalteng untuk melakukan orasi.
Setelah berkumpul di bundaran besar, peserta aksi bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dan dilanjutkan orasi oleh ketua BPH AMAN wilayah Kalteng, Simpun Sampurna. Dalam orasinya Simpun mengatakan,  sejak awal berdiri tahun 1999, organisasi AMAN mencatat hingga saat ini masih banyak terjadi perampasan-perampasan tanah adat di seluruh Indonesia. Krimininalisasi terjadi akibat kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat.

“Pada momentum saat ini kami menyuarakan segera sahkan RUU pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, keputusan MK 35 memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat adat dan segera penuhi janji-janji dari pemerintah dan mendesak ini cepat di sahkan”, teriak Simpun. Ia juga menyuarakan bahwa di Kalteng di fokuskan untuk memetakan wilayah adat sebelum di petakan oleh orang lain.

Di kesempatan lain Yohanes Taka mengatakan mengacu pada keputusan MK, bahwa masyarakat adat diakui hutan adatnya dan dikeluarkan dari hutan negara, dengan ini maka AMAN menuntut untuk segera di sikapi.

Setelah Yohanes Taka berorasi, tidak ketinggalan dari BPAN, Kesyadi bersuara lantang. Ia mengatakan bahwa plangisasi adalah salah satu cara masyarakat adat untuk menunjukkan dirinya masih ada. “Kita semua di sini adalah bagian dari masyarakat adat. Orang tua kita dulu adalah masyarakat adat. Namun kenapa kebijakan tidak berpihak pada masyarakat  adat?,” tegas Kesyadi yang juga sebagai koordinator lapangan aksi.

Salah seorang kader perempuan AMAN, Yuni juga berorasi. Ia mengungkapkan bahwa perempuan adat juga berhak terlibat dalam pengambilan keputusan yang selayak-layaknya. Orasi dilanjutkan deputi umum dari AMAN Kalteng, A.G Rinting menceritakan bahwa 15 tahun yang lalu tidak kurang dari 400 kepala suku berkumpul di Jakarta dan menuntut negara untuk menyikapi keberadaan masyarakat adat. Bahkan sekarang negara telah menandatangani terkait UNDRIP (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples).

“ Kami mendesak supaya segera disahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat (PMA).  Perjuangan kita harus tetap berjalan, pengakuan terhadap masyarakat adat harus segera dilakukan. Kita tidak sendiri dan saat sekarang di 22 propinsi melakukan aksi yang sama,” teriak Rinting yang menggunakan lawung (baca ikat kepala) merah sembari mengacungkan bendera aman Kalteng.

Acara berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 11 siang, setelah melakukan orasi, dan membagikan lembar press release kepada pengguna jalan yang melintasi tempat demo. Terpantau Sandy salah seorang aktivis AMAN Kalteng juga membagikan stiker peringatan hari masyarakat adat ke-15.

“Melalui momentum perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara yang ke-15, tiap tanggal 17 Maret, AMAN Kalimantan Tengah menyerukan dan berupaya untuk mendorong ketegasan pemerintah mewujudkan keberpihakannya kepada masyarakat adat agar tercapainya masyarakat adat yang berdaulat secara politik lewat jalan musyawarah dan mufakat, mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung dengan pihak luar, bermartabat secara budaya dan tidak malu mengakui identitas budaya yang menjadi simbol kehidupan masyarakat adat khususnya masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah,” demikian salah satu isi press release  yang diterima penulis.

Sumber foto: Dokumen AMAN Kalteng
Sumber berita: Rokhmond Onasis; Biro Infokom AMAN Kalteng

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar