Jumat, 20 November 2015

AMAN KALTENG LAKUKAN DIALOG PUBLIK DAN FGD

Kota Palangka Raya baru saja diguyur hujan. Sejak pagi hari jalanan sudah merata basah oleh air. Angin bertiup tidak terlalu kencang menemani air hujan yang turun. Di salah satu jalan, yaitu jalan Bubut terlihat parkiran motor dan mobil ramai sudah ramai di depan. Matahari nampak enggan bersinar memanaskan hari yang sudah cukup dingin.

Sekelompok  masyarakat yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Nusantara Kalimantan Tengah sudah berkumpul. Hotel Hawai Palangka Raya dipilih oleh panitia pelaksana melaksanakan 2 rangkaian acara penting bagi Masyarakat Adat yang ada di Kalteng.

Rabu, 18 Nopember 2015, AMAN Kalteng di penghujung tahun melaksanakan rangkaian kegiatan dialog publik dan diskusi terfokus. Acara yang berlangsung sejak pukul 9 pagi – 3  sore di hadiri sekitar 30 peserta yang berasal dari komunitas dan undangan yang bersedia hadir.

Dialog Publik
“Mendorong Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat”

Acara yang dimulai pukul 9 pagi ini dibuka secara resmi oleh Rahmat Hamka Nasution, anggota DPR RI Palangka Raya.  Pria yang berasal dari Pangkalanbun , Kotawaringin  Barat ini khusus datang dari Jakarta untuk menyampaikan pandangannya terkait Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Rahmat juga  menggunakan kesempatan yang ada untuk menyampaikan sekilas materi 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara; UUD NRI Tahun 1945 Sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR; NKRI Sebagai Bentuk Negara, dan; Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara.

Sebelum acara dialog berjalan, AMAN Kalteng juga menggunakan waktu yang berharga ini untuk melakukan penandatanganan  kerjasama dengan BLH Propinsi Kalteng. Simpun Sampurna dan Mursid Marsono memberikan tanda tangan bersama di atas piagam kerjasama sebagai dokumen resmi.

Sebagai moderator dalam dialog, Rokhmond Onasis dari biro Adhoc Aman Kalteng. Sebagai rangsangan Onasis mengajak peserta untuk melihat gambar 3 jalur pencapaian  pengesahan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat.

Jalur pertama adalah melalui pengesahan di DPRD Propinsi/  Kota. Jalur kedua adalah melalui Pimpinan daerah di Provinsi atau Kabupaten. Jalur ketiga adalah pemberian sertifikat komunal dari Badan Pertanahan Negara (BPN)/ agraria. Namun dari ketiga pilihan jalur yang ditempuh harus ada lampiran peta wilayah adat.

Sebagai pemicu dialog, penyaji pertama adalah Anderiansyah dari wakil ketua BALEGDA provinsi Kalteng. Penyaji kedua adalah Sinung Karto dari Pengurus Besar AMAN Jakarta. “Kita mengakui sekaligus melindungi semua hukum yang ada di Indonesia bahkan hukum adat,” kata Anderiansyah membuka dialog.

Pria yang mengawali karirnya dari DPRD Barito Utara ini menyajikan Tantangan Dan Peluang Regulasi Daerah Terkait Kondisi Masyarakat Adat Di Provinsi Kalimantan Tengah. Anderiansyah mengatakan, upaya dari DPRD Provinsi Kalteng di buktikan dengan melahirkan sebuah rancangan perlindungan daerah tentang  masyarakat adat. Perda yang akan dibahas pada tahun 2016 ini sebagai pengakuan eksistensi dari mayarakat hukum adat.

Dalam RAPERDA yang sudah dilakukan proses kajian akademis ini akan menjadi rujukan perlindungan hukum untuk masyarakat di Kalimantan Tengah, menjadi pengisi kekosongan hukum dan mengakomodir satu hukum adat.

Pada tingkat Nasional Sinung Karto menyajikan Perkembangan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) Ditingkat Nasional. Sinung bekerja di Divisi Penanganan Kasus & Perlindungan HAM, Direktorat Advokasi dan Kebijakan PB AMAN.

Secara konsep AMAN mempunyai kriteria  khusus mengenai masyarakat adat. Ada empat kriteria. Pertama ada wilayah adat. Kedua, harus tahu asal usul. Ketiga, ada wilayah yang jelas. Keempat ada hukum adat yang berkembang dan ada kelembagaan adat. Mengacu pada persoalan peraturan daerah yang dibuat, dari data yang disampaikan ada 100 daerah yang sudah membuat perda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Memasuki sesi dialog, Joni salah seorang peserta menyampaikan ketakutannya jika ada upaya melakukan modernisasi hukum adat akan merubah fakta sosial di masyarakat.Bahkan Joni menekankan bahwa esensi dari hukum dari masyarakat adat menjadi rusak.

Peserta yang lain, Adi Suseno mengungkapkan bahwa pengertian dari Masyarakat Adat (MA) dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) jangan disamakan karena akan menjadi rancu. Adi meminta apa hak-hak masyarakat adat harus di beri poin satu persatu dan dibuat lebih jelas. “Jangan kita sendiri malah mengkerdilkan Masyarakat Adat,” ungkapnya.

Terkait tanah, Dewok salah seorang peserta dialog mengusulkan adanya hukum adat yang mengatur tanah yang tidak ada pemiliknya. Ini berhubungan dengan seringnya kebakaran yang terjadi di daerah tersebut. Tanah tersebut harus didata sehingga dapat di kelola dengan optimal.

Acara dialog public ini selesai pada puku 12.15 siang. Acara ditutup dengan makan siang bersama.

Focus Group Discussion (FGD)
Update Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah

Di tempat yang sama, acara dilanjutkan dengan melakukan FGD (baca diskusi terfokus).  Tepat pukul 1 siang peserta diajak masuk kembali oleh Kesyadi yang bertugas sebagai moderator.  Sebagai pengantar, Kesyadi mengungkapkan, Kalteng sudah memiliki draft terkait Peraturan Daerah Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah.

Raperda yang membutuhkan dukungan dari masyarakat adat ini di buat oleh Simpun Sampurna, Suwido Limin dan Yusuf  Salamat. “Cita-cita dari Raperda ini adanya pengakuan dan perlindungan. Secepatnya dapat dibahas dan menjadi prioritas  dan FGD ini menjadi salah satu alat untuk mendorongnya,” kata Kesyadi.

Yusuf Salamat dari kantor wilayah hukum dan hak asasi manusia provinsi Kalteng menekankan perda ini menjadi prioritas untuk segera disahkan. “Harapan kami juga di kantor wilayah tahun depan ini bisa diprioritaskan,” ungkapnya. Yusuf mengatakan pedoman penulisan pada perda yang telah dibuat menjadi acuan dan tetap berdasarkan UU.

Salah satu tim penulis raperda yang hadir yaitu Suwido Limin mengumpamakan perda yang dibuat seperti berjalan dikegelapan malam. Lampunya ada tapi samar samar. Suwido mengatakan seharusnya pejabat atau pemerintah itu takut kalau tidak membela masyarakat adat.

Seorang peserta yang berasal menggunakan kesempatan tanya jawab untuk menyoroti gambar terkait permasalahan hak ulayat. Apa yang diakui dan lindungi kalau semuanya hampir 80% tanah adat itu sdh dijadikan lahan perkebunan. Bahkan ia mengusulkan untuk pembakaran lahan seharusnya hukum adat juga diberlakukan.

Tanggapan disampaikan Yusuf Salamat, perda yang diusulkan tersebut, redaksinya tidak bertentangan dengan peraturan yg ada. Yusuf memastikan bahwa perda yang diusulkan ada dasar hukumnya. Sayangnya pengambilan keputusan ada di tingkat DPR. Ada pengaruh politik dan memiliki kepentingannya masing-masing.

Acara diskusi ini berakhir pada pukul 3 sore dan ditutup secara resmi oleh Simpun Sampurna sebagai ketua AMANWIL Kalteng.

Sumber tulisan dan foto: Biro Infokom AMAN Kalteng.

AMAN KALTENG

Author & Editor

Berdaulat Mandiri Bermartabat - Exsist & Resist & Indigenize & Decolonize

0 Komentar:

Posting Komentar